SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Selasa, 17 November 2009

PEMUDA, KAPAN BANGKIT? (refleksi sumpah pemuda)

Kenapa judulnya seperti itu, penulis melihat saat ini pemuda mengalami eliminasi peran. Diakibatkan karena mereka mulai bias dari tanggungjawab. Tentu bukan salah siapa kemudian diperdebatkan. Tapi perlu pisau analisis yang lebih seksama, karena selama ini pemuda selalu disudutkan dari peran kolektifnya.
Bicara pemuda memang menarik diperbincangkan, mulai dari kapan munculnya hingga apa tugas dan peran nyatanya. Bila kita mencermati definisi banyak interpretasi yang muncul, mulai dari perspektif demografis usia hingga perspektif sosioligi-politik perannya. Lepas dari itu semua kita harus melihat potensi yang dimiliki. Banyaknya pemuda bukan hanya menjadi peluang tapi juga menjadi tantangan masa depan. Karena kebanyakan pemuda tidak siap dengan prosesnya.
Pertama, kalau kita lihat pemuda merupakan masa yang labil terhadap lingkungan. Demikian adanya, bahwa semakin kokoh prinsipnya maka akan tidak mudah terpengaruh akibat tekanan disekitarnya. Menjadikannya mampu survive dengan kontrol semangat idealismenya.
Kedua, melihat jejak prosesnya pemuda menjadi sangat penting terhadap masa depan bangsa. Saya ingat pesan singkat dari catatan harian Ahmad Wahib “keberhasilan satu generasi adalah keberhasilan kita, kegagalan satu generasi adalah kegagalan kita”.
Dari pesan itulah penulis merasa bahwa pemuda adalah penopang masa depan bangsa. Bila kita berhasil satu generasi saat ini, maka kemungkinan sepuluh dua puluh tahun kedepan kita akan mampu menerobos stagnasi rezim yang ada. Tapi sebaliknya, bila genarasi kita acuh tak acuh bahkan tak mau peduli dan berproses dengan zamannya, maka saya menjamin tinggal menunggu waktu untuk merapuhkan tiang penopang negara kedepan.
Mengasah Kapasitas dan kualitas
Dua istilah mungkin bisa menjadi keterwakilan atas kondisi pemuda saat ini. Dari keduanya penulis berani menjamin ketika keduanya terpenuhi maka masa depan bangsa dipastikan akan mengalami perubahan pesat. Lalu kenapa hanya dua istilah? Kalau dilihat dari peluang menatap masa depan pemudalah yang harusnya berani beresiko untuk berproses menempa kualitas. Dengan komitmen berjuang maka masa depan ada ditangan kita hingga menunggu waktu kapan kita akan membuktikan.
Jalan kita masih panjang, sejarah membuktikan dari sebelum kemerdekaan. Mulai starting point bangkitnya pemuda delapan puluh satu tahun silam (red-1928) melalui sumpah pemuda menjadi kunci kita sebagai pemuda harus sadar untuk berbenah. Hingga bergulirnya waktu kemerdekaan berhasil diraih juga atas inisiatif tokoh pemuda terbaik bangsa. Bahkan setelahnya gerakan pemuda yang dimotori mahasiswa memanifestasikan gerakan dan menghasilkan angkatan 66,74,78 dan Reformasi 98.
Tak bisa dipungkiri, bila kita telisik lebih dalam gerakan pemuda 1928 menjadi spirit kepemudaan untuk terus berjuang tanpa membeda-bedakan asal-usul dan latar belakangnya. Bahkan setelah merdeka banyak organisasi kepemudaan muncul seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), GMNI, PMII dll. Lepas dari itu semua, berdirinya organisasi kepemudaan salah satu tujuannya adalah untuk menggodog pemuda menjadi berkualitas. Bahkan menyiapkan calon kader ummat dan bangsa, sehingga siap dipakai setiap zamannya.
Obyektifitas dan Independensi
Keberhasilan pemuda dalam menapaki jalan panjang bukanlah dengan mudah dijalani, tapi melaui proses panjang. Dengan menumbuhkan sense of belonging atas tanah air (red-nasionalisme). Menumbuhkan semangat kebersamaan untuk melawan ketidak adilan, menjadikan mereka tetap survive dizamannya. Apakah itu diperoleh dengan sekedarnya? Tentu tidak, mereka berjuang tanpa memendang status sosial dan aspek usia. Pemuda adalah sosok manusia yang dilengkapi dengan segenap daya kritis-obyektif, kreatif dan semangat untuk berubah ke arah kemajuan. Karakteristik unik inilah yang kemudian menjadi suplemen atau bahan bakar lokomotif pembaharuan gerakannya.
Tetapi, saat ini karakteristik tersebut semakin jarang kita temui. Ini disebabkan karena desakan kultur westernisasi. Sehingga orientasi dan paradigma kaum muda tak lagi bervisi pada perbaikan atas nasib bangsa di masa depan. Melainkan bervisi sesaat (pragmatisme) cenderung kearah aspek duniawi semu (konsumerisme) dan pemuja mode (hedonisme). Inilah tantangan kolektif atas desakan glamouritas, sehingga pada sisi lain menurut mereka menjadi tidak menarik menghidupkan forum diskusi, budaya membaca, menulis bahkan membicarakan masalah kebangsaan. Disisi lain, dunia kampus lebih disibukkan dengan tragedi tawuran mahasiswa. Tentunya itu bukanlah karakter mahasiswa yang sesungguhnya. Karena obyetifitas dan independensi adalah kekuatan yang selalu mengiringi perubahan panjang.
Sadar Menemukan jati diri
Saatnya kaum muda bangkit kembali. Sejarah membuktikan bukan kita terjerembab oleh momentum tapi saatnya kita membuat babak dan momentum baru atas kesadaran kolektif. Menjadi keharusan kita memaknai perjuangan melalui politik nilai bukan hanya ikut berperan melalui ajang berebut kekuasaan (politik praktis). Tapi bagaimana kita menyadari perjuangan yang harus kita lakukan. Tentunya perjuangan hadir dengan kecerdikan pemuda menginisiasi gagasan pembaharuan berfikir. Termasuk bagaimana mencari cara untuk membakar semangat kaum muda dengan mensinergikan tujuan besar berdirinya Negara Indonesia.
Panggilan sejarah atas sumpah pemuda memberikan inspirasi bahawa pemuda harusnya moderat dalam berfikir dan bertindak. Mengerti akan peran dan fungsi untuk menyadarkan lingkungan melalui jalan aternatif. Dengan cita-cita luhur ingin merdeka! Merdeka dalam berfikir, bertindak dan berkarya. sehinnga mampu mengeliminasi primordialisme kelompok yang marak akhir-akhir ini.
Tentunya menjadi tanggung jawab bersama untuk merefleksi atas reposisi peran pemuda. Guna menemukan jati diri dengan berani menerobos tradisi yang kecenderungan pragmatis. Pendidikan karakter menjadi PR bersama bagi setiap organisasi kepemudaan. Tentunya lembaga terkait dan pemerintah sebagai pihak yang sangat berkepentingan dalam mempersiapkan generasi penerus pun bertanggungjawab dalam mempersiapkan generasi muda berkualitas.
Dengan proses dialog panjang tentunya menjadi bagian penting untuk menempa sosok pemuda yang siap menjadi pemimpin disetiap zamannya, dan siap menginisiasi kondisi untuk menjadi poros episentrum perubahan.
Haruskah bangkit?
Jawabanya tentu, karena pemuda mempunyai karakteristik yang khas dan unik. Mereka lebih diuntungkan karena prosesnya. Disaat ini semakin tak jelas arah mau dibawa kemana alur perjuangannya. Akibat lingkungan sekitar adanya kecenderungan berperilaku negatif harus kita stop! Karena tantangan zaman sekarang menjadikan lunturnya nasionalisme dan idealisme.
Pemuda dan mahasiswa harus kembali ke khittah perjuangan. Untuk menemukan spirit identitasnya. Menjadi penting karena panggilan sejarah kita harus berani memulai bangkit. Bangkit dari keterpurukan, ketertindasan dan bangkit untuk memulai bergerak menatap masa depan yang lebih baik.
Pemuda adalah investasi terbesar bangsa. Kalau kita menyia-nyiakan masa muda kita berarti telah menyumbang sampah masalah bagi negera. Tentunya itu bukan pilihan. Marilah dengan momentum sumpah pemuda kita bangkitkan kembali ghirah semangat juang kita melalui peran “intellectual movement”. Dengan menggerakkan tradisi diskusi, membaca, menulis dan berkarya untuk bangsa kita.
Selamat berjuang para pemuda, untuk membawa angin segar perubahan bangsa yang lebih maju dan sejahtera. Negeri ini menunggu sosok pemuda yang mempunyai visi kepemimpinan, kewirausahaan. Tetap independen, progresif dan berani mempelopori perjuangan kritis atas kebijakan publik. Beranikah kita menjadi penentu masa depan. Semua jawaban ada ditangan kita.

Agus Thohir
Ketua Umum HMI Cabang Semarang, Direktur LaStA (Lingkar Studi Alternatif) Semarang dan Koordinator Persatuan Organisasi Mahasiswa Semarang (POROS Semarang)

Peran Jurnalisme Islam Dalam Fenomena Globalisasi Informasi

Bicara peran media pers jurnalistik menjadi menarik ketika dikaitkan dengan fenomena kekinian. Ini bisa kita lihat dari bahasa yang digunakan dalam beberapa media. Mulai dari majalah hingga surat kabar harian. Demikian penting fungsi media menjadi poros utama dalam membangun opini di masyarakat luas.
Sangat khas saat kita membandingkan gaya tulisan di media massa, missal dilihat dari jenisnya, karakter hingga jenis reportase investigasi yang digunakan. Menjadi berbeda tentang tolok ukur kaidah-kaidah jurnalistik saat kita menjumpai berbagai tulisan. Karena dalam bahasa jurnalistik sendiri juga memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan jenis tulisan apa yang akan terberitakan. Bahasa jurnalistik yang digunakan untuk menulis berita utama..
Dalam menulis banyak faktor yang dapat mempengaruhi karakteristik bahasa jurnalistik karena penentuan masalah, angle tulisan, pembagian tulisan, dan sumber (bahan tulisan). Kalau kita mencermati bahasa jurnalistik tidak meninggalkan kaidah yang dimiliki oleh ragam bahasa Indonesia baku dalam hal pemakaian kosakata, struktur sintaksis dan wacana. Karena berbagai keterbatasan yang dimiliki surat kabar (ruang, waktu) maka bahasa jurnalistik memiliki sifat yang khas yaitu singkat, padat, sederhana, lancar, jelas, lugas dan menarik. Kosakata yang digunakan dalam bahasa jurnalistik mengikuti perkembangan bahasa dalam masyarakat.
Demikian adanya bahwa dalam kepenulisan tidak hanya ragam bahasa jurnalistik saja yang harus dipenuhi tapi juga sifat-sifatnya. Karena lapisan masyarakat dalam hal ini pangsa pasar minat pembaca menjadi penentu karakter bahasanya. Dengan kata lain bahasa jurnalistik dapat dipahami dalam ukuran intelektual minimal. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki cukup waktu untuk membaca surat kabar. Oleh karena itu bahasa jurnalistik sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
Bicara jurnalis adalah menjadi kekuatan tersendiri. Sebuah bidang profesi yang mengusahakan penyajian informasi tentang kejadian dan atau kehidupan sehari-hari (pada hakikatnya dalam bentuk penerangan, penafsiran dan pengkajian) secara berkala, dengan menggunakan sarana-sarana penerbitan yang ada. Misal, menginformasikan berita dan karangan utuk surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi.
Bisa dikatakan jurnalistik merupakan proses kewartawanan dan suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan dengan cara menyiarkan berita ataupun ulasannya mengenai berbagai peristiwa atau kejadian sehari-hari yang actual dan factual dalam waktu yang secepat-cepatnya. Dalam jurnalistik selalu harus ada unsur kesegaran waktu (time liness atau aktualitas). Seorang jurnalis memiliki dua fungsi utama. Pertama, fungsi jurnalis adalah melaporkan berita. Kedua, membuat interpretasi dan memberikan pendapat yang didasarkan pada beritanya.

Definisi Jurnalistik dan Jurnalisme
Jurnalistik atau jurnalisme berasar dari kata Journal yang berarti catatan harian. Catatan mengenai kejadian sehari-hari atau bisa juga berarti surat kabar. Journal berasal dari kata latin diurnalis, artinya harian atau tiap hari. Dari perkataan itulah lahir kata jurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan Jurnalistik. Dalam istilah ilmu publisistik adalah hal-hal yang berkaitan dengan menyiarkan berita atau ulasan berita tentang peristiwa sehari-hari yang umum dan actual dengan secepat-cepatnya.
Menurut hemat saya jurnalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta & melaporkan peristiwa. Sehingga ada sebuah usaha untuk mentransformasi informasi seaktual mungkin seobyektif mungkin, walaupun tidak lepas dari ideologi dan karakter si penulis berita. Melihat dari beberapa definisi yang beragam mengenai jurnalistik yang ada membuat kita dapat menyelami makna yang terkandung dan peran yang harusnya dapat mengemban tugas dakwah. Dengan mengelaborasikan tugas untuk mencerdaskan para penikmat informasi terkait apa yang disajikan maka kegiatan atau aktifitas jurnalis menjadi sesuatu yang bermanfaat. Bila kita tilik dari sisi media dakwa islam, jurnalistik dapat dikaegorikan sebagai usaha proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa dengan muatan khusus nilai Islam yang menyangkut umat Islam dengan perspektif dogma Islam kepada publik melalui media.
Proses pemberitaan atas informasi berbagai hal yang sarat muatan ideologi menjadi menarik untuk dikaji. Kondisi sekarang menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk memahami arah dan karaker media yang kita konsumsi. Sebagai ummat islam kita harusnya lebih selektif dalam memperoleh informasi. Secara sadar kita sebenarnya mengetahui begitu kuat arus perlawanan media untuk mengadopsi karakter sebuah kelompok tertentu. Bahkan dalam dunia jurnalisme media ada usaha untuk membela bahkan memperjuangkan opini atau fakta untuk memasukkan nilai perlawanan terhadap bentuk penindasan.Kondisi saat ini harusnya menjadikan kita lebih sadar dan mengerti bagaimana memfilter arus modernisasi informasi atas hegemoni informasi yang semakin kebablasan.

Dakwah Islam
Puluhan abad silam, hasil dari produk jurnalistik Islam memainkan peran luar biasa dalam mengisi hiruk-pikuk kebangkitan Islam secara menyeluruh. Bahkan dalam beberapa referensi yang saya dapat gagasan revolusioner Islam yang menyeru kepada budaya baca-tulis dengan ayat-ayatnya terlahir di tengah-tengah komunitas yang justru ''antihuruf'' dan turunlah wahyu dengan awalan “iqra’”. Dari latar belakang kebangkitan islam dalam ranah karya dan perannya, jurnalistik menjadi sesuau yang tidak boleh dipandang sebelah mata.
Bahkan dari salah satu referensi menjelaskan bahwa peran Al-Quran dalam sejarah panjang jurnalistik Islam menjadi referensi utama yang menegaskan pentingnya menulis. Saya melihat ada korelasi panjang dari perkembangan peradaban islam menjadi pelopor peradaban dunia. Adanya hubungan ini bukan sekedar spirit Islam yang terkandung dalam Al-Quran. Dengan meluasnya area informasi akibat dari percepatan dan perkembangan teknologi informasi maka kia sebagai ummat Islam harus bisa mensiasati laju perkembangan informasi.
Tak bisa dipungkiri akibat arus percepatan informasi di era globalisasi menegaskan kita perlunya kembali menilisik signifikansi hubungan timbal-balik peran Islam dan jurnalistik, sehingga sejarah tidak hanya berhenti sebagai saksi bisu hubungan antara keduanya, namun ada upaya mewujudkan kembali secara maksimal hubungan yang pernah bersemi itu. Dengan demikian, jurnalisme Islam tidak hanya menjadi jargon tanpa realisasi.

“Dan hendaklah ada sebagian di antara kamu sekelompok orang yang senantiasa mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang makruf, dan mencegah yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. 3:104).

Dari kutipan diatas adalah penegasan bahwa untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar juga dengan ajakan. Dalam definisi dakwah islam banyak cara dilakukan. Dakwah bil lisan (ceramah, tabligh), dakwah bil hal (pemberdayaan masyarakat secara nyata, keteladanan perilaku) atau dakwah bil qalam (dakwah lewat pemberitaan atau tulisan) juga harus lebih digalakkan.
Dari cara-cara yang dapat dilakukan untuk berdakwah merupakan pilihan. Termasuk dengan dakwah melalui pemberitaan lewat tulis-menulis. Merupakan cara kita bagaimana bisa memanfaatkan media massa dalam hal berdakwah dapat dilakukan melalui penulisan opini yang umumnya terdapat di berbagai surat kabar harian, mingguan, tabloid atau majalah-majalah, jurnal hingga bulletin.
Begitu besar peran yang dapat kita laksanakan dalam berdakwah mensiarkan islam, termasuk dengan menulis. Memang bukan pekerjaan yang mudah untuk memulai dari menulis, karena kebiasaan yang sering dilakukan adalah kebiasan dakwah melalui lisan dan praktek nyata. Dari kerja kreatif menulis begitu luar biasa efeknya. Bila kita cermati dari perannya jurnalis memiliki tugas peran dan tanggungjawab meluruskan informasi yang saat ini cenderung diketengahkan kearah stereotype negatif. Bisa kita lihat bagaimana islam dikerdilkan melalui informasi yang cenderung menyuarakan citra islam semakin buruk. Dari isu terorisme hingga diberitakan sedemikian rupa seolah perilaku massa islam merugikan barat.

Informasi yang deras mengucur kearah pikiran masyarakat kita yang mayorias islam tidak henti-hentinya menghujam bahwa islam seolah-olah mengajarkan kekerasan. Fakta inilah yang berkelindan dipikiran para pemuda-pemudi yang cenderung labil tak menentu. Dengan doktrin informasi yang liberal dan global mengakibatkan jatidiri kemanusiaan lambat laun tereliminasi akibat budaya glamour efwk westernisasi. Jauh kedepan kita perlu kreatif untuk bisa menjembatani kondisi masyarakat kita yang konsumtif. Dengan berbagai cara kita sebgai generasi muda harusnya bisa mengambil posisi strategis. Diantaranya mengcounter informasi yang cenderung negatif dengan cara membuat tandingan media. Misal dengan bulettin, majalah ataupun media alternatif lainnya. Ini bisa dimulai dari diskusi-diskusi dan referensi yang memadai.

Jurnalisik Islam Sebagai Alternatif
Kita melihat begitu dahsyat tipu daya barat terhadap budaya Islam, melalui media teknologi dan informasi. Maka menjadi sebuah kewajiban untuk setiap kader umat Islam agar supaya semakin jeli dan kritis dalam menyerap setiap informasi yang datang dari manapun. Sebagai sebuah jawaban yang paling taktis adalah mengembangkan jurnalistik Islam yang benar-benar kokoh dan kuat. Dengan memasukkan nilai ideologi para penulis muslim demi membela kepentingan umat, khususnya menyuarakan nilai keadilan yang berujung pada pembelaan pada kaum mustadh’afien.
Di era globalisasi sekarang, dimana setiap negara berlomba-lomba untuk mendistribusikan produk secara bebas kenegara lain. perkembangan teknologi menjadi peran utama. Akses informasi yang melaju begitu sangat cepat, menyebabkan manusia memanfaatkan teknologi dalam berbagai aspek kehidupan. Kondisi inilah yang membuat perubahan pola pikir manusia menjadi pragmatis. Sehingga terkooptasi dengan hegemoni teknologi, yang banyak dihasilkan oleh bangsa barat, berubah menjadi pribadi yang tidak lagi memperhatikan etika, moral, dan akhlak, karena pengaruh faham kapitalisme dan sekulerisme terwujud dalam sebuah teknologi.
Sehingga dampak perbedaan yang terpaut jauh antara informasi media masa barat dan timur, jelas tampak sekali dari produk informasi yang dihasilkan. Media Masa Barat lebih cenderung kepada hingar-bingar kebebasan, kapitalisme dan sekulerisme. Hal ini sangat mempengaruhi Media Massa Timur, yang dahulu sangat terkenal dari sisi-sisi etikanya. Perubahan semacam ini seharusnya disadari oleh insan jurnalis dalam memperoleh informasi supaya tidak memberikan efek negatif kepada masyarakat yang memperoleh informasi tersebut.
Pengaruh-pengaruh negatif Barat inilah yang harus kita minimalisir bahkan harus kita cut. Bila dibiarkan tanpa ada filterisasi maka kedepan akan berbahaya bagi masa depan anak cucu kita. Wacana konsepsi islam harus segera digelontorkan dengan lebih kreatif supaya anak-anak muda tidak merasa jadul. Dengan melakukan proses kreatif tanpa mengesampingkan nilai-nilai islam maka akan menjadi keharusan untuk melawan laju teknologi informasi dari barat. Jurnalis mempunyai peran penting dalam memberikan akses informasi kepada masyarakat yang sejatinya masih terbelenggu dan terjebak dalam hegemoni barat yang cenderung pada minsed negatif.
Saat ini kita adalah pelaku dan kitalah yang harus mencari format alernaif ditengah hegemoni budaya barat yang tidak karuan arahnya. Solusi alternatif menjadihal yang paling fundal. Kita bersama harus bisa mengapresiasi diri melalui media. Bisa tidak bisa kita harus terlibat aktif dalam pembaharuan teknologi. Dengan cara inilah kita akan mampu mewacanakan konsep islam lebih kritis dan dengan cara kreatif islam tidak harus diwacanakan keras. Islam adalah universal membawa misi perdamaian.
Tak ada ayang tidak bisa kia kerjakan dalam kondisi seperti ini. Konsistensi atas idealisme perjuangan kita untuk menciptakan masyarakat baldatun toyyibatun warobbun ghofur. Dengan sarana pendakwahan akan memberikan kontribusi yang jauh lebih besar dari pada sekedar esensi perkembangan teknologi itu sendiri. Dan kita ditantang untuk berani berjuang menembus batas ruang dan waktu. Dengan kita berdakwah melalui menulis maka kita telah menginformasikan islam saat ini akan mampu dibaca dan difahami oleh cakupan yang lebi luas. dakwah bil qalam Islam yang dituliskan dapat dibaca oleh ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu hingga jutaan orang pembaca dalam waktu yang hampir bersamaan.

Relasi Agama dan Negara

Membincang Negara dan agama adalah sebuah pembicaraan yang cenderung mengarah pada ruang lingkup membangun persepsi. Ini bisa kita lihat bagaimana penafsiran agama dan negara cenderung pada porsi bagaimana negara dan bagaimana agama menjadi menarik untuk diketengahkan sebagai dua perbedaan.
Saya melihat selama ini orang mendefinisikannya baik peran dan fungsi hubungan antara agama dan negara cenderung melihat pada sisi politis. Karena itu berbagai kepentingan sosial-politik sangat mewarnai penggambaran konflik kepentingan antara yang menghendaki agama sebagai dasar negara dengan kalangan politik modern yang menolaknya.
Tapi bukan bagimana kita mempermasalahkan apakah mungkin antara agama dapat berdampingan sesuai dengan apa yang kita bangun dan persepsikan; adil, sejahtera dan berujung pada perdamaian. Maka menjadi sesuatu yang krusial bila kita lihat sebab dan akibat dari konflik yang ada baik itu mempertahankan bangunan keyakinan beragama dan bernegara. Bahkan acapkali darah menjadi hiasannya.

Hakikat Agama
Agama adalah realitas yang selalu melingkupi manusia. Muncul dari berbagai dimensi sejarah kehidupan. Karena itu tidak muda mendefinisikannya. Dapat dipastikan akan selalu diwarnai oleh latar belakang pemikiran yang digelutinya. Termasuk spesifikasi para ahli dalam ranah paradigma kajian yang mengkhususkan pada agama tertentu.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa sansekerta yang tersusun dari kata ”a” yang berati tidak dan “gam” yang berati pergi. Dalam bentuk harfiah yang terpadu kata agama berati tidak pergi, tetap ditempat, langgeng abadi yang diwariskan terus menerus dari satu generasi kepada generasi lainnya.
Secara umum kata agama berarti tidak kacau yang secara analitis kritis diuraikan dengan cara memisahkan kata demi kata: “a” berati tidak dan “gama” berarti kacau. Jadi kehidupan orang yang memeluk agama atau beragama akan mengamalkan ajaran-ajaranya dengan sungguh sungguh tidak akan mengalami kekacauan atau split personality.
Bahkan kalau kita rujuk dari berbagai referensi agama bisa menjadi definisi yang multi interpretasi. Termasuk disetiap daerah dan pemeluknya cenderung terikat pada khasanah maritimnya. Sehingga kita tidak terjebak pada ranah penafsiran linier. Bahkan agama menut bahasa arab mempunyai banyak arti sesuai dengan konteksnya, secara terminologis memiliki arti berbeda-beda bahkan setiap ahli mengemukakan sesuai fokus keilmuannya. Tapi dari beberapa konsepsi yang ada saya melihat agama merupakan satu syistem credo (tata keimanan atau keyakinan) atas sesuatu yang mutlak diluar manusia. Agama juga sistem ritus manusia kepada yang dianggapnya mutlak. Juga sistem norma yang mengatur hubungan antara manusia dan sesama manusia, serta hubungan antara manusia dan alam lainnya yan sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan yang dimaksud.

Hakikat Negara
Hakikat negara menjadi suatu hal yang penting ketika kita hidup dalam wilayah kekuasaan. Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. Bahkan negara merupakan pengorganisasian masyarakat yang mempunyai rakyat dalam suatu wilayah tersebut, dengan sejumlah orang yang menerima keberadaan organisasi ini.
Syarat lain keberadaan negara adalah adanya suatu wilayah tertentu tempat negara itu berada. Yang disebut sebagai kedaulatan, yakni bahwa negara diakui oleh warganya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas diri mereka pada wilayah tempat negara itu berada. Keberadaan negara, seperti organisasi secara umum, adalah untuk memudahkan anggotanya (rakyat) mencapai tujuan bersama atau cita-citanya.
Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang disebut sebagai Konstitusi, termasuk didalamnya nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh rakyat sebagai anggota negara. Sebagai dokumen yang mencantumkan cita-cita bersama, maksud didirikannya negara Konstitusi merupakan dokumen hukum tertinggi pada suatu negara. Karenanya dia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Konstitusi di Indonesia disebut sebagai Undang-Undang Dasar.
Dalam bentuk modern negara terkait erat dengan keinginan rakyat untuk mencapai kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Bentuk paling kongkrit pertemuan negara dengan rakyat adalah pelayanan publik, yakni pelayanan yang diberikan negara pada rakyat. Terutama sesungguhnya adalah bagaimana negara memberi pelayanan kepada rakyat secara keseluruhan, fungsi pelayanan paling dasar adalah pemberian rasa aman.
Negara menjalankan fungsi pelayanan keamanan bagi seluruh rakyat bila semua rakyat merasa bahwa tidak ada ancaman dalam kehidupannya. Dalam perkembangannya banyak negara memiliki kerajang layanan yang berbeda bagi warganya. Bahkan negara menjadi penting bila kita lihat dari fungsi dalam mensejahterakan serta memakmurkan rakyat Melaksanakan ketertiban Pertahanan dan keamanan Menegakkan keadilan.

Relasi Agama Dan Negara
Agama dan negara adalah dua istilah yang mempunyai keterikatan dan keterkaitan. Baik darai sisi peran, fungsi hingga klasifikasi kepentingan. Bila sejarah kia jadikan rujukan, maka banyak perlakuan berbeda dari kesaling pautan antara negara dan agama. Keduanya saling mengisi denfan agama sebagai ajaran yang mengikat untuk mempraktekan dan negara sebagai bagian yang mengikat akan fungsi pelayanan atas kesepakatan kolektif.
Pada awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini masih sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan. Pertama, hubungan paralel. Dalam hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan negara. Di mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem (pemerintahan) yang dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan berjalan pada sistem kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya dan hanya mementingkan keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah suatu konsep yang tidak sejalan dan sepaham yang kemudian antara keduanya tidak akan pernah bertemu dan bertutursapa sampai kapan pun.
Sementara, yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan adanya pertemuan antar-keduanya. Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan hubungan yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam arti bahwa antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada akhirnya akan menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu dari mereka akan menafikan yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-dogma bahwa ada salah satunya yang menjadi primadona (negara atau agama).
Mereka hanya menganggap bahwa itulah satu-satunya yang paling benar. Padahal, masih ada yang lebih unggul darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya sesuai, paling tidak, ada sedikit kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada pendikotomian yang sifatnya hanya mementingkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar (agama atau negara).
Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan negara, sama-sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat. Artinya, sama-sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol. Dengan begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan tercipta suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-keduanya.
Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima kekurangan-kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern. Dengan demikian, diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara, di mana, agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang terdapat pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk agama, yang mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara individu, melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan kehidupan yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.

Khasanah Multikulturalisme
Untuk melihat dan meninjau ulang hubungan antara agama dan negara. hubungan antara keduanya yang semestinya, baik dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas keberagamaan. Istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen penting, yakni terkait dengan kebudayaan,konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu.Karena itu,multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia.Sebab,hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan.Artinya,perbedaan menjadi asasnya dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif.
Karena itu,multikulturalisme harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Pemahaman seperti ini memunculkan diskursus berkepanjangan mengenai hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Diskusi-diskusi tersebut hingga saat ini mengerucut dalam dua arus besar: pertama menginginkan bentuk kekhilafahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam. Kedua bersikap lebih moderat serta mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai Islam bisa dijalankan. Bagaimana kemudian sikap dan posisi para ulama klasik tentang ini.

Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik merupakan paham dan konsep hubungan Negara dan Agama yang menganggap bahwa Negara dan agama merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Ini juga memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga Agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.
Paradigma ini kemudian melahirkan konsep tentang Agama-Negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian peradigma integralistik dikenal juga dengan paham Islam: din wa dawlah, yang sumber positifnya adalah hukum Agama. Paradigma integralistik ini antara lain dianut oleh kelompok Islam Syi’ah. Hanya saja Syi’ah tidak menggunakan term dawlah tetapi dengan term Imamah.

Paradigma Simbiotik
Menurut konsep ini, hubungan Negara dan Agama dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Dalam konteks ini, Negara memerlukan Agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Begitu juga sebaliknya, agama juga membutuhkan Negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan Agama.
Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama (syari’at).

Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan (disparitas) antara Negara dan Agama. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan hukum Agama (syari’ah).
Konsep sekularistik ini bisa dilihat dari pendapat Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah pun tidak ditemukan keinginan nabi Muhammad untuk mendirikan Agama. Rasulullah hanya penyampai risalah kepada manusia dan mendakwahkan ajaran agama kepada manusia.

*) Makalah ini disampaikan pada diskusi kajian spiritual yang diadakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang. Tanggal 4, november 2009.
*) Ketua Umum HMI Cabang semarang 2009-2010. Pegiat Komunitas Lingkar Studi Alternatif Semarang.