SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 07 Maret 2011

Kebebasan Pers; Kontroversi Intervensi Dipo Alam dan Media Dalam Pespektif Profesionalisme

Pernyataan sikap yang disampaikan oleh sekretaris kabinet Dipo Alam yang notabenya sebagai bagian dari pemerintah menjadi polemik tersendiri. Hal itu dapat dinilai sebagai pelanggaran UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan mengeluarkan "ancaman" yang bisa menyerang kebebasan pers dan hak publik memperoleh informasi. Sebagai pejabat publik, Dipo Alam juga tidak pantas mengeluarkan pernyataan yang tidak etis tersebut.

Dalam kutipan di pernyataannya "Pokoknya, saya katakan, kalo mereka (media) menjelekkan (pemerintah) terus, pemerintah tidak akan pasang iklan. Yang punya uang itu pemerintah," ditegaskan oleh Dipo Alam. Pernyataan itu menuai protes berbagai kalangan, karena itu merupakan bentuk pengekangan kembali terhadap pers di Indonesia. Bisa kita ketahui bersama bahwa media merupakan sebagai alat control yang merupakan amanat konstitusi dan pilar demokrasi.

Bila media sebagai pilar demokrasi dipasung jelas akan mengakibatkan polemik di system negara ini. Kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran dan Loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga Negara. Disini esensi dari jurnalisme sendiri dalam media adalah disiplin verifikasi. Lepas dari kritikan yang disuguhkan dimedia sebagai tugas utamanya media dan dunia jurnalis harus memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, sehingga berusaha membuat hal penting menjadi menarik dan relevan.

Dari pemberitaan media sendiri terkait sikap dipo alam sebagai sekretaris kabinet, harusnya lebih berhati-hati dalam bersikap. Dan sebagai bagian dari elemen masyarakat sipil saya mendukung untuk media-media yang di rugikan akibat pernyataan dipo alam. Dari bentuk profesionalisme perannya, pers memiliki tanggung jawab dan kewajiban mengawal jalannya pemerintahan dan pembangunan agar tidak terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan. Dengan fungsi sosial kontrolnya itu pers punya kewajiban menampilkan berita-berita yang mengkritik pemerintah. Sebagai alat kritik dan kritik disini adalah membangun.

Disisi lain media juga harus bisa melakukan peran yang sesuai dengan jalan etika dalam jurnalisme, diantaranya perlunya melalukan koreksi terhadap perannya. Mau atau tidak semua harus berjalan dan saling mengingatkan dalam tugas di dalam proses berdemokrasi. Diantaranya Negara dan pers harus sinergi, bukan kemudian dimaknai sangat dengan sarat “ Politis” ada main mata, sehingga media memilih bungkam bila sudah bertekuk lutut dengan cara sekongkol/ berselingkuh degan penguasa.

Begitu indahnya bila Negara yang mau menghargai peran dan fungsi masing-masing untuk memperkokohnya dengan tanpa ada pressure diranah tugas kelembagaan khususnya diranah publik. Disisi lain pilar demokrasi juga dijunjung tinggi sehingga dalam mengkritik dan mengevaluasi dapat berjalan lebih baik. Dalam etika jurnalistik perlu digaris bawahi, bahwa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya media massa wajib menjaga independensinya, bekerja profesional dalam mencari kebenaran atas berita-berita liputannya.

Media massa yang baik terkadang perlu memperhatikan juga dampak suatu berita bagi masyarakat. Media wajib mempertahankan idealisme dan tanggung jawab berperang melawan kedzaliman dan kemungkaran. Pers sendiri mempunyai nilai dan etika yang sering disebut ’’bad news is good news’’ namun’’good news’’ juga punya nilai tinggi sehingga kedua-duanya layak diberitakan, sama-sama memiliki nilai berita. Pers dengan fungsi sosial kontrolnya wajib mengawasi eksekutif, legislatif, dan judikatif, sedangkan pers sendiri perlu dikontrol oleh masyarakat, termasuk lembaga media watch.

Salah atau tidak Dipo Alam mengkritik media massa cetak maupun elektronik, menjadi sebuah kesepahaman bersama, kalau sebagai pejabat publik dalam hal ini ia harus bisa hati-hati, karena bila ini terjadi bahkan proses sistemik dalam wujud pemasungan. Ini merupakanwujud baru model pembredelan ala orde baru. Sikap Dipo tersebut menunjukkan otoriter dan intervensi yang berakibat fatal bila berjalan dan berbahaya. Bisa merugikan semua pihak termasuk masyarakat seperti kita ini.

Tugas mulia dari menjunjung tinggi profesionalisme pers memiliki kewajiban mengawal jalannya pemerintahan dan pembangunan agar tidak terjadi berbagai penyimpangan-penyimpangan. Dengan fungsi sosial kontrolnya tersebut, pers punya kewajiban menampilkan berita-berita yang mengkritik pemerintah, tentunya kritik membangun.

Dari beberapa aspek tersebut Dipo Alam keterwakilannya, sebagai pejabat publik juga harus introspeksi tentang sikap yang cenderung asal saja dan ini menjadi bentuk intervensi yang otoriter. Bila tidak mau dikritik pers maka selayaknya pelaku kebijkan yang diamanahi tugas untuk menjalankan fungsi Negara harusnya berbenah dan jangan sampai bertindak salah. Kita sebagai manusia harusnya bisa mengerti yang bertindak sesuai dengan kapasitas dan tugasnya.

Masih banyak yang perlu disikapi selain hal-hal yang tidak subtansi, rakyat miskin yang terhampar dan masih hal lain serupa harusnya bisa diselesaikan. Bukan sebaliknya melakukan maneuver untuk mengamankan posisi yang harusnya bisa diminimalisir untuk menyegerakan tugas strategis social yang tertunda hingga saat ini, seperti slogan ini “rakyat butuh bukti bukan bualan janji-janji”. Kritik penting dan itulah tugas yang dilakukan sehingga kita harus jeli dalam menyikapi dengan melihat koridor dan aturan main untuk kebaikan semuanya.

*) Tulisan ini merupakan gagasan awal dan analisis hasil kunjungan dan dialog ke Metro TV, sebagai akbibat konflik yang terjadi dari sikap Dipo Alam yang mengintervensi Media dalam melakukan kritik terhadap pemerintah.

Tidak ada komentar: