SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Kamis, 20 September 2012

Idul Fitri; Pesan Ibadah dan Nilai Etos Sosial

Saat tenggelam matahari diufuk barat dan disambut dengan gema takbir berkumandang, menandakan berakhirnya  bulan Ramadhan diseluruh penjuru dunia. Isyarat masuk hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 H bagi ummat Islam. Disambut dengan gempitanya suara riuh petasan dan tabuhan bedug yang turut menghiasinya. Syawal yang dinanti kini telah tiba untuk dirayakan sebagai kemenangan. Begitu pula tradisi yang kental pun juga melekat dari perayaan ini berupa mudik  dan sungkeman. Bahkan tidak sedikit dari yang merayakannya dengan bergembira dan bahagia untuk membingkainya dalam partisipasi nan fitri dengan sebutan lebaran.

Mudik dan Kearifan
Bagi sebagian warga pasti sering melaksanakan tradisi mudik untuk mennyambut Idul Fitri. Mudik merupakan kekuatan tersendiri karena mampu menggerakkan hampir 80 persen masyarakat urban. Semua berbondong-bondong melakukan tradisi mudik menuju kampung halamannya. Mudik merupakan potret budaya khas lokal, bisa dikatakan tradisi yang ajek terjadi. Ini tidak terjadi pada semua negara muslim, keajekan mudik menjadi ciri khas bagi warga Indonesia khususnya di Jawa.
Makna mudik dapat ditafsirkan sebagai upaya kembali ke markas asal sebagai wujud pernyataan kesetiaan dan solidaritas kepada saudara di kampung. Ini menjadi kearifan bahwa mudik selain sebagai tradisi tahunan juga menyiratkan spirit berkumpul yang membuncah dalam momentum lebaran.
Bahkan kalau kita cermati makna meminta maaf dalam ritual mudik tidak hanya yang masih hidup dalam keluarga, dalam tradisi Jawa mungkin kita juga mengenal istilah; kramatan, makaman, pasarean dan jaratan. Berziarah atau lebih dikenal dengan nyekar dilakukan menjelang Ramadhan dan Idul Fitri.
Menurut Andre Moller (2005) yang memotret aktifitas Ramadhan di Jawa mengungkapkan bahwa tujuan mengunjugi  pekuburan pada Idul Fitri berdasarkan keinginan untuk dimaafkan anggota keluarga yang telah tiada. Disinilah kearifan tradisi yang menyiratkan kekuatan, bahwa meminta maaf kepada keluarga dan handai taulan tidak terbatas pada yang masih hidup saja. Bahkan dalam kosmologi jawa hidup dimaknai sebagai suatu kesatuan antara orang yang masih hidup, nenek moyang yang sudah meninggal dan alam kelanggengan. Jangan heran bila pekuburan yang berupa gundukan tanah namun bagi masyarakat jawa dianggap penting dan mempunyai nila sejarah dan juga kadang dikaitkan dengan tradisi nilai leluhur.
Bagi mereka yang tidak punya tempat untuk pulang tetap akan merayakannya dengan ruang lain yang mampu menghadirkan kebersamaan untuk bertemu sanak saudara maupun teman. Bahkan juga ada yang tetap melakukan sungkeman dan juga menziarahi makam orang tua. Ternyata ritual mudik memberi banyak memberi pesan kearifan. Tradisi sungkeman dihari yang fitri menjadi wujud peleburan dosa dalam meminta maaf. Sarat dengan emosional bahkan tidak jarang kita jumpai orang tersedu menangis. Inilah realitas yang ada bahwa pelibatan perasaan disaat tradisi sungkeman dan membaurnya sanak famili menjadi penting.

Apresiasi Etos Sosial
Dalam perayaan Idul Fitri ada makna lain yang menarik, selain hari kemenangan juga kemerdekaan. Idul Fitri terlanjur lebih dikenal dengan sebutan Lebaran diartikan sebagai hari yang istimewa bagi kalangan muslim. Di dalam cara merayakannya kultur masyarakat kita cenderung tercerabut dari makna, bahkan banyak yang baru menyentuh kulitnya saja. Lebaran selalu diidentikan dengan baju baru, makanan yang cenderung mengarah pada foya-foya dan kemewahan. Inilah yang jarang kita sadari bahwa makin jauh masyarakat memaknai Idul Fitri.
Memang sematan “Lebaran” mempengaruhi pola tindakan dan sikap. Orang cenderung memanfaatkan lebaran memamerkan kelebihannya secara fisik. Lalu apakah ini keliru?  Padahal ini telah menjadi tradisi dimasyarakat kita, ini tidak demikian kemudian penulis menghakimi bahwa lebaran dan serba kemewahan keliru. Itu tidak keliru, yang keliru adalah melakukan itu dengan berlebih-lebihan dan menganggap serba baru sebagai sesuatu yang wajib.
Inilah tantangan kita, semua telah mentradisi dan menjadi fenomana dimasyarakat kita. Bahkan membudaya dan mungkin juga susah untuk dihilangkan. Mari kita koreksi bersama bahwa Idul Fitri yang diartikan lebaran bukan dimaknai hanya sebatas fisik dan materi. Kita harus bisa menangkap pesan dari Idul Fitri dan pesan dari pelaksanaan ibadah Ramadhan.
Rasulullah bersabda, Man shama Ramadhana imanan wahtisaban, ghufira lahu ma taqaddama min dzambik (barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan dasar Iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lampau).
Ini jelas menekankan bahwa puasa menjadi madrasah ruhani yang menempa diri seorang hamba. Bukan sekedar dimaknai sebagai ritus agama saja tapi juga nilai sosial kita  sebagai kawah condrodimuko ajang menempa diri untuk mengilhami dan menjalani 11 bulan setelahnya. Ramadhan sendiri merupakan bulan produktif, dimana kita diajarkan banyak untuk beramal baik secara pribadi dan sosial. Didalamnya tersirat pesan pencerahan batin dan pengendalian pribadi seorang hamba, sekaligus momentum untuk mengasah kepekaan sosial.
Kadang kalau kita sedikit merenungi tentang ritual simbolik ini kita dapat mengartikan pesan sesungguhnya dari perayaan Idul Fitri. Misal; Kenapa kita diminta menunaikan zakat fitrah? Tujuannya adalah kesalihan sosial dimana kita bisa berbagi dengan mereka yang berkesusahan, bahkan kita juga diminta secara mondial untuk bisa bersama mengerti dan peduli dengan saudara-saudara sekitar kita yang di tempat-tempat lain masih banyak menangis menahan lapar (baca; kurang beruntung).
Perilaku lain dalam perayaan Idul Fitri yang kadang terlanjur jadi kebiasaan misal; takbir keliling. Apakah itu merupakan upaya perayaan yang mampu menjadikan kita sebagai hamba bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah ? Tetapi jika ritual tersebut yang hampir tiap tahun dilaksanakan  hanya sebatas hura-hura, pawai di jalan, menghambur-hamburkan harta, dan tentunya kadang mengganggu warga lain yang juga merayakannya. Inilah yang kiranya kalau kita cermati tidak sejalan dengan semangat Malam Lebaran.
Kembang api dan petasan tidak jauh beda, mungkin bagi mereka yang menyulutnya ingin menunjukkan kebahagiaan dan kemenangan karena telah berpuasa sebulan penuh, tapi mungkin cara yang digunakan kurang tepat. Coba bila uang yang digunakan untuk mercon dan kembang api itu dikumpulkan kemudian diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Pastinya akan jauh lebih berarti dan bermanfaat tepat sasaran.
 Masih banyak pesan yang perlu kita gali dari ibadah Ramadhan dan perayaan Idul Fitri  yang telah kita laksanakan setiap tahun. Yang pasti bukan sekedar aksetis spiritual transenden, ataupun dirayakan dalam aspek fisik materi oriented. Bahkan tidak dapat dimungkiri  realitasnya tidak sedikit umat Islam yang memandang bahwa hari raya Idul Fitri dominan ditampilkan dengan serba wah bahkan untuk menunjukkan identitas sosial tidak jarang antar tetangga saling berlomba-lomba untuk menunjukkan sesuatu yang membuat orang lain mengakui akan materi yang dimiliki. Tentunya bukan itu, mari kita sikapi dengan kritis  bahwa orientasi Idul Fitri bukanlah serba baru.
Seperti dalam hadis, Rasulullah menggambarkan bahwa mereka yang berhak untuk mendapatkan kemuliaan dan kebahagiaan hari yang Fitri bukan mereka yang punya pakaian baru sampai dua, empat, lima pasang, ataupun bahkan lebih. Bagi mereka yang punya mobil mewah, rumah baru, hidangan yang serba lezat dan nikmat, tapi hari raya Idul Fitri diperuntukkan bagi mereka yang mencapai riyadhah sehingga tingkat kepatuhan dan ketakwaannya kepada Allah semakin meningkat.

Refleksi Riyadhah
Ramadhan dan Idul Fitri menjadi cerminan kita untuk memperbaiki sikap dan tindakan kedepan. Apalagi bila kita cermati lebih jauh hadis diatas merupakan satu bentuk dari penghargaan dan apresiasi Allah bagi mereka yang kurang mampu dalam bidang ekonomi. Sebab kuantitas dari masyarakat yang serba berkecukupan itu lebih minoritas dibanding mereka yang serba hidup sedang, pas-pasan atau bahkan di bawah garis kemiskinan.
Jauh dari itu pesan ajaran Islam mengajak para pemeluknya bisa memberi arti dalam hal kebaikan dan juga mengajarkan pada kita sebagai hamba, bahwa Allah tidak melihat dari kekayaan atau kelebihan materi tapi Allah menegaskan bahwa merekalah yang berderajad taqwa. Allah menempatkan posisi ketaatan dan ketaqwaan menjadi  nomor wahid dari segala-galanya untuk hambanya.
Begitu kuat pesan moral dan sosial yang terkandung dalam ibadah keagamaan di bulan suci dan kemenangan ini. Bagaimanapun gerusan gurita kapitalisme ditengah kehidupan yang serba materialistik dan cenderung hedonis, kita harus bisa menelaah dan menyikapi dengan arif. Jalinan silaturahmi dan kekerabatan antar sanak famili untuk menjaga persaudaraan menjadi penting.
Dalam istilah Jawa ngumpulke balung pisah, menjadi ikatan historis dan hubungan sosial yang sarat dengan pesan leluhur. Inilah yang perlu kita maknai sebagai silaturahim mondial di bulan Syawal nan Fitri, sehingga walau jauh tetap ada upaya untuk kembali menguatkan ikatan silaturahim kekerabatan.  Begitu pula tingkatan  riyadhah ibadah kita sebagai hamba untuk memperbaiki diri juga bersinergi dengan perbaikan tindakan untuk berbagi dan berarti untuk sesama manusia.
Karena hidup ini merupakan wujud aktualisasi hamba yang diamanahi dengan segala fitrahnya yang terus menerus secara berkesinambungan untuk bisa melakukan perjalanan menuju fitri. Silaturahim bukan sekedar bertemu tapi juga ada upaya saling menasehati, mendoakan untuk kebaikan dunia dan akhirat. Kitapun termotivasi untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.
Menjadikan hati dan jiwa menjadi bening dan bersih tentu tidaklah mudah. Perlu adanya pengalaman, pengamalan dan latihan untuk memahaminya. Termasuk saat ini, kita selesai menjalani puasa sebagai penyuci jiwa dan merayakan Idul Fitri sebagai wujud kemenangannya. Kitapun belajar untuk bisa memperbaiki moralitas dan melahirkan akhlak-akhlak (budi pekerti) yang baik. Untuk terus amalkan kebiasaan yang baik yang telah kita lakukan dibulan Ramadhan dan kita tingkatkan untuk mengisi hari-hari berikutnya. Sudahkah kita mulai untuk melaksanakannya? Mari kita perbanyak jalinan silaturahim untuk menguatkan jiwa menuju titik fitri dan memendarkan cahaya Illahi dalam wujud kebaikan kepada semua orang. Selamat Idul Fitri 1433 H, Mohon Maaf Lahir dan Batin.

Tulisan ini dimuat juga di BULLETIN BERSUARA LAPMI Semarang.



Tidak ada komentar: