SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 21 April 2008

menjelang 10 bilangan reformasi

“Indonesia negara gagal, karena tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya. Negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya. Tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata”.

Dalam peringatan 99 Tahun Bung Syahrir dan 60 Tahun Partai Sosialis Indonesia sebagaimana dilansir Harian Kompas Senin 31 Maret 2008.

Ungkapan Arbi Sanit yang mengawali tulisan ini bisa jadi mewakili sebagian besar perasaan masyarakat Indonesia yang pesimistis terhadap perubahan signifikan yang berlangsung di negeri ini. Dalam beberapa pekan yang lalu, kami mencoba melihat kasus Timor Leste yang kami kutif menurut beberapa ahli, jika dalam beberapa tahun kemudian tidak ada perubahan signifikan Timor Leste menjadi contoh salahsatu negara gagal. Kami geli dan gelisah ternyata bentuk “Negara gagal” malah sudah hadir di depan mata sendiri, dan itu adalah Negara di mana bumi kami pijak. Dalam kesempatan ini kami mencoba mengkaji Indonesia dalam perspektif Negara gagal sekaligus menyambut 10 tahun reformasi. Insya Allah dalam menyambut 10 tahun Reformasi, tulisan ini pun akan dilanjutkan dalam bentuk perspektif yang berbeda.

Arbi Sanit melihat bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas beragamnya keterpurukan dan ketidakteraturan dalam system Negara saat ini. Pasalnya parpol yang memegang hak monopoli untuk berkuasa, parpol juga yang membuat aturan bagaimana kekuasaan itu di bentuk dan dijalankan. Keadaan ini adalah bukti kondisi parpol yang lebih buruk dari kondisi Negara. Parpol tidak bisa melahirkan kekuasaan yang baik dan berpihak kepada rakyat. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakmampuan parpol melahirkan kader yang berkualitas, punya integritas dan moral, serta punya visi kebangsaan.

Dalam Tulisan Agus Hariyadi dengan judul ”Revolusi (tak) Berhenti di Hari Minggu”. Agus mengutif ucapan Affan Gaffar yang lebih ”menakutkan” lagi bahwa ”tak ada harapan di bidang ekonomi, tak ada harapan di bidang politik dan hukum, kita sudah tak punya harapan!”. Yang kemudian ditafsirkan dalam tulisan Ray Rangkuti bahwa kerusakan yang ada telah terlanjur kronis dan menguburkan harapan banyak orang akan adanya pemulihan. Pembususkan sudah sampai pada tingkat yang tak mungkin disembuhkan.

Apa yang terjadi dengan reformasi kita? Mengapa hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini masih mencemaskan? Dan kenapa kita hingga tahun yang kesepuluh ini masih berkutat dalam proses transisi menuju demokrasi?. Sepuluh tahun reformasi, Indonesia memang tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, baik dari segi politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Dan ini terbukti dengan belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat, dan ini terbukti bahwa rakyat hanya selalu menjadi objek kepentingan politik belaka. Dan ini terbukti pemberdayaan rakyat hingga saat ini hanya menjadi slogan elite-elite belaka.

political for all.......

Tidak ada komentar: