SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Jumat, 25 April 2008

Paradoks Demokrasi Dan Konflik Komunal

Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.
Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.
Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.
Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.
Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.
Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.
Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.
Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.
Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.
Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.
Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.
Begitulah kondisi bangsa yang saat ini terejadi, banyak tawaran yang bergulir demi mewujudkan strategi peredam konflik. Maka saatnyalah demokrasi dipraktekkan secara holistik bukan sekedar sebagai seremonial sehingga yang difahami hanya demokrasi sebagai sebuah teori sehingga menimbulkan problem hermeneutik terhadap pemaknaan. Dengan kata lain demokrasi janganlah difahami untuk mengatas namakan eksistensi yang menyebabkan timbulnya demokrasi lokal, demokrasi doktrinal dan demokrasi kontekstual. Marilah kita fahami dari keseluruhan atas pluralitas dan hegemonik konstruksi transformasi demokrasi sebagai langkah mencapai tujuan dan menciptakan prinsip bukan malah menambah konflik.

Absurditas, demokrasi politik PILGUB

PERHELATAN Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng pada 22 Juni 2008 praktis tinggal sekitar tiga bulan. Pasangan calon yang akan berlaga memperebutkan kepercayaan publik semakin jelas, terdiri atas lima pasangan; tiga partai politik (parpol) mengajukan calon sendiri tanpa koalisi (PDIP, Partai Golkar dan PKB), dan dua parpol mengajukan calon lewat koalisi (PPP dan PAN serta PD dengan PKS).
Berbagai manuver parpol sebagai ”kendaraan” pengusung telah meramaikan wacana perpolitikan di provinsi berpenduduk 32 juta jiwa, lebih dari setahun belakangan ini. Lobi dan negosiasi telah mencapai final dengan penetapan pasangan yang segera disusul deklarasi, dan selanjutnya disusul dengan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 26 Maret 2008.
Memang berkesan perhelatan pilgub amat elitis, karena terlalu dimonopoli oleh partai dan terasa jauh dari harapan masyarakat awam yang sedang didera bencana banjir, tanah longsor, dan angin ribut yang berkepanjangan.
Realitas menunjukkan terdapatnya disparitas antara perilaku parpol dengan ekspektasi publik terhadap proses penjaringan calon yang dianggap akan mampu menghasilkan kepemimpinan di Pemprov Jateng yang populis dan peduli nasib warganya.
Pelajaran yang dapat diambil bahwa aktivitas parpol masih terlalu sarat ”kepentingan internal” yang direpresentasikan melalui kebijakan pengurus tingkat ranting sampai pusat, yang sering ”dianggap” publik belum mewakili harapan dan keinginan konstituen.
Deskripsi tersebut dalam praktik politik dapat memengaruhi persepsi bahkan perilaku masyarakat dalam berpartisipasi pada pilgub mendatang. Artinya, disparitas antara harapan publik dengan pengurus parpol berdampak kepada sikap apatis dan tidak mau tahu dengan apa pun yang terjadi dalam perpolitikan sekitar pilgub.
Masyarakat telanjur beropini bahwa sesuatu yang patut dan layak di mata publik justru akan berkebalikan dengan keinginan pengurus parpol; dan itu berakibat kepada gagalnya tujuan utama pemilihan kepala daerah bahkan mengebiri hak pendidikan politik yang mampu mencerdaskan masyarakat.
Meskipun secara riil sulit menemukan figur gubernur terbaik untuk memimpin pemprov, namun demokrasi prosedural yang telah disepakati membutuhkan kesabaran masyarakat untuk secara bertahap diperbaiki melalui penyempurnaan sistem serta utamanya partisipasi masyarakat.
Suatu absurditas, ketika mendambakan demokrasi akan tetapi antipati terhadap politik dan kebijakan publik yang memang lahir dari pejabat politik yang dibangun melalui pemilu dan peran partai politik.
maret 2008

Tidak ada komentar: