Proses
demokrasi dalam klimaksnya dirayakan dengan pemilihan melalui pemungutan suara
yang juga sering disebut PEMILU. Hari ini kita dihadapkan pada realitas fakta persoalan
subtansial dari demokrasi sendiri, yaitu berupa pendidikan politik dan kemauan
untuk meng-engaged dalam arena publik. Pemilu sendiri tampak menyisakan berjuta
harapan bagi kontruksi demokrasi sendiri dimasa yang akan datang.
Apakah
kita akan mengikuti bisikan hati atau bisikan lain (transaksi politik) yang
menjadikan banyak warga bersikap apatis terhadap prosesnya, karena demokrasi
sendiri terlihat cenderung kuantutatif procedural. Bisa dikatakan persoalan
kebangsaan, seperti kemiskinan, kemelaratan, keterbelakangan, kebodohan dan
kepandiran kita sebagai bangsa bisa diselesaikan dengan angka-angka.
Demokrasi
dan Sikap Golput
Demokrasi
dalam praktiknya memunculkan spekulasi, banyak faktor yang mempengaruhi sikap
dalam menentukan pilihan, bahkan realitas hari ini masih banyak yang belum
mengerti diakibatkan minimnya pendidikan politik yang mencerdaskan masyarakat
awam. Masyarakat awam memahami politik cenderung “perdebatan yang tiada
berujung” seperti yang disajikan dalam arena media, jelas ini menjadi tantangan bagi lembaga politik untuk
menyusuri dan melakukan pendidikan politik sampai akar rumput.
Yang
menarik untuk diketengahkan bahwa, tingkat
angka golongan putih (golput) dalam 10 tahun terakhir semakin naik. Jelas menjadi
kekhawatiran tersendiri bagi penyelenggara Negara dan lembaga politik itu
sendiri. Jelas ini mengindikasikan partisipasi public dalam pemilu kurang bisa
mempercayai pesta demokrasi diakibatkan belum mengakarnya calon pemimpin yang
ada.
Golput
sendiri diakibatkan dalam kategori motif internal dan ekseternal (Lingkaran
Survei Indonesia, 2007). Motif internal terjelaskan oleh pengertian-pengertian
mengenai perilaku memilih (voter behaviour). Besar-kecilnya partisipasi pemilih
(voting turnout) dilacak pada sebab-sebab dari individu pemilih. Dari sudut
pandang ini, keputusan seseorang untuk golput dipengaruhi oleh tiga faktor
utama. Pertama, faktor sosiologis yang mengidentifikasi pada variabel seperti
agama, pendidikan, pekerjaan dan ras.
Kedua,
faktor psikologis yang menginisiasi seseorang dengan partai atau kandidat
tertentu. Makin dekat seseorang dengan partai atau kandidat, makin besar
kemungkinan untuk tidak golput. Ketiga, faktor ekonomi-politik yang melandaskan
pilihan seseorang pada pertimbangan rasional (rational choice) untung-rugi.
Selama dianggap dapat memberikan keuntungan bagi pemilih, peluang untuk tidak
golput lebih besar.
Adapun
motif eksternal pemilih menjadikan struktur penyelenggaraaan pemilu sebagai
fokus perhatian utama. Pertama sistem pendaftaran (registrasi) pemilih.
Kacaunya pendaftaran pemilih tentu berefek negatif pada minat seseorang untuk
memilih. Kedua, sistem kepartaian dan pemilihan umum suatu negara. Data
penelitian menunjukkan sistem dua partai relatif bisa mengurangi tingkat
partisipasi pemilih. Sebaliknya, sistem Pemilu proporsional membuat partisipasi
pemilih lebih tinggi (Russel J. Dalton dan Martin P. Watternberg, 1993).
Ketiga, sifat pemilihan. Negara yang menganut asaz wajib pilih (compulsary
election) memiliki potensi golput yang lebih rendah dibandingkan negara yang
berasaz hak pilih (voluntary election).
Peran
Parpol dan Lembaga Penyelenggara
Berkurangnya
jumlah partai yang berkompetisi dalam pemilu mendatang diharapkan mampu
meningkatkan kepercayaan publik pada partai politik. Disisi lain, tidak ada
yang mampu menjamin itu bisa terjadi, dikarenakan selera masyarakat kepada
partai dan calonnya semakin tinggi dari waktu ke waktu. Untuk itu diperlukan antisipasi aktif supaya
angka golput bisa ditekan, termasuk dalam hal ini adalah tanggung jawab partai
sebgai lembaga politik, KPU Komisi Pemilihan Umum), Caleg dan masyarakat yang
peduli dengan demokrasi.
Sebenarnya
realitas pilihan untuk golput sudah ada sejak pemilu diselenggarakan di republic
ini pada tahun 1955. Dalam diskursus golput ini menarik untuk dikaji bahkan
menjadi fenomena yang sangat seksi. Boleh dikatakan dari pesta demokrasi
sekaliber PILPRES hingga PILKADA (PILBUB)
Golput tidak pernah absen. Mungkin kita akan bertanya, kenapa bisa terjadi?. Bahkan
bisa dikatakan dalam sistem pemilihan langsung diakui atau tidak, dalam prakteknya belum bisa
menghasilkan outcome
pemimpin yang terbaik.
Tapi
perlu disambut positif karena sudah ada partisipasi warga walaupun masih banyak
yang tidak peduli terhadap “pesta demokrasi” hari ini. Sehingga kita yang
mengerti proses pelaksanaan demokrasi bisa berperan aktif untuk terlibata dalam
pendidikan politik. Mungkin bisa melakukan pendidikan politik secara kultural
dari kelompok lingkup kecil yaitu keluarga atau dalam konteks luas dengan
pendidikan politik melalui lembaga formal yang bisa dilakukan oleh banyak
lembaga-lembaga yang lebih professional.
Partisipasi
Publik
Golput
atau tidak memilih merupakan sebuah pilihan, kita
tidak bisa menghakimi benar apa salah pilahan tersebut, yang pasti hari ini
golput menjadi kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam sejarah demokrasi dari
sejak berlangsungnya pemilu tahun 1955. Turunnya tingkat partisipasi publik
dalam pemilihan umum adalah ujian bagi partai-partai politik dan calon-calon
yang diusungnya. Padahal, dalam sistem demokrasi, tingkat partisipasi publik
sangat penting untuk melegitimasi peran pemerintah.
Silahkan bagaimana baiknya anda
sebagai warga Negara yang memahami proses demokrasi, untuk bisa berperan aktif
dan turut berpartisipasi mensukseskannya. Relevansi golput hari ini adalah untuk dikonversi menjadi
kekuatan suara sah penguat demokrasi, bagaimana mengawal pesta demokrasi agar
bisa menghasilkan pemimpin yang mendedikasikan kepemimpinannya untuk melayani
rakyat. Bukan sekedar menyalahkan dan menghakimi “GOLPUT” yang endingnya malah
menimpulkan perpecahan. Mari bersama kita mengawal demokrasi untuk menjadikan rakyat mengerti
bagaimana pilihan atas pilahan sikap politiknya. Your life is your choice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar