SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 26 Mei 2008

Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional dan 10 Tahun Transisi Reformasi; Revitalisasi Gerakan Mahasiswa Untuk Mencapai Konsistensi Perjuangan Menuju M

Keadaan Indonesia dari hari kehari terus bertambah terpuruk dari polemik kebangsaan dengan diiringi melejitnya harga bahan pokok, harga kedelai, harga minyak dan gas, berada di atas rata-rata, selain itu ditambah dengan pengangguran dan pemiskinan yang terus meningkat dan tersistem. ketidakberhasilan dalam menaggulangi problematika bangsa ini disebabkan pemerintah tetap menjalankan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme dengan mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan konsensus Washington. Konsensus ini mengakibatkan kerugian bagi Rakyat Indonesia, karena ketidaksiapan Indonesia menghadapai kebebasan.
Dilihat dari analisa sektor politik, kesalahan pemerintah terletak pada belum berubahnya sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, yang berlaku adalah demokrasi adaptif yang terkooptasi ideologi kapitalisme seperti yang berlaku pada rezim Orde Baru. Demokrasi kapital merupakan demokrasi yang tunduk kepada modal atau mereka yang memiliki uang. Ini tidak bisa dipungkiri karena demokrasi yang berlaku dibangsa merah putih adalah masyarakat mudah terjebak dan terkooptasi oleh absolutisme, fanatisme Selama keadaan ini terus berlangsung maka demokrasi nilai yang seharusnya bersuara dan bersumber pada rakyat tidak akan tercapai dan ini merupakan kendala (constraint) sekaligus sumber keteraturan politik.
Dari sektor psikologi bangsa dan kerakyatan banyaknya para elite politik yang duduk sebagai aktor dan negarawan memiliki jiwa superioritas yang tinggi dan inipun diikuti oleh kendali misi pribadi untuk berkuasa, sehingga berbagai jurus dan spekulasi diluncurkan untuk mendapat keuntungan. Disisi lain dampak psikologis masyarakat secara umum mengalami apriori atau krisis kepercayaaan terhadap pemerintahan yang berkuasa.
Kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.
Menurut studi karakteristik negara gagal, antara lain adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal terbentuk pada awalnya karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefeisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.
Kemunduran ekonomi biasanya sejalan dengan lemahnya institusi penegakkan hukum. Karena adanya kemunduran ekonomi, akan semakin sulit menegakkan institusi-institusi negara menjadi lebih bersih. Dan kendala penegakkan demokrasi juga menjadi hambatan kalau rakyat lebih suka memikirkan ”perut” daripada kehidupan bermasyarakat.
Menurut Jared Diamond (Collapse;2005) dicantumkan peta Indonesia sebagai negara yang sekaligus berbeda dalam environmental trouble spots of the modern world atau political trouble spots of the modern world. Indonesia menurutnya adalah negara yang pernah dan sedang mengalami rentetan masalah politik yang memenuhi syarat sebagai pertanda yang baik bagi negara gagal (state failure). Selain itu tekanan penduduk yang mencapai 3 persen tiap tahun mempercepat laju deforistasi (penggundulan hutan), meningkatnya limbah kimia beracun (polusi, rumah kaca, dan pertambangan), krisis energi, kekeringan, kelaparan, dan berbagai masalah lingkungan dan sosial.
Liarnya ilegal loging dan ketidakmampuan menjaga lingkungan udara, laut, darat merupakan hal-hal serius yang harus diperhatikan Indonesia. Mental korupsi yang merajalela dan parah di semua tingkatan rakyat, besarnya beban hutang negara, dikuasainya aset-aset ekonomi oleh pihak asing menambah rentetan polemik bangsa yang seharusnya segera mendapat perlakuan khusus. Akankah bangsa terus mengalami keterpurukan dari hari kehari dari tahun ketahun hingga bergantinya rezim para penguasa bahkan jargon perubahan yang didengungkan hanya sebatas kelatahan belaka.
Transisisi Reformasi dan anomali politik
Gaung Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Awal agenda yang diusung cukup beragam diantara tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Stop otoriterisasi sistem militer (re-demokratisasi subtansi), turunkan dan lengserkan suharto, pencabutan dwifungsi ABRI, menegaskan pemulihan krisis politik-ekonomi yang terpuruk dan sejumlah agenda-agenda politik lainnya.
Setelah 10 tahun berjalannya reformasi lalu apa yang patut kita catat! dan pelajaran apakah yang dapat kita ambil. Dengan bergulirnya iklim heroisme masa dengan diiringi menggelindingnya rezim reformasi dengan menginginkan perubahan, apa yang terjadi setelah para elite birokrasi diduduki oleh tokoh-tokoh reformasi, apakah ada perubahan signifikan untuk negara ini. Mungkin bisa dikatakan gagal dari beberapa agenda reformasi untuk negeri ini.
Suasana perubahan demi perubahan telah menjadi kata kunci dengan masa transisi politik-demokrasi yang terus bergema untuk perbaikan. Efek samping pemahaman transisional demokrasi yang didengungkan mengalami alienasi menjadi transaksional.
Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku politik rezim "baru" berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.
Hegemoni kekuatan politik partai dan para tokohnya yang lahir dimasa reformasi kurang mampu mendobrak perubahan yang terarah malah justru menjadikan Wajah politik Indonesia terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan. Anomali politik ini menjadi salah satu ciri khas orde-reformasi, di mana sistem politik yang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi. Dampak dari sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.
Kita dapat mencatat sejumlah hal diantaranya amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi.
Agenda pengusutan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit sekali diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patronase, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis. Morfologi sistem berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru terjadi secara transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998.

Perilaku koruptif
Fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah seolah sudah menjadi rahasia umum, kebiasaan yang dilanggengkan dan tersistem ini menjadi kendala sistemik. Persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah tetapi mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. Fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu.
Agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi.
Bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatifitu seolah layak disematkan. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan.
Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, mencekiknya harga BBM dan bahan pokok serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari strategi dan jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).
Inikah realitas yang kita hadapi saat ini. Apakah kita sadar, Selama kita mengerti dan memahami, saatnya kita tergerak. transisi reformasi ada batasnya, saatnyalah kita merubah kofrontasi policy yang mengarah pada cari amannya saja. Bangsa kita butuh kepastian perubahan yang tersistem dan terorganisir yaitu revolusi.
Momentum satu abad kebangkitan nasional dan sepuluh tahun reformasi akankah kita jadikan sebagai angin lalu ataukah kita jadikan sebagai momentum melakukan kritik dan merumuskan solusi. Haruskah revolusi dan perjuangan yang memakan korban dan darah hanya menjadi pesan?
Sanggupkah kita mengawal untuk mengenang sekaligus melanjutkan revolusi untuk menumpas para penindas. Mulai detik ini sesungguhnya adalah keberanian dan tindakan kita untuk turut melanjutkan dan bertanggungjawab menggendong tugas besar bangsa yang kompleks demi terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhai allah SWT.

Tidak ada komentar: