Tindakan brutal kembali memakan korban nyawa akibat dari represifitas terhadap ribuan massa aksi di Bima. Kronologinya dari aksi yang dilakukan oleh ribuan warga Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, sejak senin(19/12) senin hingga sabtu pagi (24) yang menduduki Pelabuhan Sape. Tindakan tersebut merupakan wujud protes atas keberadaan perusahaan tambang emas di Lambu. Keberadaannya dinilai merugikan warga dengan alasan merusak sumber air satu-satunya dipemukiman warga setempat. Pendudukan Pelabuhan Sape dilakukan warga selama hampir seminggu melumpuhkan aktifitas.
Tindakan Represif VS Slogan Polisi
Upaya represif polisi pagi hari tadi dalam pembubaran paksa yang dilakukan warga memblokade pelabuhan menjadikan luapan aksi aparat. Tindakan ribuan polisi yang sangat represif tidak mencerminkan institusi POLRI. Desingan tembakan yang dilakukan polisi yang menewaskan warga dan diperkirakan lebih dari lima korban, puluhan kritis dan luka-luka menjadi bukti buramnya lembaga parat hukum.
Slogan polisi “Mengayomi, Melindungi dan Melayani” sekedar slogan yang bias nyatanya, karena dilapangan rasa aman nyaman hanya oase belaka. Ini bisa kita runut tragedi kasus Mesuji berdarah, kasus pembubaran kongres rakyat dimanokwari papua barat dan blokade pelabuhan sape dibubarkan di Bima NTB. Semua berujung pada keberpihakan aparat kepada perusahaan yang notabenenya “berduit’.
Suatu bentuk tindakan yang sangat disayangkan, ini wujud nyata tirani.Telah mengukuhkan tindakan amoral dari aparat yang harusnya memihak rakyat kecil termarginalkan. Kekerasan yang terjadi merupakan daftar hitam dari sikap aparat karena tidak mampu melindungi dan mengayomi warga. Apalagi alih-alih melayani mereka yang secara nyata harusnya dibela. Argumentasi dari KOMBES Boy Rafli Amar sebagai KABAG PENUM Divisi HUMAS POLRI yang mengatakan bahwa “itu tindakan tegas yang dilakukan kepolisian” ini argumentasi yang cenderung membela bahkan membenarkan tindakan tersebut.
Dengan alasan salah tembak, kalau dilihat bukan sekedar salah tembak tapi asal tembak yang jelas terarah. Aparat melebihi tindakan kepatutan dan institusi POLRI cenderung arogan.
Korban Berjatuhan dan Keadilan
Pembubaran polisi yang dilakukan pada pagi dini hari sekitar jam enam pagi yang berjumlah sekitar seribuan dengan senjata lengkap kepada warga masyarakat lambu dan sape dapat disaksikan diberbagai media. Data dilapangan yang didapat ada 5 korban tewas, diantaranya Arif rahman (19), Syaiful (17) dan ansyari (20). Korban kritis dan luka-luka yang belum terhitung jumlahnya kemungkinan bisa menjadi tersangka dengan alasan yang didakwakan.
Sementara informasi terakhir yang didapat sebelumnya menjelaskan bahwa masyarakat tidak pernah melakukan perlawanan atau konfrontasi karena masyarakat mengharapkan agar polisi melepaskan aktifis LMND dan pencabutan izin penambangan PT. Indo Mina Persada, PT. Sumber mineral nusantara.
Masyarakat yakin keberadaan tambang emas tersebut mengancam pekerjaan mereka sebagai petani lantaran areal tambang berada pada sumber mata air. Protes dan penolakan tambang ini sudah dilakukan setahun terakhir, namun belum mendapat tanggapan dari Bupati. Jelas dalam tuntutan itu agar penguasa berpihak pada warga yang mayoritas jelas sebagai rakyat di Bima.
Lalu keadilan kemana larinya, sedangkan bagian dari kelompok masyarakat mayoritas yang berjuang bersama ribuan masyarakat di Bima yang menuntut keadilan nyata. Sedangkan dari Pemerintah Kabupaten Bima tidak menggubrisnya bahkan mengerahkan kekuatan aparat yang bersenjata lengkap. Apakah ini menjadi rahasia umum tentang keberpihakan institusi aparat “tukang pukul” negara bahwa mereka maju tak gentar membela yang bayar.
Aksi Beruntun dan Kebangkitan Gerakan
Realitas tragedi setelah reformasi meninggalnya mahasiswa trisakti yang tertembak kinipun terulang pada tragedi pergolakan di Bima. Ini menjadi bukti bahwa polisi tidak mempunyai analisis aksi yang berbasis riset. Kenapa bisa terulang kejadian penembakan yang harusnya tidak dilakukan oleh para pengayom masyarakat. Sejarah berulang tetesan darah kini tumpah lagi. Polisi mungkin lupa bahwa yang membayar mereka memberikan pol peluru adalah uang rakyat dari hasil pungutan pajak, tapi mereka dengan mudah melepaskan peluru bersarang di tubuh rakyat yang ditembak dengan mudahnya.
Sebagai warga negara saya melihat tragedi lepas dari bentuk siaga dari polisi secara tidak langsung berpesan bahwa polisi harus bisa lebih arif, tidak layak kalau itu terjadi. Tapi semuanya telah menjadi bubur. Jangan sampai ini menguap begitu saja. Ini jelas pelanggaran HAM, karena menghilangkan nyawa orang. Harus di usut tuntas dengan mengadili pelaku yang melakukan tindak kekerasan bahkan mengakibatkan kematian.
Saya mengajak kepada semuanya yang ada dan melihat kejadian ini jangan hanya melihat dan terpaku seolah ini telah terjadi. Mari kita buka mata hati kita, apa yang akan lakukan bila korban adalah anggota keluarga anda. Kalau anda masih punya nurani, mari bangun solidaritas dan kebersamaan yang hidup diatas segalanya. Bahwa mahasiswa dan kaum muda harus menangkap momentum ini untuk dijadikan titik tolak bahwa kita punya peran dan tanggung jawab.
Sebagian mahasiswa dan pemuda mengadakan aksi dengan berbagai cara. Disambut melalui aksi solidaritas dengan shalat ghaib dan unjuk rasa dibeberapa tempat. Mengusung tuntuntan mengecam tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian. Kalau sampai tidak ada tindakan yang jelas dan endingnya biasa jelas ini penghianatan yang sangat terhadap tanggung jawab secara kolektif.
Mari bangun konsolidasi dan kekuatan masif agar gerakan ini mampu bangkit kembali ditengah himpitan pragmatisme dan sistem kampus yang mengkerdilkan peran-peran mahasiswa. Tanggung jawab intelektual organik yang disampaikan oleh gramsci jangan sampai mati suri di nadi semangat dan paradigma di peran nyatanya. Sangat keliru bila aksi dianggap hal yang tidak patut, tapi sebaliknya kita harus bisa menjelaskan pada masyarakat bahwa mahasiswa masih punya peran dan nyali untuk membela masyarakat yang ditindas akibat sistem dan logika rimba kekuasaan.
Hemat saya apapun organisasi anda, harusnya sebagai gerakan mahasiswa mampu mengetengahkan kembali “idealisme” berdasarkan intelektual. Kita harus mengontrol setiap saat dengan bersama untuk merapatkan barisan terberai oleh kepentingan semu. Kita masih bisa bersatu di tengah dinamika yang kompleks, dan menginisiasi kesolidan melalui solidaritas dan kesadaran untuk memperbaiki bangsa ini dengan mengusung perubahan yang tidak bisa lagi ditunda. Dimulai sekarang juga.
02.[25/12/2011]