SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Jumat, 25 April 2008

ANOMALI TRANSISI POLITIK REFORMASI

Gaung Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Awal agenda yang diusung cukup beragam diantara tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Soeharto harus lengser keprabon, stop otoriterisasi sistem militer (re-demokratisasi subtansi), pencabutan dwifungsi ABRI, menegaskan pemulihan krisis politik-ekonomi yang terpuruk dan sejumlah agenda-agenda politik lainnya.
Lantas, setelah 10 tahun berjalannya reformasi apa yang patut kita catat? Dan pelajaran apakah yang dapat kita ambil?
Kondisi politik Pasca lengsernya suharto mengalami goncangan hebat. setelah didesak oleh kebanyakan elemen untuk menyegerakan pemulihan keterpurukan bangsa dan diperlukan soft sistem yang kuat.
Suasana heroik masa dengan diiringi menggelindingnya rezim reformasi dengan menginginkan perubahan. Tapi apa yang terjadi setelah para elite birokrasi diduduki oleh tokoh-tokoh reformasi? Apakah ada perubahan signifikan untuk negara ini. Mungkin bisa dikatakan gagal dari beberapa agenda reformasi untuk negeri ini.
Suasana perubahan demi perubahan telah menjadi kata kunci dengan masa transisi politik-demokrasi dikala itu. Efek samping pemahaman transisional demokrasi yang didengungkan mengalami alienasi menjadi transaksional.
Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim "baru," berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.
Dominasi kekuatan politik partai dan para tokohnya yang lahir dimasa reformasi kurang mampu mendobrak perubahan yang terarah malah justru menjadikan Wajah politik Indonesia terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan.
Anomali politik ini menjadi salah satu ciri khas orde-reformasi, di mana sistem politik yang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi.
efek samping dari sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.
Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi. Kedua, terjadi kontradiksi peraturan antara pusat dan daerah, dari konteks kepastian hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan. Kapasitas ini menjadi biang kerok destroyetnya negara
Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang
menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit sekali diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patronase, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis.

Morfologi sistem berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru terjadi secara transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998.
Keempat, Fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan" di televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.
Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu.
Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan, bahkan kini muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi.
Bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatifitu seolah layak disematkan. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan.
Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, mencekiknya harga BBM dan bahan pokok serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari strategi dan jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).
Inikah realitas yang kita hadapi saat ini. Apakah kita sadar? Selama kita mengerti dan memahami, saatnya kita tergerak. transisi reformasi ada batasnya, saatnyalah kita merubah kofrontasi policy yang mengarah pada cari amannya saja. Bangsa kita butuh kepastian perubahan yang tersistem dan terorganisir yaitu revolusi.
Tak mudah mereformasikan kekuasaan otoriter tanpa mesim bermotor progresif yang merombaknya. Lihat pada Afrika Selatan dan beberapa negeri di Amerika Latin seperti Chile dan Argentina. Indonesia melekat pada romantisme gurun pasir masa dunia kegelapan dimana Ali Baba dan 40 penyamun berkuasa dan oleh karena itu 10 tahun tidak ada perubahan mendasar yang memudahkan dan menguntungkan masyarakt rakyat mayoritas.
semarang, 21 april 2008

Tidak ada komentar: