SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Minggu, 03 Mei 2009

STOP KAPITALISASI DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN

Pernyataan Keprihatinan Atas Kondisi Pendidikan Di Indonesia
STOP KAPITALISASI DAN LIBERALISASI PENDIDIKAN


Reformasi pendidikan menuju peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang unggul nampaknya masih jauh panggang dari api. Hal ini terbukti dari berbagai kebijakan dalam bidang pendidikan yang masih belum berpihak pada elemen-elemen penting dalam dunia pendidikan. Guru, murid dan birokrasi pendidikan dalam dunia sekolah adalah elemen penting dalam dunia pendidikan. Tiga elemen tersebut nampaknya masih belum disentuh secara komprehensif dan implementatif baik secara structural-formal maupun kultural-informal.
Pertama sekali persoalan guru berkualitas. Berbagai kebijakan yang ditujukan untuk guru berkualitas belum memberi perubahan berarti. Kebijakan masih sebatas pada sertifikasi guru dan dosen. Beberapa pakar pendidikan telah mengkritisi kebijakan ini. Diantara berbagai kritik tersebut adalah, tidak adanya jaminan bahwa guru yang berkualitas akan dihasilkan dari pengumpulan lembaran sertifikat seminar baik nasional maupun lokal. Selain itu, sertifikasi selama ini hanya diberikan pada guru yang berasal dari sekolah negeri.
Disamping itu sekolah kita masih dihadapi dengan belum meratanya penyebaran guru di seluruh Indonesia. Selama ini guru yang baik dan berkualitas masih terpusat di kota-kota besar dan di sekolah-sekolah tertentu. Sedangkan di daerah-daerah terpencil hanya ada sedikit guru yang berkualitas. Guru berkualitas yang mampu menjadikan siswanya menjadi anak-anak yang terampil dan mampu memanfaatkan potensi sumber daya alam dari daerahnya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut.
Selama ini persoalan yang menjadi fokus utama dalam pembenahan guru dalam dunia persekolahan kita adalah peningkatan kesejahteraan guru. Upaya ini dibuktikan dengan memberi tunjangan 1 bulan gaji bagi guru yang telah lulus sertifikasi. Selain itu, beberapa pemerintah daerah telah lebih dulu membuat terobosan kebijakan dengan memberi berbagai tunjangan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan guru. Namun sekali lagi belum ada jaminan terjadinya perubahan signifikan dalam hal kualitas pengajaran dengan adanya kebijakan kenaikan tunjangan gaji guru tersebut.
Yang kedua adalah persoalan murid atau peserta didik. Mungkin persoalan menangani kualitas guru sama sulit dengan persoalan yang dihadapi oleh para murid dan anak didik di sekolah. Mereka harus berhadapan dengan Ujian Nasional, beban kurikulum yang semakin rumit dan kompleks, sarana dan prasarana pembelajaran yang masih tradisional, rendahnya gizi anak yang berdampak pada kemampuan fisik dalam berpikir dan bergerak sebagai modalitas utama dalam belajar.
Bahwa sesungguhnya sekolah atau pendidikan diciptakan adalah untuk memfasilitasi anak agar mampu mencapai pertumbuhan yang maksimal dari seluruh potensi dirinya. Sehingga para generasi penerus tersebut dapat menjadi dirinya sendiri yang mampu bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Namun tampaknya dunia pendidikan kita tidak lagi diarahkan untuk mencapai tujuan hakikat diselenggarakannya sekolah atas nama pendidikan. Namun lebih bertujuan untuk menjadi ajang pengerukan modal dari jamaknya komunitas korporasi besar untuk memperoleh “Captive Market” yang bernilai jutaan dolar. Semuanya atas nama pendidikan dan peningkatan kualitas anak didik. Namun dibalik jargon tersebut bersembunyi tangan-tangan yang siap menyeret anak ke dalam arus konsumerisme dan gaya hidup hedonisme yang akhir-akhir ini semakin mendapatkan tempatnya di tengah masyarakat.
Persoalan murid dalam dunia persekolahan kita semakin dipersulit dengan persoalan dalam dunia murid yang ada di perguruan tinggi kita. Baik perguruan tinggi pemerintah maupun yang dikelola oleh swasta. Dengan kebijakan BHMN yang diperuntukkan pada perguruan tinggi milik pemerintah. Kebijakan BHMN ini pun sudah mendapatkan kritik tajam dari para pakar pendidikan. Dengan BHMN serigala semakin menunjukkan bulunya untuk menjadikan pendidikan dan sekolah sebagai komoditas perdagangan yang diperjualbelikan.
Komoditas perdagangan baru yang sementara bernama BHMN ini masih mungkin berproses dan melebarkan sayapnya di sekolah tingkat dasar. Pendidikan menjadi barang mahal yang hanya mampu digapai oleh para pemilik modal dan the rolling class. Sedangkan masyarakat miskin yang kini menjadi mayoritas di negeri kaya makmur sember daya alam ini semakin tidak memperoleh akses pendidikan yang berkualitas dan murah di perguruan tinggi milik pemerintah. Meskipun pemerintah telah meratifikasi Kovenan Ekosob dan Sipol yang didalamnya juga mengatur tentang Hak Atas Pendidikan (HAP). Bahwa dalam HAP semua warga Negara tidak terkecuali harus dapat memperoleh akses pendidikan seluas-luasnya dan Negara memiliki kewajiban mutlak atas terciptanya pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh warga Negara.
Persoalan lain dalam dunia sekolah kita yang tak kalah rumitnya adalah sangat rendahnya pelayanan birokrasi pendidikan kita dari pusat hingga daerah. Sebagaimana kritik yang dilayangkan pada setiap rezim pemerintahan adalah ketidakmampuan pemerintah untuk merubah sistem birokrasi baik hardware maupun software yang ada didalamnya. Selama tiga kali pergantian kepemimpinan nasional tidak ada satupun pemerintah yang mampu mengubah dan mereformasi birokrasi warisan orde baru tersebut.
Beriringan dengan ketidakmampuan pemerintah dalam mereformasi sistem birokrasi secara menyeluruh adalah ketidakmampuan bangsa ini dalam mengubah struktur dan kultur birokrasi terutama birokrasi yang mengurusi pendidikan di negeri ini. Bukti ketidakbecusan birokrasi pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini adalah masih ditemukannya sekolah yang ambruk, merajalelanya korupsi dana BOS dan BOP di tingkat pusat maupun daerah.
Semakin harmonisnya hubungan antara Birokrasi dengan Korporasi perbukuan. Dengan dibelinya hak cipta buku oleh pemerintah dari para Mafia di dunia perbukuan ini maka semakin terlihat ketidakmampuan pemerintah dalam mengurusi persoalan buku. Sebagaimana sudah diketahui oleh masyarakat bahwa tidak pernah ada peningkatan dalam hal kualitas isi maupun penyajian materi dalam buku-buku pelajaran kita dari tahun ke tahun. Dengan tidak adanya sentuhan reformasi dalam penyajian isi buku yang aktual, mudah dipahami dan disajikan secara menarik maka kualitas pendidikan yang kita idam-idamkan makin terasa jauh panggang dari api.
Dari pemahaman masalah-masalah pendidikan diatas maka kami Himpunan Mahasiswa Islam Cabang semarang menyatakan prihatin atas terpuruknya dunia pendidikan kita ditengah melimpahnya anggaran pendidikan 20% dari APBN. Bahwa melimpahnya dana untuk bidang pendidikan tersebut tidak berimplikasi pada peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, dan semakin buruknya pelayanan Birokrasi pendidikan kita. Maka dengan itu, kami menuntut :

1. Pengawasan anggaran secara ketat dalam bidang pendidikan
2. Hapuskan Ujian Nasional dalam kalender akademik kegiatan pendidikan nasional
3. Batalkan UU Badan Hukum Pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya untuk orang berduit.
4. Pendidikan murah, dan gratis bagi masyarakat miskin/tidak mampu
5. Hapus liberalisasi dan kapitalisasi pendidikan
6. Distribusikan fasolitas pendidikan secara merata untuk mewujudkan kesejahteraan pendidikan yang adil
7. Reformasi birokrasi pendidikan untuk peningkatan pelayanan bagi guru, orang tua murid dan para peserta didik
8. Tinjau ulang Rencana Strategis Pendidikan yang dibuat oleh Depdiknas, karena telah menyimpang dari amanah pembukaan UUD ’45. bahwa adanya Renstra pendidikan telah memuluskan jalan Korporasi untuk masuk ke dalam dunia sekolah

Demikian pernyataan sikap ini kami buat sebagai bukti kepedulian kami atas persoalan pendidikan yang tidak kunjung membaik setelah Reformasi ’98 dan menghimbau kepada seluruh elemen bangsa agar berjuang memajukan serta mewujudkan kesejahteraan bangsa yang lebih maju dan adil.
Semoga Allah SWT meridhoi jalan perjuangan kami untuk perubahan kualitas kehidupan bernegara yang lebih baik.
semarang, 2 Mei 2009 aksi untuk rakyat indonesia

berita aksi Tolak Kapitalisasi dan liberalisasi Pendidikan

HMI Tolak Kapitalisasi Pendidikan

SEMARANG- Sekitar 50 mahasiswa tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Semarang menggelar aksi demo menolak kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan, Sabtu (2/5).

Dengan membawa berbagai atribut berupa bendera, spanduk, dan puluhan poster, mereka menggelar aksi di depan E Plasa, Kawasan Simpanglima.
Dalam aksinya itu, mereka meneriakkan yel-yel mengecam kapitalisasi dan liberalisasi pendidikan yang marak akhir-akhir ini.

Sembari berorasi bergantian, mereka menenteng spanduk bertuliskan ” Pendidikan Gratis untuk Rakyat Miskin”, Tolak Komersialisasi Pendidikan” dan ”Tolak Produk Pendidikan yang Tidak Pro Rakyat’’.

Ketua Umum HMI Semarang, Agus Thohir mengatakan, aksi itu merupakan keprihatinan atas terpuruknya dunia pendidikan di tengah melimpahnya anggaran pendidikan 20% dari APBN.

Dengan melimpahnya dana itu, terbukti tidak berimplikasi pada peningkatan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, serta semakin buruknya pelayanan birokasi pendidikan di Indonesia.

”Dari berbagai permasalahan pendidikan di Indonesia ini, kami menggelar aksi menuntut pemerintah melakukan pengawasan anggaran secara ketat di bidang pendidikan. Selain itu, kita juga menuntut dibatalkannya UU Badan Hukum Pendidikan yang menjadikan pendidikan hanya untuk orang berduit,” jelasnya.

Ditambahkan, pernyataan sikap itu adalah bukti kepedulian atas persoalan pendidikan yang tak kunjung membaik setelah reformasi 1998.
”Untuk itu, kita imbau seluruh elemen bangsa agar berjuang memajukan dan mewujudkan kesejahteraan bangsa yang lebih maju.”

Sebelumnya, mereka menggelar aksi teatrikal di bundaran Videotron Jl Pahlawan. Dalam pungkasan teatrikal, rencananya mereka akan menampilkan aksi bakar diri.

Namun, aksi nekat itu digagalkan polisi yang melakukan pengamanan saat aksi berlangsung. Urung menggelar aksi bakar diri, mereka melanjutkan orasi di kawasan Simpanglima selama 10 menit dan setelah itu membubarkan diri. (H55-56)