SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Minggu, 07 November 2010

Ekonomi Kerakyatan dan Islam Bersanding Menuju Kemandirian Ummat

Banyak orang yang terpukau melihat kemajuan yang dicapai oleh china pada saat ini. Banyak orang yang tidak mengira bahwa china sudah semaju seperti sekarang. Padahal dinegara itu komunisme dominan dipertahankan sebagai simbolnya. Oleh karenanya orang sulit menerimanya, secara ekonomi pasar tidak ubahnya seperti negera-negara penganut faham kapitalisme.
Indonesia sebagai Negara yang penduduknya mayoritas beragama islam, tapi secara ekonomi kalah jauh dengan amerika dan china. Ini menjadi perhatian tersendiri, kenapa bisa seperti itu? Pertanyaan besar bergulir dalam kepala penulis. Entah karena orang-orangnya atau karena akibat kurang tegas pemimpinnya atau bahkan karenan memang indonesia belum punya konsep ekonomi yang sepadan untuk bersaing dengan Negara-negara yang sudah lebih dulu pesat dalam era globalisasi sekarang.
Menjamurnya perbincangan mengenai globalisasi dan pasar bebas beserta antisipasinya untuk berbagai bidang kian marak saja dilakukan. Boleh dikatakan tiada hari dan tempat yang tidak memperbincangkan masalah tersebut, sehingga masalah globalisasi dan pasar bebas sudah seperti layaknya menu makanan saja yang siap saji dan santap. Menurutnya perbincangan masalah globalisasi yang bercirikan pasar bebas lebih berapi-api kita diskusikan daripada orang-orang utara. Kita praktekkan liberalisme dan kapitalisme di sini lebih hebat daripada di negara-negara utara, bahkan menjadi juru bicara sistem ekonomi pasar bebas untuk kepentingan mereka.
Terlepas dari pasar bebas dan persaingan bebas akan terwujud atau tidak, tetapi ada baiknya kita waspada dalam menentukan langkah-langkah untuk berbenah diri dalam menyongsong masa depan yang penuh ketidakpastian. Ibarat "sedia payung sebelum hujan", Globalisasi menggambarkan proses percepatan interaksi yang luas dalam bidang politik, teknologi, ekonomi, sosial dan budaya. Globalisasi merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan multi lapis dan multi dimensi proses dan fenomena hidup yang sebagian besar didorong oleh Barat dan khususnya kapitalisme beserta nilai-nilai hidupnya dan pelaksanaannya.
Bicara globalisasi dan pasar bebas memang tidak ada habisnya, tapi dari pengetahuan kita tentang genealogi model baru yang berbentuk neoliberalisme harusnya ada ide lain yang digulirkan untuk menjadi penyeimbang. Sehingga ekonomi bukan hanya dikaji dalam artian perspektif barat tapi juga harusnya kita mengkonsumsinya dikaitkan antara ekonomi konvensional dan ekonomi menurut islam.
Ekonomi Islam
Banyak pendapat dari para intelektual muslim dalam menginterpretasikan ekonomi Islam. Diantaranyan menurut M. Abdul Mannan yang memberikan pengertian ekonomi Islam sebagai ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Muhammad Abduh al Arabi memaknai ekonomi Islam merupakan sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah dan merupakan bangunan perekonomian yang didirikan atas landasan dasar-dasar tersebut dengan lingkungan dan masanya. Syed Nawab Husein Naqvi menegaskan ide sentral paradigma ilmu ekonomi Islam ialah memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik (agama) dalam frame work analisis yang terpadu, dan berupaya validitas ide filosofis-normatifnya dapat diaplikasikan dan dipadukan dengan klaim validitas objektif (empiris).
Dari definisi di atas, eksistensi ilmu ekonomi Islam tampak menunjukkan wacana etis yang mengusung nilai-nilai kerakyatan serta wacana religius karena bangunan keilmuannya tidak lepas dari normativitas, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Pada wilayah definisi dan filosofis, sistem ekonomi Islam juga disebut sebagai ilmu etis dan religius bukan sesuatu yang apologis, tetapi betul-betul nyata.
Persoalan yang akan muncul justru jika dalam mendefinisikan ekonomi Islam merujuk pada Naqvi, yaitu terjadi konstruksi validitas ide filosofis-normatif ekonomi Islam yang dipadukan dengan klaim validitas objektif (empiris). Oleh karena tatanan sosial yang sudah lazim menjadi perilaku ekonomi sudah bercambur baur dengan segala macam kepentingan dan latar belakang. Ekonomi Islam meng-identifikasi perekonomian yang sedang berjalan jika dikaitkan dengan persoalan etika dan religiusitas sudah tidak begitu jelas mana yang terapan dari Islam atau bukan.
Kemunculan etika terapan dalam wilayah ekonomi dalam perspektif Islam bukan dikarenakan akibat dari perkembangan paradigma etika, tetapi dalam Islam setiap interaksi dalam perilaku kehidupan manusia harus dilandasi nilai-nilai etika, termasuk di bidang ekonomi.
Domain etika juga telah dipelajari da nada di dalam al Qur’an surat al-A’raf ayat 85 yang berarti, “Sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya”. Demikian juga, kajian etika dalam ekonomi telah dikaji oleh para pemikir non-muslim dari zaman klasik sampai modern seperti Adam Smith (1723-1790) mengawali dengan Theory of Moral Sentiments (1759) sebelum akhirnya ia melahirkan karya besar An Inquiry into the Nature and Causes of Wealth of Nations (Wealth of Nations). Max Weber dalam The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism. Dari kalangan muslim, A.A. Hanafi dan Hamis Salam dengan “Business Ethics: An Islamic Perspective” dalam F.R. Faridi (ed) dalam Islamic Principles of Business Organization and Management. Syed Nawab Haider Naqvi dalam Ethics and Economics: An Islamic Synthesis, Ahmad Mustaq dalam Islamic Business Ethics in Islam, dan masih banyak lainnya.
Jadi, jika aktualisasi sistem ekonomi Islam sebagai representasi “ilmu, etika, dan agama”, maka epistemologi keilmuannya harus dikonstruksi lebih detail yang dapat dijadikan sebagai paradigma alternatif dalam regulasi pasar global, yang banyak menimbulkan persoalan serta kompleksitas perilaku ekonomi dan persaingan pasar yang hanya mendahulukan keuntungan maksimum. Menurut A. Sony Keraf mengibaratkan bisnis seperti halnya permainan judi, bisnis adalah bentuk persaingan yang mengutamakan kepentingan pribadi. Dari permainan yang penuh persaingan, aturan mainnya pun seringkali berbeda pula. Apalagi kaum kapitalis dalam strategi keuntungan akan memanfaatkan segala kesempatan transaksi yang ada.
Kondisi ini harus dimanfaatkan oleh pemikir dan praktisi Islam untuk berusaha menghadirkan epistemologi sistem ekonomi yang dapat mewakili semua aspek perilaku yang diharapkan dapat menjadi ‘jalan tengah’ dan diminati oleh mayoritas publik. Sebagai kaum muslim, rasanya tidak lengkap jika tidak ikut mencurahkan pemikiran tentang ‘jalan tengah’ apa yang ideal secara Islam.
Konstruksi Kerakyatan
Represents para pemikir dan praktisi islam dalam menguraikan tentang konsepsi system ekonomi islam menjadi alternative baru. Dalam epistemology keilmuan dikonstruksikan sebagai paradigma alternative dalam regulasi pasar global. Di Indonesia pasar bebas telah menjajah hampir merata di semua level masayarakat, tak terkecuali sampai kemasyarakat didesa-desa.
Kemiskinan merajalela menghiasi wajah negeri, bukan karena miskin akibat tidak dapat kerja bahkan makan, tetapi akibat kemiskinan tersistem yang segaja dibiarkan oleh Negara. Potret buram kemiskinan ini minimal harus ada penyelesaiannya, dengan menggunakan analisis kultural dengan memanfaatkan lembaga-lembaga yang berlabel agama.
Ekonomi kerakyatan merupakan istilah yang dibuat sebagai usaha untuk menggali potensi ekonomi rakyat indonesia melalui sistem ekonomi alternatif yang sebenarnya sudah dijalankan oleh rakyat . Secara praktek, ekonomi kerakyatan sudah dijalankan oleh rakyat sebelum kata-kata ekonomi kerakyatan itu sendiri lahir. Istilah tersebut memang bukanlah sebuah mazhab ekonomi baru, namun Ia hanya sebagai melainkan suatu konstruksi pemahaman dari realita ekonomi yang umum terdapat di negara berkembang.
Dalam pemahaman penulis antara ekonomi kerakyatan dan ekonomi islam harusnya bisa bersanding untuk mengentaskan kemiskinan. Karena banyak kesamaan antara ekonomi Islam dan ekonomi kerakyatan, khususnya pada bagaimana Islam berusaha untuk mengatasi ketidak merataan pendapatan dan menjalankan apa yang dinamakan ”maqosid Syariah.
Pemerataan pendapatan (maqosid syariah) inilah yang sebenarnya menjadi kendala besar bagi ekonomi kapitalis. Mereka berpendapat bahwa kemakmuran itu seperti air yang dituangkan kedalam gelas. Bila gelas sudah penuh , maka airpun akan melimpah kedaerah disekitarnya. Namun mereka lupa, bahwa manusia yang bebas nilai tidak akan cukup dengan harta sebanyak apapun. Timbullah ketimpangan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan yang semakin hari semakin besar. Ini yag menjadi salah satu tujuan ekonomi islam. Ada nilai moral yaitu Qonaah, menghindari mubadzir, tidak serakah, tidak bersifat konsumtif. Ada instrumen pemerataan seperti zakat, infaq shadaqah. Ada peran pemerintah (tadakhul dauliyah) yang menjaga maqasid, menjaga kemaslahatan orang banyak.
Tumbuhnya BMT (baitul Mal wa Attamwil) bertebaran dimana-mana menjadi warna baru pada sector mikro yang mampu memberikan peran dan sudah dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tapi bentuk dari perputaran finansial akibat dominasi konglomerasi, pemusataan kekayaan terjadi karena ”market failure” sistem kapitalis yang berdasarkan pasar jelas menjadi problem yang semakin akut. Uang semua berputar dikota dan berpusat di internasional (Capital outflow) dan sebaliknya BMT mencoba uang dikembalikan di sector ekonomi mikro daerah (Capital inflow).
Pasar bebas menyebabkan kemiskinan, karena mengakibatkan ketidaksetaraan pertumbuhan ekonomi, sehingga jangka panjang BMT menjadi alternatif. Proses pemberdayaan mikro berupa wirausaha permodalan kepada warga untuk mencapai produktifitas. Kita bisa belajar dari Prof Muhammad Yunus dengan Instrumen ekonomi kerakyatannya di Banglades yang bernama Grameen Bank, Banking for the poor.
Sebagaimana yang diceritakan Oleh Reynald Kasali dalam bukunya Re-code Your Change DNA, Beliau melihat kemiskinan dimasyarakatnya sudah begitu merejelala, karena masyarakat terjerat pada rentenir, padahal mereka hanya membutuhkan bantuan beberapa dollar saja. Hal yang banyak orang mampu melakukannya. Dengan operasi yang sangat sederhana, melayani kaum wanita didesa, bahkan sampai pengemis, dengan pinjaman bebas bunga pada awalnya dan berbunga sangat rendah setelah mampu, dengan sitem grouping, Grameen Bank telah menolong berjuta-juta orang terbebas dari kemiskinan. Inilah yang sedang dan seharusnya dilakukan oleh BMT-BMT didaerah-daerah, sehingga akses terhadap modal bagi Usaha kecil dapat lebih mudah.
Harapan dari masyarakat bukan lagi sesuatu yang mustahil, Ekonomi Islam dan Ekonomi kerakyatan sesungguhnya secara implementatif memiliki tujuan yang sama yaitu bagaimana mensejahterakan msayarakat dan menegakkan keadilan ekonomi. Masing-masing sudah berjalan dan ada pada msayarakat sebagai suatu kenyataan dan jawaban alternatif dari sistem ekonomi kapitalis yang gagal. Tinggal sekarang adalah political will pemerintah, apakah mau memajukan dengan legitimasi, atau hanya tetap membiarkan apa adanya. Semoga saja konsep ekonomi kerakyatan dan ekonomi islam dapat bersanding dan menjadi solusi atas dominasi kapitalisme, dan sanggup mengentaskan kemiskinan di negeri ini.

Tidak ada komentar: