SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 08 Desember 2008

galery intermediate training semarang





foto bersama

Neo-Imperialisme Pemerintah Kepada Rakyat

Desember 2008 harga premium turun (BBM) 500 rupiah, seolah pemerintah setengah hati mengambil kebijakan. Tidak sebanding dengan percepatan pada awal kenaikannya, apakah ini ada sesuatu dalam penentuan kebijakan penurunannya? Ini layak berkelindan di setiap piker warga dimanapun berada. Politik kebijakan “ ingusan” itulkah sebagai penerjemah kepekaan pemerintah terhadap keberpihakan pada rakyat miskin. Ingusan ketika naik cepat dan ketika turun sulitnya bukan main, itulah gambaran dari politisasi struktural yang menjadi-jadi.
Minyak tanah kapan turun
Kini dilema bahan bakar minyak lain yang tidak jelas kapan turunnya, minyak tanah yang seharusnya lebih murah dari premium malah sebaliknya mencekik leher masyarakat kecil. Bisa kita lihat realitas itu semua BBM (premium harga /liter 5500: minyak tanah/ liter 7000). Apakah ini politik yang dijalankan dibalik kekuasaan mengatas namakan konversi minyak tanah ke gas?
Sebagai rakyat kecil saya merasa sedih, bagaimana tidak masyarakat hanya dijadikan tumbal kepentingan kelompok pemodal dan penguasa yang mengingkari keadilan. Demikian halnya kita sebagai masyarakat harusnya sadar segera melihat ketimpangan sosial yang berakibat pada pemiskinan terstruktur. Dengandalih pengurangan pemiskina bertambah tapi itu hanya tampil dipermukaan dan tidak pernah melihat langsung bahwa penderitaan masyarakat semakin hari semakin bertambah. Ini diakibatklan karena kebijakan yang salah sasaran. Semua bukan karena dalih untuk kebaikan indonesia kedepan. Tapi untuk kebijakan kelompok atas nama kebijakan pemerintah demi menyelamatkan kekuasaan dengan melanggengkannya tanpa melihat apa yang terjadi di masyarakat lapisan bawah.
Kini anda tahu dan mengaerti setelah membaca dan melihatnya. Apa yang akan anda lakukan? Hanya diam? Atauberteriak lantang? Cukup dengan anda sadar dengan bertindak melakukan berbagai cara dengan kritis terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat kecil. Karena kebijakan yang menambah penderitaan. Miskin bukan karena tidak bisa mencari nafkah dan pekerjaan, memang miskin karena kebijakan pemerintah yang tersistem sudah membelenggu kemerdekaan dan menjadikan pemiskinan tersistem dan teratur.
demikian besar peran negara dalam mendukung pemiskinan sistemik, apakah para pemegang kekuasaan dan pengambil kebijakan tidak sadar akan hal itu semua? layaknya mereka harusnya mengerti dan sadar untuk membawa bangsa dan ummat ini dapat merdeka dan bebas dari cengkraman kemiskinan dan kemelaratan. bangkitlah rakyatku, untuk maju dan menjadi yang terbaik membawa bangsa indonesia tanah air tercinta menjadi gemah ripah loh jinawi toto tentrem karto raharjo.
untukmu negeriku bangunlah rakyatku bangkitlah menjadi masyarakat cerdas, kritis dan merdeka seutuhnya.
lemah gempal, 23.00/ 0812.08

Kebangkitan Islam Diaras Lokal ; Konstruksi Identitas Dakwah HMI Atas Problematika Ummat dan Bangsa

“Diakhir-akhir ini kita dihadapkan pada realitas masyarakat Indonesia yang notabenenya mayoritas agama masyarakatnya adalah Islam, disisi lain mata kita seolah terbelalak oleh serentetan kejadian dan kerumunan massa yang bergerak atas nama agama, kerusuhan sosial ini muncul diakibatkan kerena bermacam perspektif dalam memahami agama itu sendiri”
#################
Islam adalah ajaraan Allah yang sempurna dan diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia dan masyarakat, akan tetapi kesempurnaan ajaran Islam hanya merupakan ide dan angan-ngan saja jika ajaran itu tidak diamalkan dan disampaikan kepada manusia.
Lebih-lebih jika ajaran itu tidak diamalkan dalam kehidupan, oleh karena itu dakwah merupakan suatu aktifitas yang sangat penting dalam keseluruhan ajaran Islam. Dengan dakwah Islam dapat diketahui, difahami, dihayati dan diamalkan oleh manusia dari generasi-kegenerasi berikutnya. sebaliknya tanpa dakwah terputuslah generasi manusia yang mengamalkan Islam dan selanjutnya Islam lenyap dari permukaan bumi.
Realitas inilah yang mungkin saya anggap menjadi keprihatinan kita semua dalam memaknai dakwah baik itu bersifat lisan perbuatan maupun dalam amalan.

Promlematika Kontemporer
Baru beberapa saat kemarin kita dihadapkan pada beberapa tragedi kemanusiaan yang memilukan sekaligus mengkhawatirkan berlangsung silih berganti di Indonesia. Serentetan peristiwa kerusuhan sosial (riots) itu telah membelalakkan mata semua orang tentang apa yang sedang terjadi di negara yang dulunya dikenal damai dan ‘adem ayem’ ini. Konflik sosial yang sejatinya merupakan bagian dari a dinamic chance dan karenanya bersifat positif telah berubah menjadi amuk massa yang nggegirisi yang sulit diprediksi kapan berakhirnya.
Banyak orang kemudian susah mencari penyebab dari semua ini. Kerumitan mengurai penyebab konflik yang mendadak sontak merebak di hampir semua tempat di tanah air berbuntut  pada ketidakmampuan menemukan formula jitu bagi sebuah resolusi konflik yang manjur. Sesuai dengan bentuk, jenis dan eskalasi konflik yang memang beragam, beragam pula faktor penyebabnya. Penyebab konflik dapat berupa  faktor politik, kesenjangan ekonomi, kesen-jangan budaya, sentimen etnis dan agama. Hanya saja, faktor ekonomi dan politik sering ditunjuk berperan paling dominan dibanding dua faktor yang disebut terakhir. Kendati acap  terlihat di lapangan bahwa konflik yang ada kerap menggunakan simbol-simbol agama misalnya pembakaran dan perusakan tempat-tempat ibadah, namun pertentangan agama dan etnis ternyata hanyalah faktor ikutan saja dari penyebab konflik yang lebih kompleks dengan latar belakang sosial, ekonomi dan politik yang pekat.
Meskipun demikian, tidak ada salahnya (bahkan teramat penting untuk diabaikan) bagi umat beragama untuk mengkaji dan menemukan cara yang efektif bagi penghayatan, pengamalan sekaligus penyebaran ajaran agama di tengah masyarakat Indonesia yang plural ini.  Ada be­berapa alasan mengapa aktifitas demikian terasa penting untuk dilakukan. Salah satunya, karena agama–disebabkan  sempitnya pemahaman para pemeluknya secara potensial memang berpeluang menyulut konflik.
Ada tiga ancaman yang bakal memicu konflik, pertama, sikap agresif para pemeluk agama dalam mendakwahkan agamanya. Kedua, adanya organisasi-organisasi keagamaan yang cenderung berorientasi pada peningkatan jumlah anggota secara kuan­titatif ketimbang melakukan perbaikan kualitas keimanan para peme­luknya. Ketiga, disparitas ekonomi antar para penganut agama yang berbeda.  Guna meminimalisir ancaman seperti ini, maka mau tidak mau umat Islam, demikian juga umat lain, dituntut untuk  menata aktifitas penyebaran atau dakwah agama secara lebih proporsional dan dewasa. Pendekatan yang tergolong  sebagai pendekatan kultural di mana penganut agama diharapkan melakukan pembinaan secara internal ter­hadap anggotanya ini  dirasa lebih efektif dalam rangka menata hubungan antar umat beragama dibandingkan dengan pendekatan struktural yang  melibatkan campur tangan pemerintah.

Pendekatan Normatif Dakwah (rational intelection)
Disinilah kita harusnya lebih kritis dan korektif terhadap pemaknaan dan pemahan keIslaman, bila kita runut dari bermacam konflik termasuk Tragedi Insiden Monas malah menjadikan orang nonmuslim memahami Islam atau dalam kondisi yang tidak menentu menjadikan ketakutan bagi mereka karena Islam difahami anarkis dan tampak garang.
Apakah kita sebagai bagian dari ummat Islam hanya diam saja atau termenung melihat realitas sosial yang sudah tidak karuan, tentunya tidak seperti itu karena kita harusnya tergerak untuk menghapus dan menghilangkan paradigma fatamorgana tentang Islam yang garang dan menakutkan.
Dalam sejarah Islam, agama yang dibawa oleh Nabi disebarluaskan secara damai tidak lewat kekerasan, dan peperangan sesudahnya adalah bentuk mempertahankan Islam dalam bingkai diri untuk melepaskan dari penindasan penguasa yang tirani. Nabi sendiri tidak pernah memaksa penduduk daerah yang ditundukkan atau orang yang dikalahkan untuk masuk Islam, hal ini bisa dilihat dalam perjanjian Nabi dengan orang yahudi madinah. Dalam perjanjian itu dijelaskan bahwa nabi menjamin kebebasan beragama dan berpendapat.1
Tabligh agama atas semua usaha dan upaya merealisir ajaran islam yang dibawa Nabi dalam segala aspek kehidupan manusia inilah yang menjadikan tabligh sebagai bagian dari dakwah dengan memberi kabar gembira. Termasuk gerakan politik itu juga bisa disebut dengan aktifits dakwah yang telah melahirkan revolusi Qaromithah Iaslamiyah di syiria pada 902-907 M.
Sebenarnya kalau kita merunut dari tujuan dakwah sendiri adalah diturunkannya Islam sebagai bentuk perbaikan pada manusia itu sendiri baik dari kualitas akidah, ibadah serta akhlak yang tinggi. Dengan adanya dakwah seharusnya malahan dapat merubah manusia menjadi lebih baik. Bukan malah dijadikan alat untuk mendoktrin oleh mazhab dan sekte demi kepentingan politik tertentu, inilah bentuk lain dakwah yang merebak dibangsa ini.
Istilah dakwah digunakan dalam al Qur’an baik dalam bentuk fi’il maupun bentuk masdar berjumlah lebih dari seratus kata. Terlepas dari itu pemakaian kata “dakwah” dalam masyarakat Islam, terutama di Indonesia adalah sesuatu yang tidak asing lagi yang berarti seruan dan ajakan. Secara terminologi dari istilah dakwah Islam sebagai kegiatan mengajak, mendorong dan memotifasi orang lain berdasarkan bashirah untuk meneliti jalan Allah dan istiqomah dijalanNya serta berjuang bersama meninggikan agama Allah. Kalau mencermati dan mendefiniusikan dakwah memang tidak ada habisnya tapi kita tidak saja berkutat pada definisi karena setiap ulama memaknai dakwah bermacam-macam sesuai dengan sosiologi ruang lingkup masyarakatnya. Inti dakwah sendiri adalah dimana terjadi perbaikan dan kesejahteraan dan keadilan sosial bukan malah menambah jumlah pemeluk islam saja, akan tetapi yang paling utama adalah bgaimana dapat berpihak ada nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan.
Dalam realitas kehidupan bermasyarakat secara luas dimana perbedaan-perbedaan (pluralitas) sangat dimungkinkan terjadi dan dakwah Islam haruslah lebih mementingkan isi dan makna dibandingkan dengan bentuk-bentuknya, karena kalau merunut dari dalil qat’i dan dzanni dan hadits dll, akhirnya kita terjebak pada teks, padahal Islam mengajarkan bagaimana kita sebagai ummat yang memeluk Islam harus respek dan memahami bagaimana konteks masyarakat yang kita hadapi dan disitulah peran dakwah baik strategi metode dan realisasi perannya diuji dan universalitas Islam dijelaskan.
KeUniversalan, kerahmatan dan kemudahan islam menampilkan secara kontekstual yang merupakan aktifitas dakwah kultural secara cerdas untuk mencari titik-temu antara hakekat islam dan tuntutan zaman yang terus berkembang, dan bisa memaknai dakwah dari sisi esoteris, estetis dan etis. Dengan berusaha bagaimana islam difahami sebagai bentuk kepedulian dan mampu mendakwahkan(memasukkan) Islam kedalah hati seseorang dengan menunjukkan kebenarannya dengan melihat pluralitas dan mengakuinya, kalu tidak demikian maka dakwah menjadi agresif dan represif yang puncaknya hanya mengerjakan apa yang dibenci.
Sebaliknya yang terjadi dinegeri ini pemandangan paradoks setiap hari kita saksikan dan seolah itu sudah menjadi kewajaran umum, inilah yang harus kita lawan dan perangi atas hegemoni paradigma dakwah materialistik dan hedonistik. Ibadah bukanlah hanya berkisar pada melakukan dan menjalankan kewajiban saja dan seolah kita membayar apa yang diwajibkan, tapi pada sisi lain kita terjebak pada lambang atau dimensi ritualitas saja untuk itu kesalihan sosial dan kepedulian atas esensi Islam harusnya lebih bisa diejawantahkan, inilah PR besar bagi kita semua.
Fungsionalisasi dan keberkahan sosial adalah bagaimana kita sebagai bagian dari orang Islam hadir dibumi dengan bekal yang dimiliki mampu menjawab atas problematika sosial ummat dimanapun tempatnya kita harus mampu melakukan peran itu. Atas nama dakwah/ atas nama Allah diobral dimana-mana dan rajin didengungkan dengan mudahnya dan seolah pesan spiritualitas agama menjadi mandeg dan mengalami stagnasi, terkristal dan terpatri dalam ungkapan mitos dan ungkapan simbolis tanpa makna.
Dakwah harusnya difahami dan diterjemahkan sesuai denga kapabilitas dan penunjang sesuai konteks dan tidak bisa disamaratakan, dan ini adalah kasuistis akibat mode dan trend yang mengelabui ummat Islam pada tayangan yang setiap hari kita lihat dan seolah itu menjadi bentuk manivestasi Islam dan akhirnya Islam menjadi agama yang menakutkan, aneh dan lain sebagainya. Wajah dakwah bisa saja seenaknya ditrasfigurasikan dalam wujud macam-macam, lalu akankah kita sama seperto orang-orang disekeliling kita, tentunya tidak! Kita harus lebih kritis dan moderat.
HMI Ditengah Masyarakat Kekinian dan Perannya
Relitas empiris dengan obyek forma ayat-ayat Qouniyah sumber ilmu adalah indra, akal, intuisi dan alam. HMI adalah organisasi dan wadah dari mahasiswa islam yang berbasis dilevel mahasiswa, didalamnya ada berbagai macam latarbelakang kultural dan berbagai tata aturan organisasi dibuat untuk diaktualisasikan oleh para kadernya. Sebagaimana mestinya HMI didalamnya adalah mahasiswa islam secara sadar dan diakui ia adalah sebagai bagian dari ummat manusia, harusnya ia menyadari akan hak dan kewajibannya ia pun dituntut berperan serta dan bertanggungjwab dalam mengemban dakwah Islamiyah untuk mewujudkan nilai-nilai akidah, kemanusiaan berdasarkan pada fitrah ukhwah.
Semua itu selaras dengan fungsi dan peran manusia sebagai khalifah dan abduh, dimana sebagai khalifah maka terdapat amanah besar untuk bisa memakmurkan alam dengan dibekali iman, ilmu dan amaliahnya. Dari tugas itu semua di HMI coba diatur dalam konstitusi baik itu tertulis dan tidak tertulis, inilah yang perlu kita cermati didalamnya mulai dari Anggaran Dasar (asas, tujuan, usaha, sifat, status dan identitasnya) kemudian dijelaskan di pedoman operasionalnya dianggaran rumah tangga (ART) dan lebih dijelaskan secara rigid pada beberapa pedoman-pedomannya.
Namun kesemua yang tertulis dan tersusun itu perlu penerjemahan dari pokok pokok perkaderan yang ada di pedoman perkaderan misalnya ada beberapa aspek yang bisa kita tengok sebagai alat ukur apakah kita sudah berproses dalam berdakwah di HMI. Kualifikasi ulul albab baik mu’abid, mujahid, mujtahid dan mujadid harusnya menjadi ruh kita dalam berjihad dijalan Allah demi terwujudnya masyarakat yang diridhai-Nya.
Secara tidak langsung kita harus mampu mamahami dakwah di HMI dengan melakukan aktifitas-aktifitas kreatif dengan berperan aktif dan mewarnai dunia kemahasiswaan dan kemasyarakatan atas inisiasi gagasan, partisipasi yang konstruktif kreatif untuk mengimplementasikan nilai-nilai keislaman. Kita sebagai muslim memahami teori dakwah dimedan dakwah haruslahmelihat dakwah sebagai ikhtiar muslim mewujudkan khairu ummah dan kualifikasi Ulil Albab.
Dengan metode dakwah al hikmah, al mau’idzatil hasanah dan al mujadalah bi-alhiya ahsan kita harusnya mampu memahami dan memaknai dakwah dari hakikat,urgensi dan kontektualisme dakwah. Dengan rasionalitas pendekatan persoalan, pendidikan, diskusi saatnyalah kita mampu memformulasikan strategi dakwah untuk menyelesaikan konflik-problem sosial yang ada disekitar kita, tanpamengesampingkan esensi dari sistem nilai yang menjadi intisari semuanya. Yaitu islam dengan universalitas atas semua.

* Makalah disampaikan pada acara diskusi kajian keislaman (KALAM) yang diadakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang. Jum’at, 04 Juli 2008 Jam 16.00 WIB.

Ilmu dalam perspektif Islam

Idealnya kehidupan dan prilaku umat Islam merupakan perwujudan dari keagungan dan kebenaran ajaran Islam. Namun dalam kenyataannya terdapat jurang yang lebar antara keduanya. Oleh karena itu kita tidak bisa menilai Islam dari kehidupan dan prestasi para penganutnya. Demikian pula ketika kita hendak melihat bagaimana pandangan Islam tentang ilmu, tidak cukup hanya dengan menilai prestasi umat Islam, apalagi umat Islam saat ini yang sedang terjajah secara keilmuan. Kita harus merujuk langsung ke dua sumber utamanya Islam, yakni Al Qur’an dan Al Hadist.
Menurut penelitian Dawam Raharjo,1 kata ilmu (ilm) dalam Al Qur’an disebut sebanyak 105 kali, tetapi jika dihitung berikut kata jadiannya menjadi 744 dengan perin­cian : alima (35), ya’ lamu (215), i’lam (31), yu’lamu (1), ‘ilm (105), ‘alim (18), ma’lum (13), ‘alamin (73), ‘alam (3), a’lam (49), ‘alim atau ulama (163), ‘allam (4), yu’allimu (16), ‘ulima (3), mu’allam (1) dan ta’allama (2).
Dari kata jadian tersebut muncul beberapa peng­ertian seperti; mengetahui, pengetahuan, orang yang berpengetahuan, yang tahu, terpelajar, paling menget­ahui, memahami, mengetahui segala sesuatu, lebih tahu, sangat mengetahui, cerdik, mengajar, belajar, orang yang menerima pelajaran. Selain itu muncul juga penger­tian tanda, alamat, tanda batas, tanda peringatan, segala kejadian alam, alam (dunia), segala yang ada, segala yang dapat diketahui. Selanjutnya menurut Dawam terdapat kata lain yang semakna dengan ilmu yaitu ‘arafa, khabara, dara, sya’ara, ya’isa, ankara, bashirah dan hakim
Penyebutan kata ilmu yang berulang ulang dalam Al - Qur’an menunjukan kepada kita bahwa ilmu merupakan salah satu konsep kunci dalam Islam sekaligus menunjukkan betapa besar perhatian Islam terhadap ilmu. Berikut kita petik beberapa ayat Al Qur’an yang berisi dorongan kepada umat Islam untuk menguasai ilmu :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam silih bergantinya malam dan siang, adalah pertanda (ayat) bagi Ulil albab. Yaitu orang-orang yang melakukan refleksi (tadzakkur) tentang Allah ketika mereka sedang berdiri, sedang duduk maupun sedang berbaring sambil memikirkan (tafakkur) tentang kejadian langit dan bumi. Dan mereka berkata “Tuhan kami, Engkau tak menciptakannya tanpa tujuan, Maha Suci Engkau. Selamatkanlah kami dari siksa neraka “ (QS 3 ;190-191).

Katakanlah : “ Samakah orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu ? Hanya orang-orang yang mengerti yang dapat memikirkan (QS 39;9).

Selain dalam Al Qur’an, dorongan mencari ilmu kita dapatkan dalam serangkaian hadist Nabi saw sebagai berikut : Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina ; Carilah ilmu sejak dari buaian ibu sampai liang lahat (sepanjang hayat); Barang siapa wafat sedang mengembangkan ilmu untuk menghidupkan Islam, maka ia lebih berhak dari yang lain; Para ulama itu adalah pewaris nabi; Pada hari qiamat ditimbanglah tinta ulama dengan darah syuhada, maka tinta ulama dilebihkan dari darah syuhada.
Dorongan yang demikian besar dari Al Qur’an dan hadist kepada umat Islam untuk menguasai ilmu, telah membangun etos tersendiri pada kehidupan generasi awal umat Islam. Hal ini dapat kita lihat dari sederetan ilmuan muslim beserta karya-karya legendaris mereka. Di bidang matematika dikenal nama Al Khawarizmi, Umar Khaiyam, Ikhwan Al Shafa dll. Di bidang astronomi dike­nal nama Fadhl ibn al Naubakht, Muhammad Ibnu Musa al Khawarazmi, Al Batani, Abdul Rahman Al Shufi, Ibnu Bajjah dll. Di bidang fisika kita kenal Ibnu al Haitsam, Al Biruni, Al Khazimi, Di bidang ilmu-ilmu sosial dikenal nama-nama Abdullah al Hawami, Abdullah Muhammad ibn Ishaq, Sufyan ibn Said ibn Masruq, Ibn Khaldun dll.2
Sayangnya semangat keilmuan yang telah melahirkan karya-karya besar legendaris dan telah mengangkat umat Islam ke puncak kejayaan peradaban, tidak bertahan selam­anya surut untuk kurun waktu setelah abad ke-12 sampai saat ini. Bahkan saat ini umat Islam berada pada kondisi paling buruk yang hanya menjadi konsumen ilmu-ilmu (lebih tepat disebut sains) Barat yang dibangun berdasar konsep-konsep yang sama sekali berbeda dengan Islam. Namun demikian, tidak berarti dalam kurun waktu setelah abad ke-12 tidak lahir ilmuwan-ilmuwan besar muslim, hanya saja kalah secara kuantitatif maupun kualitatif dari Barat.
Dalam membaca sejarah perkembangan ilmu yang ditu­lis oleh kalangan Barat dibutuhkan sikap ekstra hati-hati, mengingat terdapat kecenderungan upaya memutarba­likkan fakta sejarah mengenai peranan Islam terdapat peradaban dunia. Keith Wilkes misalnya, dalam The Reli­gion and Science tanpa malu-malu mamutarbalikkan fakta sejarah yang sudah cukup dikenal umum.
Barat sering mengklaim bahwa metoda ilmiah merupa­kan penemuan dari Roger Bacon (1214-1292) yang dikem­bangkan oleh Francis Bacon (1561-1627). Prof. J.W. Drafer dalam karyanya History of the Conflict Between Religioan and Science membongkar kepalsuan klaim terse­but. Penulis lain, Robert Brifault dalam The Making of Humanity membuktikan bahwa Roger Bacon dan Fancis Bacon meniru tradisi ilmiah dari tradisi Islam. Brifault menyebut Roger Bacon tidak lebih sebagai plagiator dan utusan keilmuan muslim ke Barat. Opus Majus adalah karya jiplakan dari Al Syifa karya Ibn Sina. Nama lain seperti Constatinus Africanus, oleh Dr Akhmad Munawar Anees disebut sebagai pencuri terbesar dalam peradaban Barat karena ia telah menjiplak bulat-bulat sepuluh buku yang ditulis ilmuwan muslim tanpa menyebut penulisnya bahkan mengklaim sebagai karyanya.3
Kini jelas bahwa ketertinggalan umat Islam dari Barat di bidang keilmuan bukan karena agama Islam anti kemajuan ilmu, bahkan sebaliknya Islam menghargai ilmu dan orang yang berilmu. Selain itu, tidak pernah terca­tat dalam sejarah Islam ada seorang ilmuwan yang dihukum oleh penguasa (umara dan ulama) karena penemuan-penemuannya sebagaimana terjadi dalam sejarah Kristen. Kalau kita telurusi sejarah, justru para penguasa Islam memiliki perhatian yang besar terhadap perkembangan ilmu dengan menjamin dan menggaji para penterjemah, mendiri­kan perpustakaan-perpustakaan, dan perlu juga dicatat bahwa observatorium pertama didirikan di dunia Islam.
Sebaliknya, dalam sejarah Kristen tercatat beberapa peristiwa menyedihkan yang dialami oleh para ilmuwan, dihukum dan disiksa oleh gereja karena mengemukakan teori-teori yang bertentangan dengan doktrin gereja. Nicolas Copernicus mati merana tahun 1543 M, Giardano Bruno dibunuh tahun 1600 M dan Galileo Galilei mati dalam penjara setelah dipaksa mengingkari teorinya di bawah pengadilan iman (inquisito) gereja Roma tahun 1642 M. Minguel Sarvetto dibakar 1553 atas perintah reformer Kristen bernama Jean Calvin.4
Kiranya perlu segera ditemukan penyebabnya mengapa umat Islam yang memiliki nilai yang begitu besar perha­tiannya terhadap ilmu, malah mundur tertinggal oleh bangsa lain. Mungkinkah hal ini disebabkan oleh perang­kap taklidisme? Tentu tidak mudah untuk menjawabnya.

Hakekat dan Fungsi Ilmu
Dalam perbincangan sehari-hari terdapat beberapa kata yang semakna yaitu pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan (knowledge) adalah kumpulan fakta-fakta yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya mengenai suatu hal tertentu, sedangkan ilmu (sains, science) dalam pengertian sehari-hari tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam arti se­sungguhnya yang dirujuk dari konsep Al Qur’an. Dalam pengertian sehari-hari ilmu adalah pengetahuan yang telah disistematisir, disusun teratur mengenai suatu bidang tertentu yang jelas batas-batasnya mengenai sasaran, cara kerja, dan tujuannya.
Ilmu (sains) diperoleh dan disusun tidak cukup hanya dari pencaman dan perenungan melainkan berkembang melalui pencerapan indera dan penginderaan (sensation), pengumpulan data, perbandingan data, penilaian jumlah berupa perhitungan, penimbangan, pengukuran, dan penakaran meningkat dari data-data yang bersifat khusus menuju ke kesimpulan yang umum (induksi) atau sebaliknya, dari data yang bersifat umum menuju yang bersifat khusus (deduksi). Ilmu (sains) sepenuhnya bersifat empirik. Sesuatu yang tidak bisa diindera, diukur, ditimbang atau dilihat tidak bisa menjadi obyek ilmu (sains). Kumpulan dari ilmu (sains) disebut dengan pengetahuan.5
Ilmu menurut konsepsi Islam secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu ilmu Allah yang mencakup segala sesuatu, termasuk yang dapat disaksikan oleh indera manusia maupun yang tidak bisa disaksikan oleh indera (gaib) yang hanya bisa diketahui oleh manusia lewat wahyu. Kedua adalah, ilmu manusia meliputi ilmu perole­han dan ilmu laduni. Ilmu perolehan kita dapatkan lewat berbagai perenungan dan pembuktian, sedangkan ilmu laduni adalah ilmu yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang tertentu yang dipilih-Nya. Dalam hal ini, hanya mereka yang bersih dan suci hatinya yang berpel­uang mendapatkan ilmu ini. Dan jika ia mendapatkan ilmu ini maka terkuaklah sebagian besar rahasia alam dan kehidupan di hadapannya. Sampai di sini cukup jelas bahwa kata ilmu dalam Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan kata ilmu dalam pengertian sehari-hari. Islam memandang bahwa terdapat kesatuan penciptaan, kesatuan pengaturan, dan kesatuan mekanisme dalam alam kehidupan. Oleh karenanya hanya ada satu realitas melip­uti yang riil dan yang gaib. Salah satu tujuan ilmu adalah mengetahui hakekat realitas termasuk segala mekanisme di dalamnya baik untuk kepentingan pragmatis maupun untuk lebih jauh lagi untuk mengenal Sang Pencip­ta.
Ilmu menurut konsepsi Islam tidak melihat keterpisahan antara yang riil dan yang gaib, sebagai konsekuensinya Islam melihat bahwa peristiwa atau sebuah meka­nisme alam tidak bisa dijelaskan hanya secara empirik sebagaimana dikemukakan oleh sains. Dengan demikian ilmu dalam pengertian sehari-hari yang tidak lebih sebatas sains, merupakan reduksi dan tidak mungkin mampu menca­pai hakekat realitas. Anehnya sains (ilmu) yang hanya sebuah reduksi ini dipercaya mampu menjelaskan segala-galanya. Inilah barangkali salah satu penyebab perkem­bangan sains tidak menambah kedekatan kita dengan Sang Pencipta, bahkan sebaliknya telah menimbulkan kerusakan kehidupan. Ilmu yang benar akan mampu meningkatkan ketakwaan seseorang terhadap Tuhannya.
Salah satu tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah sebagai khalifah Allah (khalifatullah fil ardl).6 Manusia mendapat tugas mewakili Allah mengelola dan menyuburkan bumi untuk kepentingan manusia sendiri. Tentu saja banyak dibutuhkan pengetahuan agar manusia mampu melaksanakan tugas ini. Dalam hal ini, secara pragmatis ilmu membantu manusia menunaikan tugas kekha­lifahan yang diamanahkan kepadanya. Dengan ilmu pula manusia semakin banyak tahu akan keagungan ciptaan Allah. Ilmu yang benar akan menuntun manusia mensyukuri nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya.

Islamisasi Ilmu
Sebenarnya, bagian ini akan lebih tepat jika diberi sub judul Islamisasi Sains, karena dalam Islamisasi Ilmu mengandung kontradiksi. Bukankah semua ilmu berasal dari Allah? Lalu mengapa harus ada Islamisasi Ilmu? Namun karena kesalahan menyamakan ilmu dengan sains sudah sedemikian luas sehingga tidak lagi terasa sebagai kesalahan, maka agar tidak membingungkan ada baiknya untuk sementara kita mengikuti pengertian umum tersebut.
Isu islamisasi ilmu mencuat ke permukaan sejak terbitnya buku The Encounter of Man and Nature karya Seyyed Hossein Nasr (l968). Dalam buku tersebut Nasr mengemukakan pendapat yang bertentangan dengan arus dominan pemikiran sains saat itu yang mengatakan sains sesuai dengan Islam. Menurut Nasr, ilmu yang saat ini dominan ( sains modern) tidak islami karena tidak ber­sumber dari wawasan Qur’ani, maka harus diganti ilmu-ilmu Islam tradisional yang dikembangkan oleh para ilmuwan muslim klasik. Isu islamisasi ilmu ini selan­jutnya dikembangkan oleh Dr. Naquib Al Attas dan dipo­pulerkan oleh Ismail Raji Al Faruqi serta Ziaudin Sar­dar. Isyu ini menemukan momentumnya bersamaan dengan dicanangkannya abad ke lima belas hijriah sebagai abad kebangkitan umat Islam.
Ternyata respon para ilmuwan muslim terhadap isla­misasi ilmu sangat beragam dan membentuk sebuah spektrum yang lebar. Pendapat paling ekstrim menganggap sains modern bersifat universal, netral dan bebas nilai (free Value), karena itu hanya ada satu sains.7 Menurut mereka rasionalitas sains tidak bisa dikompromikan dengan urusan-urusan keagamaan yang berdimensi lain. Islamisasi sains, bagi mereka berarti mengorbankan obyektivitas dan netralitas sains.
Di ujung ekstrim yang lain, pendapat ilmuwan yang mengatakan bahwa sains modern adalah sains Barat yang tumbuh dari akar budaya Barat yang sekuler. Bagi mereka sains bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, melainkan terikat dengan asumsi-asumsi epistemologis tertentu. Sardar dalam bukunya Masa Depan Islam mengata­kan bahwa (1) persepsi bukanlah netral secara konseptual terstruktur baik oleh kategori-kategori linguistik, sikap-sikap mental maupun kepentingan-kepentingan para pengamat.; (2) kategori-kategori yang dengannya kita mengorganisasikan dan pada gilirannya mengetahui penga­laman, juga aturan-aturan tentang kebenaran dan validi­tas , mencerminkan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan kelompok yang berbeda, pada masa sejarah yang berbeda ; (3) manusia berhubungan dengan realitas bukan sebagai sesuatu yang sudah ada (given) tanpa interpretasi, malainkan diperantara dan dibangun oleh skema konseptual (Kant), idiologi-idiologi (Marx), permainan- permainan bahasa (Wittgenstein) atau pun paradigma-paradigma (Kuhn).8
Senada dengan Sardar, Bertrand Russell mengatakan bahwa apa yang diketahui seseorang, dalam arti yang penting, adalah bergantung pada pengalaman pribadi sendiri. Ia mengetahui apa yang telah ia lihat dan dengar, apa yang telah ia baca dan apa yang telah ia diberitahukan oleh orang lain kepadanya, dan juga apa yang telah ia simpulkan dari data-data tersebut.9
CA Qadir, penulis buku Filsafat dan Ilmu Pengeta­huan Dalam Islam mengatakan terdapat perbedaan penting antara sains Modern Barat dengan ilmu Islam Klasik :
Salah satu sebab utama perbedaan itu adalah kenya­taan yang pertama (ilmu Islam) didasarkan atas konsepsi spiritual tentang manusia dan alam tempat dia hidup sedangkan yang kedua (sains modern) sifat­nya sekuler dan tidak mengandung wawasan tentang yang kudus. Justru karena itulah menurut para pemi­kir Islam, teori Barat mengenai pengetahuan merupa­kan salah satu tantangan yang terbesar bagi umat manusia. Pengetahuan Barat telah menjadi proble­matik karena telah kehilangan tujuannya.10

Diantara dua kutub pendapat ekstrim tersebut terda­pat beberapa pendapat lain yang lebih moderat, disamping pendapat Maurice Buchaille yang sulit dimasukan dalam spektrum tersebut. Ali Kattani berpendapat bahwa sains Islam tidak berbeda secara radikal dengan sain Barat, hanya saja prioritas riset dan penekanannya yang berbe­da. Begitu pula tujuan- tujuan pemakaiannya.11
Pendapat moderat lainnya banyak dianut oleh ilmuwan muslim di Pakistan, Semenanjung Melayu dan Indonesia, yang menganggap isi sain bersifat universal, tetapi penerapannya harus untuk tujuan-tujuan islami. Contoh paling baik kelompok ini adalah Dr. Abdussalam, seorang ilmuwan Pakistan pemegang hadiah Nobel bidang fisika l979.
Menurut Salam karena sains itu bersifat universal, maka tidak penting gagasan Islamisasi sains dan teknolo­gi. Yang diperlukan adalah saintifikasi umat Islam dengan cara mengirim lebih banyak siswa-siswa muslim untuk belajar di negeri-negeri yang kini sedang menjadi pusat-pusat perkembangan sains dan teknologi.12 Senada dengan pendapat Abbdussalam, Andi Hakim Nasution menilai gagasan Islamisasi sains justeru akan memagari perkem­bangan sains itu sendiri karena percepatan perkembangan sains lebih cepat dibanding dengan perkembangan umat Islam terhadap ajarannya. Nasution memahami isu Isla­misasi sebagai upaya mengembangkan sains disesuaikan dengan doktrin Islam.
Sekarang ini di kalangan ulama dan cendekiawan Islam ada gerakan yang ingin “mengislamkan sains”. Kalau ini benar bahwa semua penelitian baru dalam sains yang dilakukan ilmuwan muslim harus sesuai dengan isi Qur’an dan Hadits, maka pemeluk agama Islam akan menda­pat giliran terjebak dalam perangkap yang sama seperti para gerejawan Nasrani beberapa abad yang lalu terjebak mempermasalahkan Galileo atas nama agama. Mengapa? Karena apa yang kita anggap adalah isi Qur’an dan Hadits sebagian juga sampai kepada umat Islam dalam bentuk tafsiran manusia yang belum tntu benar mutlak ini sama saja mengebangkan sans dengan persyara­tan. Karena mengembangkan sains identik dengan mencari kebenaran, maka pencarian kebenaran itu dikekang oleh kendala yang belum tentu benar mutlak, sehingga sebagai akibatnya apa yang ditemukan sebagai kebenaran ilmiah itu boleh saja tercemar oleh ketidakbenaran.13
Sementara itu, dari kubu yang sama tampil Dr. Marwah Daud Ibrahim yang menyangkal tuduhan bahwa sains modern sebagai penyebab utama krisis yang sedang ber­langsung, baik krisis lingkungan, krisis moral maupun krisis spiritual. Meskipun ada efek negatif dari sains terutama pada dataran penerapannya (teknologi), dapat diatasi dengan perkembangan Iptek selanjutnya. Marwah tetap meyakini bahwa sains merupakan rahmat Allah buat manusia.14
Apapun juga responsnya, gerakan Islamisasi semakin hari semakin menampakkan sosoknya meskipun belum banyak hasilnya. Menurut pengamatan Hanna Jumhana Bastaman terdapat beberapa bentuk pola pemikiran “Islamisasi Sains”, mulai dari bentuk yang paling supervisial sampai bentuk yang agak mendasar. Pola-pola tersebut adalah15 :
1. Similarisasi, menyamakan begitu saja konsep-konsep sains dengan konsep-konsep yang berasal dari agama, padahal belum tentu sama. Misalnya, menganggap roh sama dengan jiwa, atau nafs al ammarah, nafs al lawwamah dan nafs al muthma’innah dari Al Qur’an; dianggap identik dengan konsep-konsep id, ego, dan super ego dari psikologi, atau menyamakan super ego dengan qalb. Penyamaan seperti ini sebenarnya dapat disebut sebagai similarisasi semu, yang dapat menga­kibatkan biasnya sains dengan direduksinya agama ke taraf sains.
2. Paralelisasi; menganggap sejalan (paralel) konsep yang berasal dari sains karena kemiripan konotasinya, tanpa menyamakan (mengidentikkan) keduanya. Misalnya menganggap Perang Dunia III sejalan dengan kiamat, atau menjelaskan Isra’ Mi’raj paralel dengan perjala­nan ruang angkasa dengan menggunakan rumus fisika S = v.t (jarak sama dengan kecepatan kali waktu), di mana faktor velocitas = tidak terhingga. Paralelisasi sering digunakan sebagai scientific Explanation atas kebenaran ayat ayat Al Qur’an dalam rangka menja­barkan syiar Islam kepada kelompok masyarakat terten­tu.
3. Komplementasi; antara sains dan agama saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-masing. Misalnya manfaat puasa Romadhon (untuk kesehatan) dijelaskan dengan prinsip-prinsip dietry dari ilmu kedokteran. Atau kebijakan Keluarga Berencana didukung dengan ayat-ayat Qur’an dan Hadits Nabi. Dalam hal ini, tampaknya saling mengabsyahkan antara sains dan agama.
4. Komparasi; membandingkan antara konsep sains dan konsep agama mengenai gejala-gejala yang sama. Misal­nya teori motivasi dalam ilmu jiwa dibandingkan dengan konsep motivasi yang dijabarkan dalam ayat-ayat Al Qur’an.
5. Induktivikasi; asumsi-asumsi dasar dari teori-teori ilmiah yang didukung oleh temuan-temuan empiris dilanjutkan pemikiran teoritis abstrak ke arah pemik­iran metafisika/gaib, kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip agama dalam hal tersebut. Teori mengenai adanya “sumber gerak yang tak bergerak” dari Aristoteles misalnya, merupakan contoh proses induk­tivikasi dari pemikiran sains ke pemikiran agama. Contoh lain, adanya keteraturan dan keseimbangan yang sangat menakjubkan di alam semesta ini menyimpulkan adanya Hukum Maha Besar yang mengatur.
6. Verifikasi; mengungkapkan hasil-hasil temuan peneli­tian ilmiah yang menunjang dan membuktikan kebenaran ayat-ayat Qur’an. Misalnya penelitian mengenai poten­si madu sebagai obat yang dihubungkan dengan Surat An-Nahl : 69, dan hadits “lazimkanlah memakai dua `macam obat, yaitu Al Qur’an dan madu”.
Menurut penilaian Bastaman sendiri, keenam pola di atas belum memuaskan karena terasa ada semacam missing link antara keduanya yaitu ilmu dan agama. Dalam artikel tersebut, Bastaman mengajukan pola lain yang lebih bercorak falsafi/metafisis yang disebutnya sebagai fondasi falsafi dan sikap Islami yaitu memberi landasan filsafat yang Islami kepada sains. Tentu saja tidak tertutup kemungkinan kita menemukan pola baru yang lebih radikal.

Penutup
Telah kita lihat bahwa Islam tidak sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang, sebagai agama yang anti kemajuan dan anti ilmu pengetahuan, tetapi justru Islam adalah agama utama yang mengedepankan ilmu sebagai sesuatu yang penting. Hal ini dibuktikan dengan banyak­nya ayat Al Qur’an yang menganjurkan manusia menguasai Ilmu. Besar penghargaan Islam terhadap mereka yang berilmu.
Yang menjadi persoalan adalah ternyata ilmu dalam konsepsi Al Qur’an tidak bisa begitu saja disamakan dengan ilmu dalam pengertian sehari-hari (sain). Terda­pat perbedaan asumsi diantara keduanya. Dari sinilah lalu muncul gagasan islamisasi ilmu atau lebih tepatnya islamisasi sain.
Dalam menanggapi isu ini ternyata para ilmuwan muslim memperlihatkan respon yang beragam. Kini terjadi dialog yang panjang diantara mereka dan melahirkan berbagai lembaga yang secara serius melakukan riset di bidang ini. Nampaknya masih dibutuhkan waktu yang panjang untuk mewujudkan seperti apa sain yang islami itu. Yang jelas ilmu dalam konsep Al Qur’an akan membawa manusia semakin dekat dengan Tuhannya, bukan menjauh bahkan mengingkari sebagaimana dampak dari konsep sains modern.

Catatan Akhir
1. M. Dawam Rahardjo, Ilmu, dalam Ulumul Qur’an Nomor 4, 1990
2. Prof. S.I Poeradisastra, Sumbangan Islam Kepada Ilmu dan Peradaban Modern (Jakarta; P3M, 1986); Cf Seyyed Hossein Nasr, Sain dan Peradaban Dalam Islam (Bandung; Pustaka, 1986); M. Natsir Arsyad, Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah (Bandung ; Mizan, 1992)
3. Ulumul Qur’an, Reorientasi Epistemologi dan Keadilan Sejarah, Percakapan dengan Dr. Akhmad Munawar Anees, dalam Ulumul Qur’an nomor 4, 1990
4. S.I Poeradisastra, Op. Cit. hal. 11
5. S.I Poeradisastra, Op. Cit. hal. 3. Bandingkan dengan AM Saepudin et al, Desekularisasi Pemikiran (Bandung; Mizan cet II 1991) hal 14-15, dan Endang Saepudin Ansyari, Ilmu, Filsafat dan Agama (Surabaya; Bina Ilmu cet II 1981) hal 41
6. Al Qur’an Surat Al-Baqarah 29-30 dan Al Fathir 39
7. Armahedi Mahzar, dalam M. Natsir Arsyad. 1992. Op. Cit.
8. Ziaudin sardar, Masa Depan Islam, (Terjemahan Rahmani Astuti, Bandung; Mizan cet. III, 1992)
9. Titus, Smith dan Nolan, Living Issues in Philosophy (terjemahan, Bandung; Bulan Bintang 1984 hal. 187).
10. C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam (Jakarta; Yayasan Obor, 1989)
11. Armahedi mahzar, 1992 Op. Cit., hal 15.
12. Armahedi mahzar, 1992 Op. Cit., hal 19.
13. Andi Hakim Nasution, Pengantar ke Filsafat Sains (Bogor; Litera Antar Nusa, 1989)
14. Dr. Marwah Daud Ibrahim, Etika, Strategi Ilmu dan Teknologi Masa Depan, dalam Ulumul Qur’an Nomor 4. 1990.
15. Hanna Djumhana Bastaman, Islamisasi Pengetahuan dengan Psikologi sebagai Ilustrasi, dalam Ulumul Qur’an nomor 8. 1991.

Peran HMI dalam Mengkritisi Sistem Kepemimpinan Politik Ummat dan Bangsa

Dalam perjalanan dinamika bangsa Indonesia demokrasi adalah hal menarik dan tak pernah lekang untuk dijadikan icon pembaharuan dan perbaikan. Demikian juga perpolitikan selalu menjadi sumbu utama yang mempengaruhi kondisi di berbagai bidang lainnya. Sedemikian berpengaruhnya dimensi perpolitikan, hingga menuntut perhatian semua kalangan yang memiliki kepedulian pada masa depan bangsa untuk memikirkan prospek politik Indonesia di masa yang akan datang, terutama dari segi sistem dan pelaku.
Demokrasi sendiri memang bukan soal mudah untuk didefinisikan, apalagi dipraktekkan. Sering ia disandera menjadi hanya sekedar slogan, diputar balikkan sedemikian rupa  untuk melegitimasi kepentingan. Di sekolah, demokrasi dipasarkan bersamaan dengan pendidikan kewarganegaraan yang isinya melulu tanggung jawab, definisi dan jargon. Nyaris beku karena sempitnya ruang berdiskusi, hampir sulit meletakkannya dalam konteks keseharian yang mudah dipahami. Sekolah dalam banyak hal seringkali malah menjadi tempat dimana demokrasi dibuat mati muda. Ranah publik dan mungkin keluarga, juga bukan tempat dimana pemahaman dan tabiat demokratik dikecambahkan atau dipraktekkan. Maka tidak mengherankan, jika pemahaman dan praktek demokrasi menjadi sesuatu yang mewah untuk ditemukan. Lihat saja media massa dan produknya, lihat pula perilaku kita di jalanan, parlemen kita, birokrat dan sebagainya. Sungguh sulit menemukan role model atau best practisses yang bisa kita banggakan.

Reformasi, Demokrasi dan Kepemimpinan Politik
Bergulirnya reformasi menandai terjadi terjadinya liberalisasi dalam pasar politik di Indonesia. Dimana telah terjadi perubahan yang signifikan dalam struktur, relasi maupun pengelolaan politik di negeri ini. Sentralisasi kekuasaan tinggal menjadi mimpi karena pusat-pusat kekuasaan menjadi sedemikian terdesentralisasi. Para pemimpin di pusat dan di daerah dipilih secara langsung yang secara idealistik berarti kembalinya kedaulatan kepada rakyat secara penuh. Akan tetapi, sungguh ironis ketika realitas yang terjadi adalah justru semakin jauhnya rakyat dan kepentingannya dari orientasi dan keberpihakan politik.
Banyak faktor yang menyebabkan itu semua, tetapi bisa dikatakan bahwa kepemimpinan (dalam artian luas) adalah salah satu faktor yang determinan. Sejarah dibanyak peradaban menunjukkan bahwa, transisi dari suatu rezim otoriter ke arah yang lebih demokratis seringkali melahirkan suasana chaotic. Ini terjadi bersamaan dengan melemahnya kewibawaan institusi dan aktor-aktor kekuasaan, baik yang lama maupun yang baru. Di lain sisi, tumbuh pula kelompok-kelompok dan figur-figur baru  yang mencoba mengambil peran dan akses kepada kekuasaan.
Di tingkat masyarakat muncul euforia, dalam bentuk pengabaian maupun pembangkangan sebagai respon terhadap kebebasan yang baru dinikmati. Sedangkan pada sisi lain, para pengelola negara dan pemerintahan kehilangan kepercayaan diri dan gamang menyikapi perubahan. Situasi seperti inilah yang sedang kita hadapi, sebuah kompleksitas yang tidak mudah disiasati. Tanpa kepemimpinan sosial dan politik yang mencerahkan, maka akan sangat mudah bagi agen-agen sosial dan politik untuk terjebak dalam mengurus bangsa secara transaksional, pragmatis dan miskin visi.
Dalam 'Leadership' (1970), John McGregor Burns mencoba merumuskan kepemimpinan yang efektif. Menurut Burns, seorang pemimpin yang transformatif adalah pemimpin yang mampu menyatukan para pendukungnya dalam suatu shared vision yang dapat memperbaiki dan mengembangkan organisasi dan masyarakatnya secara luas. Kepemimpinan transformatif ini dikatakan memiliki kemampuan untuk mendeliver nilai-nilai (true values), integritas dan trust. Kepemimpinan transformatif ini adalah kebalikan dari pemimpin transaksional yang melakukan apapun untuk memperbesar kekuasaannya
Kita bersama memerlukan pemimpin sebagai sumber inspirasi dan mobilisasi sosial. Pemimpin yang mampu memberikan arah dan prioritas yang jelas, bukan sekedar pemimpin yang kuat dan berwibawa atau populer semata. Kita sangat membutuhkan pemimpin yang mampu melahirkan terobosan, mengambil resiko-resiko politik demi membawa bangsa ini keluar dari bayang-bayang krisis. Kita sangat mengharapkan munculnya pemimpin yang mampu melakukan re-framing dan mengajak kita semua melihat bayangan masa depan secara holistik, sehingga mempunyai character building meliputi loyalitas kepada nilai, visi, dan program kepemimpinan yang sesuai dengan aturan dan mekanisme yang demokratis.

Signifikansi organisasi atas perubahan
Dari rentetan teori yang berjibun dan pencandraan atas realitas yang complicated tentunya kita dapat menebak dengan analisis dan hipotesis atas permasalahan itu semua. Kemudian dari manakah kita akan mendapatkan pemimpin seperti itu? Tentu dari organisasi-organisasi yang mempunyai visi dan karakter yang jelas dan atau dari partai politik yang benar-benar mempunyai alat produksi (proses perkaderan) yang benar-benar sesuai bentuk riil dari proses demokrastisasi yang mencetak kader-kadernya. Disisi lain saat ini kita perlu melihat parpol saat ini yang menjamur bak musim hujan mengguyur kemudian parpol bermunculan entah dengan tujuan ikut meramaikan panggung demokrasi atau hanya karena tujuan pragmatis atau memang benar-benar ingin ikut memperjuangkan perbaikan sistem kepemimpinan bangsa ini.
Melihat relitas semua yang terjadi lalu mengapa dari partai politik yang di bidik? Sebab disitulah parpol yang melahirkan dan merekrut pemimpin secara terlembaga. Dalam peradaban demokrasi dimanapun, partai politik adalah entitas yang paling logis dalam melahirkan kepemimpinan politik. Lewat partai politik,lebih dimungkinkan mendapatkan pemimpin yang berinteraksi dengan persoalan-persoalan dan dinamika masyarakat. Tentu dengan catatan, partai-partai politik itu memang mempraktekkan budaya demokratis secara internal, bukan sekedar milik elit oligarkis. Partai-partai itu tentunya harus melembagakan sistem dan prosedur demokratis dalam setiap aspek kehidupan partai. Juga mesti memiliki mekanisme pengelolaan konflik yang terlembaga dan rekrutmen serta kaderisasi yang ajeg. Di sisi lain, partai-partai politik tersebut juga memelihara konstituennya dan relevan dengan kebutuhan kongkrit atau ideologis rakyat
Persoalannya tentu, apakah partai-partai politik kita sudah seperti itu. Saat ini mungkin bisa dikatakan belum, sebab partai-partai kita masih sibuk dengan diri dan kepentingannya sendiri. Tetapi tentu kita tidak boleh kehilangan harapan dan tergoda untuk mengambil jalan pintas, yang justru akan merusak konsolidasi demokrasi dalam jangka panjang.

Solusi Alternatif ke-Ummatan dan kebangsaan
63 tahun sudah bangsa kita telah merdeka. Jika dilihat dari usia, Indonesia telah sepuh, seharusnya lebih matang dan dewasa. Namun apa boleh dikata, bukti masih menunjukan lain dari harapan kita. Siapa yang salah, yang jelas tugas para founding fathers telah selesai mengantarkan kemerdekaan kita, tinggal kita sebagai generasi harapan bangsa sebagai pemuda.
Pemuda kita sekarang, seperti juga pemuda di zaman dan peradaban manapun memang cenderung mengedepankan emosional, dangkal dan mau serba instant walaupun itu tidak semua menjadi karakter pemuda tetapi itu setidaknya menjadi benang simpul dimana setiap pemuda dan isi kepalanya mempunyai maninstream berpijak untuk beraktualisasi. Tetapi ada yang berbeda, zaman sekarang para generasi muda dibombardir oleh tekhnologi informasi global yang intens. Ini sesuatu yang tidak dialami oleh generasi muda zaman dulu. Trend setter masa kini begitu banyak, bisa dari mana saja, terjadi kapan saja dan oleh siapa saja. Berbeda dengan zaman dulu yang serba terbatas dan lambat. Kebudayaan popular yang ada sekarang berkembang dari gempuran terus menerus, konstan dan dari berbagai arah terhadap alam sadar dan bawah sadar anak muda.  Yang menjadi soal adalah defisit contoh baik yang ada di masyarakat kita saat ini.
Lalu apakah tanggung jawab atas itu semua ? Himpunan Mahasiswa Islam sebagai bagian dari organisasi yang ada di level gerakan mahasiswa dengan usianya 61 tahun sudah banyak kader-kadernya yang menjadi alumni dan masuk dalam lingkar sistem di indonesia ini. Tidak sebatas itu HMI dari zaman kezaman dengan melihat realitas selalu menangkap permasalahan dengan berbagai cara, termasuk hingga detik ini terus melakukan pembaharuan dan inovasi gagasan untuk memberikan sumbangsih pemecahan masalah. Tentunya HMI harus mampu menjadi bagian yang menggagas jalan alternatif, minimal untuk bisa menyelesaikan dan meminimalisir permasalahan bangsa kedepan. Dengan mengetahui atas peta konstelasi demokrasi politik baik dalam skala nasional maupun lokal maka secara tidak langsung HMI sebagai kawah condrodimuko untuk kader-kadernya secara sistematis menghadirkan analisis dalam mencandra permasalahan yang ummat dan bangsa.
Pada sisi ini kita melihat politik merupakan sebagai wahana, dapat bermakna ganda yang amat kontras antara satu makna dengan makna lainnya. Di satu sisi politik dapat diklaim sebagai alat perjuangan untuk mempengaruhi arah kebijakan yang akan berdampak pada masyarakat luas, sedangkan di lain sisi politik menampilkan wajah yang begitu pragmatis, korup dan merugikan kepentingan masyarakat luas akibat prilaku para aktornya.
Dalam idelitas gerakan, maka politik merupakan salah satu alat penting dalam berjuang berdasarkan-nilai kebenaran. Namun hal itu mutlak mensyaratkan hadirnya para politisi yang memahami makna politik yang demikian, yakni politik sebagai alat perjuangan, bukan politik sebagai tujuan.
Para politisi yang memiliki karakter kepejuangan sangat dibutuhkan oleh bangsa Indonesia agar dapat memberikan arah dan kebijakan politik yang mampu menjawab kepentingan masyarakat. Para politisi yang bersikap sebagai negarawan harus ditemukan dan dihadirkan kembali ke tengah bangsa Indonesia yang sedang mengalami krisis kepemimpinan politik akibat kepercayaan masyarakat yang telah luluh terhadap perangai para politisi saat ini. Kepemimpinan muda yang digulirkan saat ini sebagai salah satu bentuk relevansi peran generasi bangsa apakah mampu dihadirkan atau memang menjadi alternatif bahkan sama dengan konsep kepemimpinan lama?
Dalam konteks lain tidak adanya pendidikan politik selama ini, kita lalu bisa memahami mengapa terjadi, tidak hanya merosotnya etika dan moralitas politik, tetapi juga mengapa loyalitas kepada pemimpin di pusat begitu kuat? Selain faktor strategi parpol demi kepentingan bangsa dan daerah tertentu, harus kita akui bahwa di tengah tidak adanya pendidikan politik yang sehat selama ini, memang budaya politik kita di Indonesia masih budaya politik tradisionalisme.Dalam budaya politik yang tradisional itu memang figur pemimpin dan karisma jauh lebih kuat dan menentukan daripada segala mekanisme dan prosedur formal yang demokratis dan profesional.
Jadi, jalan kita masih panjang. Tapi, kita akan bisa berhasil kalau kita sekarang menekuni secara serius pendidikan politik itu, pendidikan untuk membentuk character building. Melalui pendidikan politik yang sehat itulah diharapkan pula agar loyalitas tradisional kepada figur pemimpin bisa digantikan atau diimbangi oleh loyalitas kepada nilai, visi, dan program kepemimpinan yang sesuai dengan aturan dan mekanisme yang demokratis.
Oleh karena itu HMI dengan ini turut bertanggungjawab atas usaha penyiapan kader calon pemimpin politik masa depan dan harus dilakukan sejak saat ini juga. Para calon pemimpin politik itu perlu dibangun kesadaran, wawasan, strategi dan dan keterampilan teknisnya dalam memimpin dan mengelola agenda politik baik di tingkat nasional maupun lokal.
Demikian juga atas problematika yang pelik hingga saat ini, harusnya ada strategi untuk mengurai benang kusut konflik dan masalah dibangsa ini. Maka dengan ini HMI cabang semarang tergerak untuk mengadakan training kepemimpinan politik nasional. Dengan berlandaskan analisis konstruktif-siglikal dan pencandraan SWOT, merekayasa untuk bisa memformulasikan gagasan dan idelisme para kader muda yang ada saat ini supaya ada bentuk solusi, baik itu gagasan/ ide, teknis ataupun nonteksis. Selagi kita masih tergerak dengan sungguh untuk berijtihad pasti akan ada sesuatu yang terumuskan dan akan menjadi harapan baru untuk menuai kebaikan demi masa depan ummat dan bangsa.

Mahasiswa Dalam Diskursus Sosial Politik kebangsaan

Peran intelaktual adalah sebuah gelar yang bersanding dengan kreatifitas imajiner. Dimana para pembaharu hadir dalam setiap zaman dan tak pernah lekang oleh waktu. Begitu juga dalam berbagai momen mereka hadir dengan lantang untuk berkata benar.
Mahasiswa adalah bagian dari kaum intelektual, dengan gelar maha yang berarti besar atau agung, dan siswa adalah orang yang sedang menempuh proses belajar. Mereka bisa dikatakan tataran kaum elit dengan kekhasan fungsinya. Berkaca pada penalaran yang dimiliki mahasiswa merupakan identitas yang merupakan sosok yang bertanggungjawab pada peran sosial, moral dan intelaktual.
Potret peran Mahasiswa dalam pentas sejarah Indonesia dan perubahan
Peran dan posisi mahasiswa dalam perspektif kehidupan berbangsa dan bernegara, merupakan diskursus yang menarik sepanjang dinamika kehidupan mahasiswa. Hampir menjadi kenyataan yang lazim bahwa gerakan mahasiswa terutama di dunia ketiga memainkan peran yang sangat aktif pada posisi sentral di dalam perubahan sosial-politik, dan hampir tak satupun penguasa di negara-negara berkembang yang mengabaikan posisi sosial dan pentingnya representasi politik serta dampak aspirasi dari golongan muda berpendidikan tinggi ini. Sehingga para pemerhati sosial tidak mengabaikan fungsi mereka dalam sistem sosial politik baik di negeri maju maupun berkembang, termasuk di Indonesia.
Dalam arti yang luas, ideologi berisi tatanan nilai yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai pedoman untuk menjalankan kehidupan bersama dalam rangka meraih harapan-harapan mereka. Tatanan nilai tersebut berasal dari tradisi atau adat-istiadat dan dapat pula bersumber dari ajaran agama.
Untuk memahami perkembangan kehidupan ideologi mahasiswa, yang harus diperhatikan adalah arus perubahan dan pergeseran fokus peranan mahasiswa dari tahapan proses yang satu kepada proses lainnya. Perubahan intensitas aktifitas ideologi mahasiswa dipergunakan sebagai petunjuk untuk memahami pergeseran fokus peranan tersebut. Banyak predikat yang disandang mahasiswa kaitannya dengan ideologi yang diperjuangkan, horison mahasiswa yang menempatkan pada posisi strategis inilah yang mungkin menjadikan fungsinya sebagai agent of social change dan man of analysis, menjadi jargon yang dimitoskan.
Dalam kurun waktu sejarah gerakan mahasiswa yang strategi dan menonjol dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, terjadi pada kurun waktu 1910-an sampai dengan 1930, kedua pada era 1960-an.
Peran ideologi mahasiswa tahun 1910-an sampai dengan 1930-an terfokus pada peran penggagas, yaitu menysun, menafsirkan serta memulasikan pemikiran tentang segenap aspek kehidupan bermasyarakat yang berasal dari masyarakat asing dan masyarakat sendiri menjadi ideologi yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakatnya sendiri. Mahasiswa dari generasi Soetomo 1910-an dan generasi Soekarno-Hatta 1920-an, adalah pemikir-pemikir yang meletakkan dasar ideologi nasiolnalisme bagi bangsa Indonesia di kemudian hari. Nasionalisme merupakan fokus dari keseluruhan ideologi yang digagaskan oleh mahasiswa 1910-1930-an.
Pada tahun 1940-an gerakan mahasiswa mengalami pergeseran peran, peran penggagas tidak lagi menonjol. Gerakannya lebih terfokus pada sebagai pendukung dan penerap dari ideologi yang sudah ada. Dekade 1950-an dunia mahasiswa kembali disegani, sekalipun kemandirian dan peran sebagai penggagas semakin menipis. Hal ini di latarbelakangi oleh dominannya peran politik profesional didalam kehidupan politik. Politisi sipil yang dominan saat itu berasal dari tokoh politik yang mengalami sosialisasi politik tahin 1910, 1930-an di kampus dalam dan luar negeri (Eropa). Pada era ini kampus sebagai lembaga lembaga pendidikan tinggi terbelenggu pengaruh politisi dari partai politik sebagai kekuatan dominan. Akibatnya, kampus dan mahasiswa mengikuti pola persaingan antar partai dan terpecah berdasarkan politik aliran.
Perjalanan Indonesia era 1910-an sampai 1950-an, menempatkan kekuatan sipil yang berasal dari kaum intelektual (mahasiswa) sebagai sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Akan tetapi sejak yahun 1960-an kekuatan militer muncul sebagai suatu sumber kepemimpinan bangsa yang dominan. Fungsi parpol bersama ormas pengikutnya sebagai sumber kepemimpinan merosot bersama penurunan peran politiknya. Namun yang perlu dicatat dalam sejarah gerakan mahasiswa, pada era 1960-an peran ideologi mahasiswa meningkat tajam. Gerakan idiologi masa ini, melahirkan angkatan 1966. Dekade 1960-an dengan angkatan 1966-nya telah membentuk identitas sosial mahasiswa sebagai sebuah kekuatan sosial politik. Persepsi dan konsepsi tentang peran sosial ini, terbentuk dan menguat sejalan dengan tegaknya hegemoni pemerintahan orde baru.
Di satu sisi lahirlah Orde Baru seiring dengan kehendak gerakan mahasiswa, sehingga gerakannya mendapat dukungan kekuatan-kekuatan establishment (ABRI). Disisi lain arus perubahan menuju terbentuknya keuatan orde baru sebenarnya berangkat dari keinginan militer dan teknorat untuk lebih memerankan diri dalam konstalasi kehidupan bangsa dan negara setelah melihat kebobrokan dan kegagalan kekuatan sipil pada pemerintahan demokrasi terpimpin. Keinginan militer ini diwujudkan dalam Doktrin Dwi Fungsi ABRI diaman ABRI disamping sebagai kekuatan HANKAM juga memiliki peran sosial politik.
Lakon yang dimainkan mahasiswa angkatan 66 berada dalam panggung sejarah yang romantis, di dalamnya terjadi aliansi segitiga yang harmonis antara militer, teknokrat, dan mahasiswa. Ketiganya merupakan bagian lapisan elit intelegensia yang bakal mengobarkan gagasan modernisasi. Dengan kata lain disamping militer teknokrat, mahasiswa juga dipercaya sebagai agen modernisasi atau pembangunan.
Dekade 1970-an aliansi ini pecah akibat berubahnya orientasi dan strategi pemerintahan orde baru. Cita-cita awal gerakan orde baru sudah tidak sesuai dengan idealisme dan ideologi mahasiswa. Akibatnya, hampir sepanjang era 1970-an terjadi protes, kritik, petisi, selebaran dan lobi yang diarahkan kepada pemerintahan orde baru. Gerakan ini bermuara pada persoalan demokrasi, peran militer, dan pembangunan ekonomi. Akibatnya gerakan mahasiswa semakin berhadapan dengan kekuatan represif, yang mengutamakan stabilitas nasional dalam upaya menjaga kelangsungan pembangunan nasional. Pada gilirannya gerakan mahasiswa mengalami kemerosotan yang sangat tajam, yang belum pernah terjadi dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. depolitisasi dan deparpolisasi, melalui penerapan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) dan BKK (Badan Koordinasi Kampus) menjadi senjata pamungkas hegemoni Orba terhadap kehidupan mahasiswa. Lalu kepada mahasiswa yang melanggar NKK/BKK diberikan sanksi akademik yang berat, mulai dari skorsing sementara atau terbatasnya sampai kepada pemecatan bahkan dipenjarakan.
Dekade 1980-an adalah masa-masa mandul peran mahasiswa dalam kancah sosial-politik karena perannya dipersempit dalam peran profesional saja. Dalam masa-masa ini terjadi proses-proses penggugatan dan penyadaran terhadap peran sosial-politik mahasiswa. Upaya ini tampak berbuah ketika pada era 1990-an angin perubahan di dalam diri mahasiswa mulai berhembus, yang berujung pada munculnya generasi reformasi pada tahun 1990-an akhir ini.
Kemudian bagaimana ketika refor masi bergulir sudah sepuluh tahun. Dengan hadirnya pergulatan politik kaum muda dan tua, para mantan aktifis mahasiswa malah berebut kekuasaan di panggung politik nasional maupun lokal. Sebagai kaum intelktual harusnya kita melangkah lebih dalam hal peran dan tetap pada posisi idealisme gerakan tetap menjunjung tinggi pembelaan terhadap kaum lemah terpinggirkan.
Dan saatnyalah para pemuda mahasiswa dan penerus generasi bangsa bergerak untuk bergelut dengan pragmatisme. Apakah mereka menjadi praksis orientasi atau tetap idelais dimanapun posisinya dan kritis walau dalam posisi strategis. Kita tunggu dan kita awali dengan semangat kepejuangan untuk menjadi pembaharu peradaban bangsa. Marilah sadar dan tetap pada posisi semula untuk mengawali perubahan dengan penuh perjuangan walau pengorbanan haruslah terelakan tapi, itui semua hanya untuk mencapai kepemimpinan masa depan yang merubah ummat dan bangsa.

LG Four, 22.00/ 081208

REVITALISASI KEBHINEKAAN ”BERBEDA TAPI MESRA”

Slogan Filosofi bangsa merah putih ini adalah kebhinekaan, walaupun berbeda tetap satu jua. Seolah ini masih difahami dalam bingkai minimalis dan ekslusif. kemajemukan harusnya menjadi bukti dari adanya banyak keragaman SARA yang tetap menjadi ruh kebhinekaan diperingatan sumpah pemuda dan hari pahlawan.
Jika ditarik dari spektrum yang lebih luas terlebih dihubungkan dengan sikap beragama, maka inklusifitas menjadi keniscayaan yang harus diwujudkan dalam berperilaku dikeseharian masyarakat kita. Demikian bukti bahwa pluralitas yang hegemonik dapat difahami sebagai bagian dari wujud demokrasi kebangsaan yang esensial.
Lalu bagaimanakah ukuran keberagaman yang muncul dinegeri ini atas toleransi dan bentuk saling hargai? Inilah yang belum tergarap. Tragedi monas, konflik atas nama suku, ras dan agama menjadi lembaran-lembaran hitam panjang, bahwa keberagaman malah menjadi ajang untuk menciptakan konfllik yang bernuansa politik dan cultural.
Ini diakibatkan dari ketimpangan terhadap pendidikan keberagaman, doktrin setara masif untuk bersatu masih menghegemoni perbedaan adalah niscaya. Lalu bagaimana sebenarnya dengan pendidikan kita? kurikulum yang kita jalani dalam prosesnya dipakai dalam formal? Ini menjadi perhatian bersama bahwa dalam memaknai perbedaan adalah rahmat belum sepenuhnya atau malah masih setengah hati.
Kebhinekaan malah menjadi tak berdaya akibat sekat perbedaan, jargon kebhinekaan hanya sebatas slogan yang dibaca. Dari kondisi inilah diperlukan revitaliassi pemaknaan atas kebhinekaan dengan memahami kondisi kemajemukan benar menjadi dasar penghargaan di tengah konflik bangsa yang kian tak pernah usai.
Pendidikan inklusif ditengah pluralitas latarbelakang masyarakat yang meneguhkan kembali kesatuan atas perbedaan yang didasari dengan kesadaran transenden atas perbedaan. Harusnya dapat dibumikan dalam kurikulum pendidikan kita walaupun tidak harus tersirat. Inipun dapat diterapkan dengan hidden curriculum yang menumbuhkembangkan kesadaran kemajemukan dalam pendidikan kita.
Sehingga tidak difahami sekedar kebaikan negatif (negative good) yang ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (too keep fanaticsm at bay) yang difahami dan ditrerjemahkan untuk bertoleransi. Kesalihan sosial ini diharapkan dapat terbagun dengan menghargai dan menghormati sesama manusia dalam bingkai kesadaran moderat.
Slogan persatuan akan rapuh bila tanpa didasari dengan kesadaran atas perbedaan dan kemajemukan kebhinekaan, fondasi inilah yang perlu dibangun bersama untuk menciptakan kebersamaan dalam perbedaan tanpa mengesampingkan toleransi dan adaptasi dengan pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaban.
Memahami adalah dengan sedia saling mendengarkan berdialog bekerjasama untuk membangun peradaban manusia sendiri. Agama adalah penyelamatan (the salvic preswence) sehingga bukan dimaknai sebatas aktifitas rutin dengan tradisi saja.
Marilah menciptakan keadilan dengan slogan ”berbeda tapi mesra” ditengah keberagaman dan kemajemukan ummat dan bangsa
lemah gempal 4