SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Kamis, 04 Februari 2010

Mengembalikan HMI Pada Khittah Perjuangan

Bertepatan pada hari Jum’at tanggal 5 Februari 2010, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hari ini telah memasuki usia ke-63 tahun. Kiprahnya di negeri ini telah menjadi bukti bahwa HMI terus berbenah peran gerakan dari generasi ke-generasi. Hingga tak terhitung sudah berapa kader terbaiknya turut mengisi peran, baik sebagai pakar politisi, pengusaha hingga akademisi. Demikian banyaknya hingga hari ini HMI masih layak disebut organisasi kemahasiswaan yang tetap konsen di lahan garap perjuangannya.
Tentunya menjadi kebanggaan bagi kita sebagai kadernya, karena HMI sebagai organisasi besar, organisasi tertua di Indonesia, kaya dengan pengalaman, pelopor dan pencetak para intelektual, banyak anggota dan alumni yang tersebar diseluruh pelosok negeri. Kemudian ini menjadi menarik untuk kita simak apakah hingga sekarang HMI masih tetap konsen mengkader dan menyiapkan para pejuang yang siap menjadi pelopor disetiap zamannya kelak seperti dahulu.
Karena bila kita tilik dari proses hingga sekarang himpunan ini banyak mengalami metamorfosa posisi kultural akibat tantangan, baik dari internal maupun eksternal. Semua pastinya berdampak pada peningkatan kuantitas hingga tradisi menuju kualitas sumber daya manusia (red-kader). Sehingga besarnya HMI, tuanya dan banyaknya alumni yang hebat menjadi kelemahan kader-kader sekarang. Karena banyak yang mengekor, bahkan menggantungkan eksistensinya pada kebesaran seniornya, berlindung di balik bangunan sejarah HMI yang tidak dibuatnya namun ia terus memparasitkan diri “ngalap berkah” darinya.
Reposisi Gerakan HMI
Milad ke 63 saat ini menjadi refleksi bersama bagaimana HMI sebagai organisasi yang mengedepankan jargon “intelectual movement”, dengan menghadirkan dirinya dan turut berkiprah dalam menginvestasikan kader-kadernya di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sambutan panglima besar Jenderal Soedirman dalam peringatan 1 tahun HMI berdiri pernah mengatakan “HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri”, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam melainkan Haparan Masyarakat Indonesia.
Menurut apa yang diharapkan oleh Jenderal Soedirman bukan mengada-ada, yang disampaikan beliau menjadi inspirasi para pendiri dan kader waktu itu. Bahwa HMI harus tetap menjadi bagian sejarah perjuangan menuju harapan kemerdekaan indonesia seutuhnya. Analisa penulis, HMI berdiri memang sudah menjadi jalan untuk mencetak para intelektual progersif yang siap memimpin dizamannya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, kiprah HMI dalam perjuangan sangat aktif, melebihi organisasi mahasiswa yang lain. Dasar letak perjuangan panjang hingga ke 63 tahun sekarang patut kita koreksi bersama apakah himpunan ini tetap menjadi harapan atau malah menjadi mitos yang kabur tak tentu arahnya karena kebesaran jubah sejarah yang menyelimuti.
Bahkan pergulatan akibat tekanan represif rezim pemerintahan Orde Baru dan godaan kekuasaan menjadikan HMI pecah menjadi dua pada tahun 1986, yaitu HMI MPO yang tetap mempertahankan asas Islam sebagai azas organisasi dan HMI DIPO yang menerima asas pancasila. Sejarah panjang tersebut tak bisa dimungkiri dan menjadi dampak luar biasa untuk perkembangan peran HMI dalam pusaran sistem keindonesiaan hingga kini. Tapi bukan kemudian kita memperdebatkan bagaimana posisioning HMI dalam menghadapi tantangan berikutnya. Sebagai kader HMI saya melihat kini himpunan yang sudah mulai menua harusnya mampu kita deskripsikan lagi fungsi dan perannya dalam bingkai keindonesiaan sebagai iluminasi gerakan untuk dapat meningkatkan keunggulan komparatif tanpa terpancing tubuh HMI menjadi dua. Justru ini menjadi peluang bagi kader-kader HMI untuk bisa bersaing dalam berperan untuk membuktikan bahwa HMI harus tetap menjadi garda yang terdepan dalam mencetak kader-kadernya.
Perjalanan yang terjal dan penuh liku biarlah berlalu dan saatnya kini kita memikirkan bagaimana agar ruh HMI dapat kembali dan mampu menjadi inspirasi perjuangan. Karena HMI bukanlah apa-apa, tapi menurut penulis dalam sistematika dan proses perkaderannya telah dan mampu menjadi sebuah konstruksi luar biasa karena mampu mencetak generasi yang tahan banting dan siap pakai. Karena itulah segalanya bisa berawal dari HMI.
Kembali ke Khittah perjuangan
Seiring perjalanan tumbangnya rezim Orde Baru muncul keberanian masyarakat kita untuk melakukan kritikan dalam berbagai bentuk, termasuk HMI juga telah menjadi sasaran kritik berbagai kalangan, baik internal maupun eksternal HMI. Kritikan pedas yang terlontar dari almarhum Cak Nur “HMI sekarang tidak sesuai lagi dengan misi awal pendiriannya, kader HMI cenderung elitis dan banyak berpolitik dari pada memikirkan persoalan umat dana bangsa”. Sebagai orang yang pernah besar di HMI, kritik Cak Nur tersebut tentu tanpa alas an tetapi melewati pengamatan dan analisis yang mendalam.
Melalui refleksi sejarah atas banyaknya kritikan dan evaluasi yang berdatangan dari segala penjuru, menjadi sesuatu yang penting untuk sebuah organisasi. Ibarat pohon HMI sekarang semakin menjulang tinggi dan pastinya terpaan badai, hembusan angin pastinya semakin kencang, demikian kritik tajam yang bertubi-tubi harus menjadi kontrol bagaimana masa lampau yang berlalu dan menatap masa depan dengan pijakan kritik yang konstruktif.
Banyak hal yang perlu penulis ketengahkan diantaranya tiga hal yang menjadi koreksi bersama, diantaranya yang menjadi masalah himpunan ini. Pertama menurunnya populasi kajian rutin strategis. Kedua, split karakter sehingga berujung pada dekadensi kualitas kedirian dan Ketiga, pragmatisme oriented. Dalam konteks kekinian tiga kelemahan tersebut menjadi tantangan kita bersama. Untuk meretas stagnasi harus dengan kerja keras. Diantaranya kita sebagai kader HMI harus siap merebut kembali dan mengetengahkan tradisi intelektual HMI ditengah arus pragmatisme. Semuanya harus dimulai dari kesadaran diri dan bersama bahwa ruh spirit identitas kader harus direvitalisasi mulai sekarang dengan kembali ke-khittah perjuangan.
Usia bukan menjadi halangan untuk membuktikan bahwa sejarah layak untuk kita konstruksi bahwa keberhasilan HMI pun juga tergantung bagaimana generasi saat ini secara kualitas dapat diandalkan. Diantara khasanah intelaktual yang perlu dikuatkan tersebut adalah; Pertama, kemampuan melihat kompleksitas realitas dengan kapasitas keilmuannya kedua, kemampuan kompotensi keilmuan yang diharapkan mampu memecahkan kebutuhan praktis masyarakat.
Menjadikan kembali HMI sebagai harapan masyarakat Indonesia adalah tugas berat dan butuh perjuangan. Bahkan dalam proporsi penulis HMI bukan hanya menjadi Harapan Masyarakat Indonesia tapi juga menjadi Harapan Masyarakat Internasional. Bahkan dalam idealita kesejarahan menjadi Harapan Masyarakat Islam (madinatul munwaroh) adalah sebuah keniscayaan bagi kita dan seluruhnya. Semua bisa diwujudkan selama kita mengerti tujuan himpunan ini.
Milad ke-63 harusnya menjadi momen untuk berintrospeksi dan berbenah bagi seluruh kadernya dalam aktifitas gerak juangnya. Dari tujuan besar yang ingin dicapai dari Khittah Perjuangan yaitu terbinanya mahasiswa islam menjadi insan ulul albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai allah SWT menjadi benang hijau untuk mengusung peran gerakan kekinian. Sudah saatnya HMI merumuskan strategi gerakannya untuk bangkit dengan kembali ke khittah perjuangan sehingga mampu mengembalikan citra keorganisasian dengan peran iluminatif-nya. Amien.. Yakin Usaha Sampai, Bahagia HMI!

*) Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Semarang 2009-2010 dan Direktur Lingkar Studi Alternatif (LASTA ) Semarang.