Saat
tenggelam matahari diufuk barat dan disambut dengan gema takbir berkumandang,
menandakan berakhirnya bulan Ramadhan diseluruh
penjuru dunia. Isyarat masuk hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H bagi ummat Islam.
Disambut dengan gempitanya suara riuh petasan dan tabuhan bedug yang turut
menghiasinya. Syawal yang dinanti kini telah tiba untuk dirayakan sebagai
kemenangan. Begitu pula tradisi yang kental pun juga melekat dari perayaan ini
berupa mudik dan sungkeman. Bahkan tidak sedikit dari yang merayakannya dengan
bergembira dan bahagia untuk membingkainya dalam partisipasi nan fitri dengan
sebutan lebaran.
Mudik dan Kearifan
Bagi
sebagian warga pasti sering melaksanakan tradisi mudik untuk mennyambut Idul
Fitri. Mudik merupakan kekuatan tersendiri karena mampu menggerakkan hampir 80
persen masyarakat urban. Semua berbondong-bondong melakukan tradisi mudik
menuju kampung halamannya. Mudik merupakan potret budaya khas lokal, bisa
dikatakan tradisi yang ajek terjadi. Ini tidak terjadi pada semua negara muslim,
keajekan mudik menjadi ciri khas bagi warga Indonesia khususnya di Jawa.
Makna
mudik dapat ditafsirkan sebagai upaya kembali ke markas asal sebagai wujud pernyataan kesetiaan dan solidaritas
kepada saudara di kampung. Ini menjadi kearifan bahwa mudik selain sebagai
tradisi tahunan juga menyiratkan
spirit berkumpul yang membuncah dalam momentum lebaran.
Bahkan
kalau kita cermati makna meminta maaf dalam ritual mudik tidak hanya yang masih
hidup dalam keluarga, dalam tradisi Jawa mungkin kita juga mengenal istilah; kramatan, makaman, pasarean dan jaratan. Berziarah atau lebih dikenal
dengan nyekar dilakukan menjelang Ramadhan
dan Idul Fitri.
Menurut
Andre Moller (2005) yang memotret aktifitas Ramadhan di Jawa mengungkapkan
bahwa tujuan mengunjugi pekuburan pada Idul Fitri berdasarkan
keinginan untuk dimaafkan anggota keluarga yang telah tiada. Disinilah kearifan
tradisi yang menyiratkan kekuatan, bahwa meminta maaf kepada keluarga dan
handai taulan tidak terbatas pada yang masih hidup saja. Bahkan dalam kosmologi
jawa hidup dimaknai sebagai suatu kesatuan antara orang yang masih hidup, nenek
moyang yang sudah meninggal dan alam kelanggengan. Jangan heran bila pekuburan yang berupa gundukan tanah
namun bagi masyarakat jawa dianggap penting dan mempunyai nila sejarah dan juga
kadang dikaitkan dengan tradisi nilai leluhur.
Bagi
mereka yang tidak punya tempat untuk pulang tetap akan merayakannya dengan
ruang lain yang mampu menghadirkan kebersamaan untuk bertemu sanak saudara
maupun teman. Bahkan juga ada yang tetap melakukan sungkeman dan juga menziarahi
makam orang tua. Ternyata ritual mudik memberi banyak memberi pesan kearifan.
Tradisi sungkeman dihari yang fitri
menjadi wujud peleburan dosa dalam meminta maaf. Sarat dengan emosional bahkan
tidak jarang kita jumpai orang tersedu menangis. Inilah realitas yang ada bahwa
pelibatan perasaan disaat tradisi sungkeman dan membaurnya sanak famili menjadi
penting.
Apresiasi Etos Sosial
Dalam
perayaan Idul Fitri ada makna lain yang menarik, selain hari kemenangan juga
kemerdekaan. Idul Fitri terlanjur lebih dikenal dengan sebutan Lebaran diartikan sebagai hari yang
istimewa bagi kalangan muslim. Di dalam cara merayakannya kultur masyarakat
kita cenderung tercerabut dari makna, bahkan banyak yang baru menyentuh
kulitnya saja. Lebaran selalu diidentikan dengan baju baru, makanan yang cenderung mengarah pada foya-foya dan
kemewahan. Inilah yang jarang kita sadari bahwa makin jauh masyarakat memaknai Idul
Fitri.
Memang
sematan “Lebaran” mempengaruhi pola
tindakan dan sikap. Orang cenderung memanfaatkan lebaran memamerkan
kelebihannya secara fisik. Lalu apakah ini keliru? Padahal ini telah menjadi tradisi
dimasyarakat kita, ini tidak demikian kemudian penulis menghakimi bahwa lebaran dan serba kemewahan keliru. Itu
tidak keliru, yang keliru adalah melakukan itu dengan berlebih-lebihan dan
menganggap serba baru sebagai sesuatu yang wajib.
Inilah
tantangan kita, semua telah mentradisi dan menjadi fenomana dimasyarakat kita.
Bahkan membudaya dan mungkin juga susah untuk dihilangkan. Mari kita koreksi
bersama bahwa Idul Fitri yang diartikan lebaran
bukan dimaknai hanya sebatas fisik dan materi. Kita harus bisa menangkap pesan
dari Idul Fitri dan pesan dari pelaksanaan ibadah Ramadhan.
Rasulullah bersabda, Man shama
Ramadhana imanan wahtisaban, ghufira lahu ma taqaddama min dzambik (barangsiapa
berpuasa Ramadhan dengan dasar Iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya
yang telah lampau).
Ini
jelas menekankan bahwa puasa menjadi madrasah
ruhani yang menempa diri seorang hamba. Bukan sekedar dimaknai sebagai ritus agama saja tapi juga nilai sosial
kita sebagai kawah condrodimuko ajang menempa diri untuk mengilhami dan
menjalani 11 bulan setelahnya. Ramadhan sendiri merupakan bulan produktif,
dimana kita diajarkan banyak untuk beramal baik secara pribadi dan sosial.
Didalamnya tersirat pesan pencerahan
batin dan pengendalian pribadi seorang hamba, sekaligus momentum untuk
mengasah kepekaan sosial.
Kadang
kalau kita sedikit merenungi tentang ritual simbolik
ini kita dapat mengartikan pesan sesungguhnya dari perayaan Idul Fitri. Misal;
Kenapa kita diminta menunaikan zakat fitrah? Tujuannya adalah kesalihan sosial
dimana kita bisa berbagi dengan mereka yang berkesusahan, bahkan kita juga
diminta secara mondial untuk bisa bersama mengerti dan peduli dengan
saudara-saudara sekitar kita yang di tempat-tempat lain masih banyak menangis
menahan lapar (baca; kurang beruntung).
Perilaku
lain dalam perayaan Idul Fitri yang kadang terlanjur jadi kebiasaan misal;
takbir keliling. Apakah itu merupakan upaya perayaan yang mampu menjadikan kita
sebagai hamba bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah ? Tetapi jika ritual tersebut
yang hampir tiap tahun dilaksanakan hanya
sebatas hura-hura, pawai di jalan, menghambur-hamburkan harta, dan tentunya
kadang mengganggu warga lain yang juga merayakannya. Inilah yang kiranya kalau
kita cermati tidak sejalan dengan semangat Malam Lebaran.
Kembang
api dan petasan tidak jauh beda, mungkin bagi mereka yang menyulutnya ingin
menunjukkan kebahagiaan dan kemenangan karena telah berpuasa sebulan penuh, tapi
mungkin cara yang digunakan kurang tepat. Coba bila uang yang digunakan untuk
mercon dan kembang api itu dikumpulkan kemudian diberikan kepada mereka yang
membutuhkan. Pastinya akan jauh lebih berarti dan bermanfaat tepat sasaran.
Masih banyak pesan yang perlu kita gali dari
ibadah Ramadhan dan perayaan Idul Fitri
yang telah kita laksanakan setiap tahun. Yang pasti bukan sekedar
aksetis spiritual transenden, ataupun
dirayakan dalam aspek fisik materi oriented.
Bahkan tidak dapat dimungkiri realitasnya tidak sedikit umat Islam yang
memandang bahwa hari raya Idul Fitri dominan ditampilkan dengan serba wah bahkan untuk menunjukkan identitas
sosial tidak jarang antar tetangga saling berlomba-lomba untuk menunjukkan
sesuatu yang membuat orang lain mengakui akan materi yang dimiliki. Tentunya
bukan itu, mari kita sikapi dengan kritis
bahwa orientasi Idul Fitri bukanlah serba baru.
Seperti
dalam hadis, Rasulullah menggambarkan bahwa mereka yang berhak untuk
mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hari yang Fitri bukan mereka yang punya
pakaian baru sampai dua, empat, lima pasang, ataupun bahkan lebih. Bagi mereka
yang punya mobil mewah, rumah baru, hidangan yang serba lezat dan nikmat, tapi
hari raya Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang mencapai riyadhah sehingga tingkat kepatuhan dan
ketakwaannya kepada Allah semakin meningkat.
Refleksi Riyadhah
Ramadhan
dan Idul Fitri menjadi cerminan kita untuk memperbaiki sikap dan tindakan
kedepan. Apalagi bila kita cermati lebih jauh hadis diatas merupakan satu
bentuk dari penghargaan dan apresiasi Allah bagi mereka yang kurang mampu dalam
bidang ekonomi. Sebab kuantitas dari masyarakat yang serba berkecukupan itu
lebih minoritas dibanding mereka yang serba hidup sedang, pas-pasan atau bahkan
di bawah garis kemiskinan.
Jauh
dari itu pesan ajaran Islam mengajak para pemeluknya bisa memberi arti dalam
hal kebaikan dan juga mengajarkan pada kita sebagai hamba, bahwa Allah tidak
melihat dari kekayaan atau kelebihan materi tapi Allah menegaskan bahwa
merekalah yang berderajad taqwa. Allah
menempatkan posisi ketaatan dan ketaqwaan menjadi nomor wahid
dari segala-galanya untuk hambanya.
Begitu
kuat pesan moral dan sosial yang terkandung dalam ibadah keagamaan di bulan
suci dan kemenangan ini. Bagaimanapun gerusan gurita kapitalisme ditengah
kehidupan yang serba materialistik dan cenderung hedonis, kita harus bisa
menelaah dan menyikapi dengan arif. Jalinan silaturahmi dan kekerabatan antar
sanak famili untuk menjaga persaudaraan menjadi penting.
Dalam
istilah Jawa ngumpulke balung pisah,
menjadi ikatan historis dan hubungan sosial yang sarat dengan pesan leluhur.
Inilah yang perlu kita maknai sebagai silaturahim mondial di bulan Syawal nan Fitri,
sehingga walau jauh tetap ada upaya untuk kembali menguatkan ikatan silaturahim
kekerabatan. Begitu pula tingkatan riyadhah
ibadah kita sebagai hamba untuk memperbaiki diri juga bersinergi dengan
perbaikan tindakan untuk berbagi dan berarti untuk sesama manusia.
Karena
hidup ini merupakan wujud aktualisasi hamba yang diamanahi dengan segala
fitrahnya yang terus menerus secara berkesinambungan untuk bisa melakukan
perjalanan menuju fitri. Silaturahim bukan sekedar bertemu tapi juga ada upaya
saling menasehati, mendoakan untuk kebaikan dunia dan akhirat. Kitapun termotivasi
untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Menjadikan hati dan jiwa menjadi bening
dan bersih tentu tidaklah mudah. Perlu adanya pengalaman, pengamalan dan
latihan untuk memahaminya. Termasuk saat ini, kita selesai menjalani puasa
sebagai penyuci jiwa dan merayakan Idul Fitri sebagai wujud kemenangannya. Kitapun
belajar untuk bisa memperbaiki moralitas dan melahirkan akhlak-akhlak (budi
pekerti) yang baik. Untuk terus amalkan kebiasaan yang baik yang telah kita
lakukan dibulan Ramadhan dan kita tingkatkan untuk mengisi hari-hari
berikutnya. Sudahkah kita mulai untuk melaksanakannya? Mari kita perbanyak
jalinan silaturahim untuk menguatkan jiwa menuju titik fitri dan memendarkan
cahaya Illahi dalam wujud kebaikan kepada semua orang. Selamat Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.
Tulisan ini dimuat juga di BULLETIN
BERSUARA LAPMI Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar