SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Kamis, 25 Oktober 2007

Dari Ramadhan ke Hakikat Fitri

Ramadhan telah usai kita laksanakan sebulan penuh dengan sarat akan sisipan nilai keteladanan, namun tidak semua dapat mengetahuinya. Hanya tertentu saja yang mampu mengarungi amanah risalah ruhaniah tersebut.
Layakya seorang muslim secara dhohir mereka melebur diri dengan hingar-bingar layaknya perayaan dan bertaburan melimpah ruah yang dilakukan pada bulan suci, biasanya masjid, mushala tau surau sepi, ramadhanpun luar biasa berubah drastis seolah berlomba-lomba melakukan ibadah amalan dibulan ini.
Kini kita telah kedatangan tamu agung yaitu idul fitri yang merupakan puncak setelah melalakukan ibadah puasa untuk menyambut kemenangan hakiki bukan hanya isyarat ritual ansich melainkan apa yang terkandung dalam hari kemenangan itu sendiri. Tentu semua tahu bahwa hari raya idul fitri merupakan momen yang luar biasa, syarat dengan pesan, namun kadang dibalik itu penuh dengan sisipan nilai diantaranyaa simbolisme ibadah ritual yang hanya dimaknai sebagai esensi yang fitri pada fitrah diri tanpa melihat komunal masyarakat yang dimiskinkan oleh sistem. Malah sebaliknya orang memaknai lebaran untuk berlebaran dengan banyaknya orang dihari-hari terakhir ramadhan menuju pasar menjadi berjejal banyak orang berlomba-lomba untuk menyambutnya dengan sesuatu yang baru, baik itu baju atau makan-makanan yang enak dan seolah lepas dari pesan ramadhan yang penuh sarat dan isyarat.
Selayaknya kita mampu mengambil pesan singkat dari ramadhan menuju idul fitri, yang semula asal jalan kini setidaknya lebih mengerti kenapa melakukan semua itu. Kadang semua hanya jadi tren performance dari idul fitri tetapi tidak menyentuh daya kesalihan diri.
Apakah kita telah lupa pada lingkungan sosial masyarakat ini yang notabenenya sebagai bangsa yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi kita seolah lupa nasib apa yang telah menimpa saudara-saudara kita dijalanan, kolong jembatan, fakir miskin, anak yatim dan banyak yang sebenarnya butuh uluran tangan kita.
Inilah bentuk realitas moralitas masyarakat kita yang cenderung dilematis sehingga banyak yang saleh secara individu tetapi tidak dibarengi dengna kesalehan sosial. Sehingga selama ramadhan kita seraya cenderung mendidik diri menjadi esensi egoisme spiritual tanpa melihat holistical spiritual.
Makanya dari itu perlulah kita mengerti dan memahami pola kehidupan perilaku masyarakat bangsa ini yang unik dibanding dengan bangsa-bangsa lain. Indonesia yang katanya demokratis, pluralis sosialis dan transenden tetapi itu dipahami secara sempit sepihak.
Marilah kita jadikan idul fitri ini menjadi ajang penyucian diri kembali pada fitrah kita yang suci bukan dari performance saja tetapi ditekankan pada upaya penyadaran kita sebagai khalifah dan abduh yang senantiasa mampu menjadi perayaan bersama.
Implementasi idul fitri dalam masyarakat harus imbang bahkan mampu meningkatkan iman, takwa sekaligus setelah pemaafan itu dimulai dan menjadi hiasi nilai yang kita lakukan sehari-hari. Idul fitri bukan sekedar ritual agama, budaya tetapi lebih dari itu yang mana mampu menjadi proses keterkaitan kita dengan tali silaturahmi bersama menuju keseimbangan diri kita.
Yang tadinya minim praktek dalam keseharian ibadahnya dalam keseharian maka setelah ini mampu meningkat bertahap atau bahkan drastis dengan semangat dan penghayatan kita yang lebih. Hari raya idul fitri kita setidaknya mampu menjadi momen baru pula untuk memulai bersosialisasi dan merekonstruksi tata nilai yang masih belum teratur, sarat dengan pemberdayaan dan pembangunan umat yang insyaallah diridhai olehNya. (01 Syawal 1428H)

Tidak ada komentar: