SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Kamis, 15 Juli 2010

Mengurai Jati Diri Melalui Kemandirian Bangsa

Dalam setiap aktifias adalah implementasi dari kreatifitas yang bermuara pada kekuatan gerakan, termasuk menelaah segala gejala sosial. Kita akan terperanjat untuk terlibat dalam perilaku guna mewujudkan perubahan lingkungan yang lebih baik. Mungkin sudah menjadi fitrah manusia bahwa ketika setiap insan diberi indra untuk merasakan dan merespon apa yang ada di sekitarnya.
Demikian juga orang-orang yang mempunyai daya linuwih (intelektual) mereka pasti selau ingin terlibat aktif, kalau dalam istilahnya antonio gramsci “setiap orang itu intelektual tapi tidak semua orang menjalankan fungi-fungsi peran intelektual”. Perspektif inilah yang menjadikan menarik bahwa terkait definisi dan peran akan memunculkan argumentasi berbeda dari setiap kepala dan bermuara pada dialektika. Apalagi membincang masa depan kemanusiaan sehingga terbentuknya kebudayaan dan peradaban, pasti tidak lepas dari keterlibatan tradisi kultural untuk menjalankan tugas kolektif kejamaahan.
Dewasa ini peradaban dan kebudayaan telah banyak mengalami perubahan yang signifikan. Transfigurasi konsep penguasaan arah peradaban telah menyebabkan ketidakseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Kearifan budaya lokal, paradigma positif, kemurnian ideologi menjadi sasaran empuk quo vadis hegemoni barat yang pada akhirnya menyebabkan disharmoni. Dalam konteks ke-indonesiaan kita dapat melihat ciri khas dari masyarakat yang hidup di nusantara yang sangat akrab dengan kearifan lokal, keramahtamahan, kesederhanaan, inklusifitas dalam kehidupan masyarakat. Kemurnian identitas tersebut sedikit demi sedikit mulai terkontaminasi dengan pengaruh Barat. Barat membuat sentimen-sentimen negatif bahwa kesederhanaan hanya akan membuat manusia tidak berdaya, kearifan budaya hanya akan menyebabkan eksklusifitas dalam menjalankan peran di masyarakat, internalisasi pandangan negatif tentang ideologi yang sarat dengan muatan materialisme membuat manusia hanya berorientasi kearah hedonisme dan pragmatisme. Melalui kemasan yang sedemikian rupa indahnya hingga mampu menghipnotis pelaku menjadi tak berdaya dan menjadi membenarkan segala perilaku yang sebenarnya tidak pantas untuk dilakukan. Upaya ini semakin memperjelas bahwa ada tujuan hegemoni Barat yakni menjadikan Kebudayaan dan peradaban Barat sebagai kiblat dunia dalam segala bidang.
Peradaban Barat yang dikenal dengan sistem Kapitalisme nya telah bertransfigurasi menjadi Neoliberalisme yang secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti IMF, WTO dan Bank Dunia, kini bermetamorfosa menjadi gaya ekonomi baru (read: neokolonialism) yang dewasa ini dalam berbagai bentuk, misalkan: persenjataan yang menghancurkan tenaga listrik dan rumah sakit, bencana alam yang menghancurkan infrastrukur, badai yang menyapu bersih desa dan kota, konflik ideologis, tsunami, gempa, dsb. Naomi Klein menyatakan bahwa dewasa ini ketidakstabilan global tidak hanya menguntungkan perdagangan senjata saja, juga membawa keuntugan yang luar biasa bagi sektor keamanan yang menggunakan high teknologi, perusahaan konstruksi besar seperti perusahaan rumah sakit swasta, perusahaan minyak dan gas, dan kontraktor industri. Bayangkan rekonstruksi Iraq yang menghabiskan 30$ Milyar, tsunami 13$ Milyar, new orlands 110 $ Milyar, pendapatan yang didapatkan dalam rekonstruksi itu cukup untuk memicu booming ekonomi, perusahaan minyak dan gas sangat dekat dengan “ekonomi bencana”, baik sebagai penyebab utama maupun sebagai penerima manfaat utama dari bencana tersebut. Ketika tidak ada bencana, lantas apa yang dilakukan, tentu saja memunculkan bencana sebagai alat konspirasi yang dasyat Perusahaan dalam pandangan Naomi Klein disebut sebagai “Honorary adjunct of the disaster capitalism”. Dari realias ini hendaknya bangsa Indonesia mampu menganalisa setiap perjanjian bilateral dan bilateral yang berselimut kapitalisme neolibaralisme. Tentu Indonesia membutuhkan kekuatan internal, yakni tegaknya reformasi birokrasi yang kuat sehingga tidak akan dengan mudah terhegemoni oleh sistem kapitalisme neolibaralisme.
Reformasi birokrasi untuk mengembalikan jatidiri bangsa
Negara yang kuat dan berjatidiri adalah sebuah keniscayaan apabila didalamnya terdapat sistem yang tegas mengatur keadilan, personal (birokrat) yang mampu mengendalikan sistem yang dipakai demi sebuah tujuan, kesejahteran bangsa serta komitmen kemandirian yang akan membuat negara lain segan dan tidak akan mudah digoyang oleh sistem kapitalisme yang menyengsarakan rakyat.
Perjalanan kepada penyadaran bangsa dapat kita lihat dari konsistensi dan komimen visi bangsa untuk menjalankan pemerintahan. Max Webber membaginya menjadi 2, yakni birokrasi (sistem) dan birokrat (pelaku/ yang menjalankan sistem). Fungsi sinergis yang ketika diterapkan di kedua entitas itu tentunya akan menghasilkan keputusan yang menyejahterakan rakyat. Tidak mungkin sistem itu buruk dalam sebuah pemerintahan melainkan ketika para pelaku yang menjalankan sistem enggan melakukan perubahan sistem tersebut. Tidak membuat sistem yang benar sesuai dengan kehendak rakyat serta melaksanakan secara benar apa yang telah dituliskan dalam sistem tersebut. Jadi ketika birokrat sendiri enggan melakukan perbaikan pada sistem tersebut, tentunya akan menimbulkan masalah diantaranya: kelembagaan birokrasi yang besar alias gemuk dan didukung oleh sumber daya aparatur yang kurang profesional, mekanisme sentralistik, kontrol terhadap pemerintah yang dilakukan dari, oleh dan untuk pemerintah, KKN, kurang bertanggungjawab karena lemahnya jerat hukum, jabatan yang tidak diisi sesuai dengan kemampuannya.
Masalah utama dari ketidakberesan birokrasi adalah kontrol rakyat pada pemerintah yang lemah, feodalistik pada birokrasi pemerintahan, dan birokrasi yang tidak demokratis. Hal ini dapat kita perkecil menjadi 3 unsur penting birokrsi yaitu: lembaga (institusi), sistem dan birokrat. Melihat permasalahan yang terjadi di pemerintahan, lantas sering muncul “reformasi birokrasi” yang menawarkan sebuah solusi. Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk memperbaiki struktur sistem, dan kelembagaan birokrasi sendiri dan yang terpenting adalah perbaikan mental para birokrat penyusun sistem. Seiring dengan waktu yang terus bergulir, proses reformasi yang sudah masuk pada tahun ke 11, namun selama itu pula ternyata amanah reformasi masih banyak yang belum dilaksanakan. Kita mengetahui pemberantasan KKN belum optimal, keadilan belum sepenuhnya memihak kepada kebenaran, rakyat miskin yang menantikan uluran tangan pemerintah merupakan sebagian kecil dari tugas pemerintah yang belum terselesaikan. Sejak proses reformasi di berbagai bidang dilaksanakan pada tahun 1998, saat itu juga dimulai pula reformasi dalam tubuh birokrasi. Maswadi Rauf mengatakan bahwa reformasi birokrasi dilakukan melalui perbaikan kinerja birokrasi, peningkatan profesionalism, pemberantasan KKN dan pelayanan publik yang lebih baik.
Pembenahan internal (sistem pemerintahan) yang diupayakan demi dan untuk kesejahteran rakyat merupakan upaya yang tak kunjung usai, proses konsistensi dalam mempertahankan sistem yang baik dan menciptakan birokrat jujur ditambah dengan jerat hukum yang adil adalah sebuah kerharusan. Dengan langkah ini tentu pemerintah akan sangat teliti dalam menciptakan produk hukum berupa kebijakan, apalagi kalau sudah berkaitan dengan sistem yang ditawarkan kaum kapital (read:barat) yang pada akhirnya adalah menyengsarakan rakyat. Ketegasan dan kepercayaan diri sebagai bangsa yang mampu berdiri dengan kaki sendiri melaui research dan development dalam sisi SDA dan SDM akan membuat bangsa lain merasa segan dengan komitmen kuat yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Kemandirian bangsa sebagai visi besar Indonesia
Keseimbangan dalam sisi SDA dan SDM menjadi pemicu dari konsepsi umum kemandirian bangsa yang diupayakan. Kemandirian bangsa di bidang politik, ekonomi dan budaya sangat perlu dibangun kembali. Lebih-lebih dalam hempasan arus globalisasi sebagai tantangan bagi terwujudnya kemandirian bangsa, yang saat ini dihadapkan pada bahaya sistem kapitalism dari paham global neoliberal/ neokolonial yang semakin memperlemah bangsa. Ditambah lagi dengan aspek ketidakadilan yang melanda bangsa Indonesia, padahal cita-cita bangsa yang didirikanya adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.
Berbicara mengenai kebangsaan dapat kita ketahui melalui sejarah yang telah tertoreh dari upaya para pelaku sejarah dalam mempertahankan bangsa Indonesia. Ben Anderson merumuskan bangsa secara unik, menurut pengamatannya bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan (imagined political community) dalam wilayah yang yang jelas batasannya dan berdaulat. Otto Bauer mengemukakan bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul yang karena persatuan nasib. Perumusan kedua ahli tersebut biasanya dilukiskan sebagai perumusan yang klasik. Bung Karno mempunyai pemahaman yang relatif baru daripada keduanya. Berkat analisis Geopolitiknya, ia menekankan persatuan antara orang dengan tanah air sebagai syarat bangsa. Bangsa menurut Moh. Hatta ditentukan oleh keinsyafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, yaitu terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsyafan yang bertambah besar oleh karena sama seperuntungan, malang sama diderita, mujur sama didapat. Oleh kerena jasa bersama, kesengsaraan bersama, singkatnya oleh karena peringatan kepada riwayat bersama yang tertanam dalam hati dan otak (Sutrisno, 1983:38).
Dalam konteks kebangsaan, kemandirian menjadi visi besar yang ditandai dengan proses menuju perbaikan disegala aspek dan penguatan elemen pendukung terciptanya visi besar bangsa tersebut. Indikator kemandirian bangsa itu tidak berbeda, seperti kemampuan menyelesaikan masalah kebangsaan dengan caranya sendiri tanpa bantuan dari negara lain, kmampuan mengimplementasikan keadilan sebagai amanah rakyat yang berlaku dalam jangka pendek dan jangka panjang, mampu menjaga martabat bangsa dimata rakyat dan internasional, serta mewujudkan kesejahteran bangsa. Upaya mencapai kemandirian tersebut tentunya tidak semudah membalikan telapak tangan, karena dalam wilayah kebangsaan tidak hanya melibatkan orang perorangan, tetapi melibatkan negara - negara yang mungkin memiliki orientasi yang berbeda. Tantangan dalam prwujudan kmandirian iu diantaranya adalah pergaulan dengan bangsa lain, hegemoni globalisasi yang membawa sistem kapitalisme neo-liberalism, Bantuan financial menggiurkan negara lain (SAP read: structural adjustment program), dll. Disinilah konsistensi bangsa yang diwakili oleh pemerintah harus tegas membuat keputusan yang lebih melihat kepada manfaat yang dihasilkan yang dapat dinikmati rakyat banyak, bukan perseorangan, ataupun persekongkolan pembagian kekuasaan pemrinah dengan pemodal asing.
Karakter bangsa menjadi faktor utama untuk meningkatkan daya saing bangsa selain dalam sisi pendidikan dan teknologi. Bila bangsa Indonesia memiliki karakter bangsa yang kuat, maka bangsa Indonesia akan dapat mengalami kemjun seperi negara Cina dan India. Meskipun kedua negara tersebut belum dapat di setarakan dengan Amerika dan Eropa, akan tetapi jika dihitung dari keadaan pada tahun 70an, apa yang dicapai saat ini merupakan prestasi yang luar biasa. Cina misalnya, bangkit dari keterpurukan dan berhasil menjadi raksasa ekonomi baru Asia. Sedangkan India menjadi negara yang satu-satunya di Asia yang mampu mencukupi nyaris seluruh kebutuhan warga negaranya dengan produk dalam negeri. Harus diakui bahwa kedua negara itu bisa mandiri karena memiliki jatidiri atau karekter kebangsaan yang sangat kuat.
Cina sangat menonjol dalam hal disiplin, semangat kerja, diambah dengan penerapan law enforcement yang digunakan unuk membasmi penyelewengan dan penyimpangan di lingkup pemerintahan, diantara yang dapat membuat negara ini mampu mencapai efisiensi besar-besaran. Hal ini terbukti dengan telah masuknya produk-produk Cina hampir ke semua negara yng membuatnya menjadi negara Industri seperti sekarang. Sedangkan India dengan semangat swadesi nya (kurang lebih: membuat sendiri) mampu membangkitkan semangat masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dengan prinsip “memenuhi kebutuhan sendiri”. Produknya yang sudah berkembang diantaranya adalah perangkat mandi, hingga mesin dan industri dan ketergantungan akan produk impor sangatlah rendah, bahkan ada yang mengatakan hutang luar negeri India hampir tidak ada.
Berkaca dari kedua negara tersebut, peluang Indonesia untuk mencapai kemajuan sebenarnya sangatlah besar. Sumber Daya Alam yang dimiliki Indonesia sangatlah jauh lebih banyak dibandingkan kedua negara tersebut, masalah utama yang dihadapi adalah karakter dan visi besar bangsa untuk menghadapi tantangan kapitalisme global. Karakter dan kemandirian bangsa terutama terletak pada generasi pemuda, seperti sosok founding father bangsa. Selain dari tokoh yang mewarnai perjuangan bangsa, organisasi yang dibentuk sebagai wadah perjuangan pun tidak kalah turut serta mengisi dan mempertahankan kesucian gerakan perjuangan

Tidak ada komentar: