SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 21 April 2008

menakar gerakan

HMI & MISI MENGHIJAU HITAMKAN KOTA MERAH1

Oleh : TIM SIMPOSIUM SEJARAH HMI Cabang Semarang2

LATAR BELAKANG

  1. Letak Konstelasi Kota Semarang

Semarang merupakan sebuah Kota yang tidak terlalu besar dan merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Letaknya yang cukup strategis menjadi lintasan arus perdagangan nasional maupun internasional. Sebagai jembatan penghubung antara berbagai kota yang strategis, misalnya dari Surabaya, Jakarta dan kota kota besar lainnya. Letaknya yang berada dipesisir laut jawa menjadkan semarang sebagai kota dengan pelabuhan yang cukup ramai. Baik dari sisi kepentingan arus perdagangan ataupun kepentingan yang lainya. Karena letaknya yang strategis itulah, pernah terjadi muhibbah (kunjungan) seorang pedagang muslim china yang namanya diabadikan sebagai nama kuil yaitu Laksmana Cheng Ho atau kuil Sam Po Kong. Dan dari berbagai sumber di dapatkan bahwa tujuan selain melakukan muhibbah kenegaraan adalah melakukan syiar agama Islam.


Kota Semarang di bagi oleh Thomas Karsten menjadi dua bagian. Kota atas dan Kota bawah. Kota atas menjadi kawasan kota resapan yang mempunyai fungsi untuk mencegah terjadinya banjir. Kota bawah sebagai kota hunian yang dekat dengan pesisir pantai. Tetapi dampak dari kebijakan kaum kapitalis, maka Kota Atas yang seharusnya didesain sebagai kawasan resapan dijadikan kota hunian sehingga menghilangkan fungsi resapan. Sedangkan kota bawah yang dekat dengan pesisir yang seharusnya proses reklamasi pantai (pengurukan) tidak dilakukan, tapi karena kepentingan investasi, maka reklamasi dilakukan dengan membabi buta. Akibatnya yang terjadi adalah bencana struktural yang setiap saat mengancam kota semarang yaitu Rob dan Banjir.


Dalam arus industrialisasi dan perdagangan tercatat kota semarang dijadikan salah satu sentral perdagangan VOC. Hal ini masih terlihat dari berbagai peninggalan eks-central perdagangan yaitu di Kota Lama. Bangunan-banguna kuno yang sampai sekarang masih kokoh berdiri memberikan gambaran kepada kita bahwa Semarang dulunya adalah kota yang kokoh dengan dinamika perdagangannya.


Konsekuensi logis dari keberadaan kota semarang yang strategis di arus pusaran Jawa, maka yang muncul adalah adanya akulturasi ras, etnis, budaya dari berbagai belahan dunia. Sebagai kota yang berada di tengah-tengah lintasan budaya jawa, ummatan washathon, hal tersebut tidak dapat terelakkan. Corak masyarakatnya yang beragam karakter menjadi khasanah keberagaman tersendiri dan juga menjadi asset yang tak ternilai harganya. Masyarakat yang lahir dalam rumpun yang berbeda menjadikan kota semarang semakin berwarna. Maka jangan heran ketika ke Semarang kita akan menemui perkampungan-perkampungan etnis yang sudah berpuluh-puluh tahun mendiami kota Semarang. Misalkan kawasan Pekojan, sentral para ekspatriat orang-orang Arab atau keturunan Arab. Kawasan Pecinan yang tidak jauh dari pasar Johar merupakan kawasan dari orang-orang China dan biasanya mereka menggelar perayaan Gong Xi Fa Cai, Tahun baru ( Imlek) untuk orang China. Dan biasanya mereka menggelar perayaan dengan titel Kopi Semawis sebagai bagian dari apresiasi dari kebudayaan mereka. Di Kota Lama kita temukan kawasan untuk masyarakat Melayu yang tetap konsisten dengan akar budayanya.


Dari kondisi tersebut, maka tidak menjadi hal yang mengejutkan lagi ketika pemkot semarang baru-baru ini mencanangkan semarang dengan titel SPA ( Semarang Pesona Asia). Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan desain SPA tersebut, kita memahami bahwa ini merupakan dampak dari akulturasi budaya yang semakin menonjol.


  1. Dinamika pergolakan Semarang

Sebagai kota industri, semarang telah menempatkan denyut kehidupan kotanya dari gerigi-gerigi mesin industri, cerobong asap pabrik yang menantang langit. Akibat yang muncul adalah dinamika pergolakan kota Semarang yang lebih dekat dengan nuansa perjuangan kaum buruk, PKL, kasus pertanahan rakyat serta kasus yang berbau ke-kiri-kirian. Dari berbagai data yang kami dapatkan bahwa kasus kasus perburuhan, sengketa tanah, penggusuran, PKL lebih dominan daripada kasus pendidikan, pergolakan antar etnis. Hal ini tentu menjadi pemakluman kita bersama karena kondisi semarang yang lebih didominasi sektor industrialisasi.


Dampak dari perjuangan kaum marginal tersebut, maka semarang sampai kinii masih menyandang prediket sebagai kota “merah”. Bahkan sejarah mencatat bahwa perpecahan sarekat Islam ( SI ) menjadi Sarekat Islam yang kekiri-kirian, lebih revolusioner (Kubu Soemaoen) dengan Sarekat Islam yang masih kukuh dengan landasan berdirinya terjadi di kota Semarang (kubu Abdul Muis) antara tahun 1917 – 1920 M. latar Belakang perpecahan tersebut tidak dapat dipungkiri karena dorongan masyarakat marginal yang semakin terhimpit oleh derasnya arus industrialisasi-kapitalisme waktu itu.


Denyut pergolakan semakin terasa menggelora ketika SI dibawah pimpinan Soemaoen. Para pendukung SI yang awalnya dibawah kepemimpinan Muhammad Joesoef adalah kaum-kaum menengah dan pegawai negeri kini berubah mendapatkan dukungan dari kaum buruh dan rakyat kecil. Saat itu menjadi penting artinya bagi sejarah modern karena menjadi tonggak bagi kelahiran gerakan Marxis pertama di Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dinafikan dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memutuskan perkebunan yang semula dimonopoli pemerintah sejak saat itu dapat diusahakan oleh para pemodal swasta. Implikasinya bukan menyejahterakan rakyat tetapi semakin menindas rakyat. Karena rakyat sekarang harus berhadapan dengan lurah-lurah yang menjadi “kacung” para pemodal. Selain itu juga terjadinya wabah penyakit pes yang disebabkan karena perumahan rakyat yang kumuh (slum area) serta berhmpit-himpitan, akhirnya kebersihan dan kesehatan lingkungan tidak mampu dijaga dengan baik. Atas dorongan rakyat melalui SI akhirnya kota praja membangun perumahan untuk rakyat yang lebih representatif.


Dampak dari kondisi kesejarahan tersebut akhirnya sampai sekarang masih membekas auranya di pergerakan sekarang ini. Serikat-serikat pekerja semakin kuat melakukan perlawanan terhadap kaum pemodal, pemilik pabrik yang dominatif – eksploitatif terhadap buruh. Kelompok-kelompok marginal lainya semakin berjuang kuat menentang arus developmentalisme yang merupakan salah satu penyangga kaki kapitalisme. Misalkan kelompok Arak Topeng ( Aliansi Rakyat Tolak Penggusuran) yang senantias berjuang untuk menolak penggusuran tanah rakyat dengan dalih pembangunan.


Serikat buruh (PT BITRATEX, SPN PT. SAE APPAREL, SPN PT. SPD, SPN PT. RODEO, BPP FSBI, FARKES, DPD SPN, SPMI) yang tergabung dalam GERBANG ( Gerakan Buruh Semarang ) baru-baru ini (tanggal 15 September 2006) melancarkan protes kerasnya perihal UMK Kota Semarang yang masih jauh tertinggal dari Kota Kudus ( tercatat pada tahun 2005 UMR sebesar Rp 586.000;00 yang masih sering dilanggar oleh pengusaha). Keputusan Walikota perihal UMK tahun 2007 sebesar Rp 632.500/bulan masih di rasa buruh jauh dari KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Menurut hasil survey GERBANG, KHL di Semarang pada tahun 2004 sudah mencapai Rp 951.275/bulan. Sedang untuk tahun 2007 KHL sudah mencapai Rp 1.019.000/ perbulan. Sehingga cukup naif manakala kebijakan UMK walikota masih jauh dari yang diharapkan. Padahal hal tersebut telah diamanahkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khususnya pasal 88.


Fenomena penertiban, bahasa lain dari penggusuran atau pengusiran PKL menjadi tontonan sehari-hari. Kebringasan satpol PP yang notabenenya adalah warga sipil juga dengan pentungan ditangannya telah menciptakan suasana yang miris dan mencekam. Hal inilah yang harus di selesaikan oleh Pemkot sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Himpitan ekonomi yang semakin keras mencekik warga telah memaksanya menjadi Pedagang Kaki Lima yang seharusnya diapresiasi oleh pemkot karena telah meringankan beban pemerintah dalam menjamin kesejahteraan warganya. Tugas besar bagi pemerintah adalah bagaimana melakukan pembinaan yang berdampak pada meningkatnya income PKL bukan pembinaan yang sedikit demi sedikit membunuh PKL. Dan sampai sekarang kebijakan pemerintah kota lebih dititik beratkan pada pembangunan mall, ruko, hotel yang sedikit demi sedikit akan mematikan warganya. Tercatat ada beberapa kasus yang melibatkan pemkot dalam konspirasi yang sangat tidak manusiawi. Pembanguna hotel Gumaya di Jayanggaten telah mengantarkan warga disekitarnya sebagai warga yang termarginalkan dan lagi IMB ( Izin Mendirikan Bangunan ) tersebut belum disertai AMDAL ( Analisis mengenai Dampak Lingkungan). Dan masih banyak lagi kasus pertanahan di Semarang yang berdampak pada kelangsungan hidup warganya, misalnya kasus Cakrawala Baru, Pembangunan SPBU Menoreh dsb.


Di sektor budaya, Semarang termasuk kota yang masih “acuh-tak acuh” dengan apresiasi budaya. TBRS ( Taman Budaya Raden Saleh) yang menjadi salah satu kebanggaan sejarah kebudayaan warga Semarang semakin terhimpit dan semakin tereliminasi fungsinya karena munculnya proyek investasi dalam payung kapitalisme yaitu Taman Wonderia di sampingnya. Dengan dalih sebagai konsekuensi logis dari kota industri, maka pemerintah kota harus menyediakan sarana prasarana hiburan bagi warganya. Dan terbukti dari kebijakan tersebut, warga semarang semakin tidak “arif”, jauh dari sikap adiluhung karena suhu kota yang panas dengan kepulan asap industrialisasi tanpa diimbangi dengan penguatan sektor budaya. Warisan budaya yang berupa bangunan-banguna kuno yang seharusnya dijadikan cagar budaya semakin dibiarkan tak terurus. Sehingga bangunan-banguna bersejarah tersebut semakin menghilang, lenyap ditelan umur zaman atau dihancurkan untuk kepentingan proyek kapitalisme. Misalkan Lawang Sewu, Kota Lama, Gereja Bledug dan berbagai banguan kuno bersejarah lainnya.


Konsekuensi logis dari aroma industrialisasi tersebut adalah semakin terjajahnya nilai-nilai relegiusitas. Arus gerigi industri yang semakin berjalan mengoyak-ngoyak sadis seluruh segmentasi kemanusiaan. Pergerakan mahasiswa semakin “tumpul” kurang bergigi karena desain suasana yang “kering” dan semakin jauh dari nilai pencerahan, intelektual.


MISI KEUMMATAN DALAM HIMPITAN GERIGI INDUSTRIALISASI

  1. Kelahiran HMI

Secara pasti kelahiran Hmi masih menjadi pertanyaan yang belum ada jawabannya. Hal ini lebih disebabkan karena kurangnya data serta upaya untuk penggalian informasi dari para pelaku sejarah (generasi pertama) belum maksimal. Salah satu yang dapat dijadikan rujukan tentang waktu kelahiran hmi di semarang adalah tulisan Agus Salim Sitompul dalam buku menyatu dengan ummat, menyatu dengan bangsa bahwa kelahiran Hmi Cabang semarang pada tanggal 27 Maret 1955. tetapi statement tersebut masih perlu dibuka ruang dialektikanya. Dengan alasan; pertama bahwa perguruan Tinggi yang pertama kali di dirikan di Semarang adalah Universitas Semarang pada 9 Januari 1957. Universitas semarang merupakan kampus yang dilahirkan oleh yayasan universitas semarang yang diprakarsai oleh Mr. Imam Bardjo, dkk. Pada pertengahan tahun 1956. artinya, bagaimana mungkin HMI cabang Semarang berdiri pada tahun 1955 sementara pada saat yang sama tersebut belum terdapat mahasiswa di kota Semarang.


Kedua;, data kelahiran HMI Cabang Semarang pada 27 Maret 1955, merupakan data yang dikutip dari Majalah Media Edisi 2/Tahun III/September 1956 yang diterbitkan oleh PB HMI. Artinya, pemuatan berita tentang berdirinya HMI Cabang Semarang oleh PB HMI, memerlukan waktu selama 18 bulan. Maka, ada dua kemungkinan yang bisa saja terjadi : satu, kinerja Redaksi Majalah Media yang sangat lambat—sehingga memberikan berita yang tidak up-to date lagi. Atau kedua, sebenarnya kelahiran HMI Cabang Semarang, lebih muda daripada tahun 1955.


Meskipun demikian, kita tak perlu pesimis dalam melacak periode-periode awal eksistensi kejuangan HMI Cabang Semarang. Karena pada kurun tahun 1950-an, terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa HMI Cabang Semarang memang sudah berdiri.


Pertama, menurut Bapak Pudjadi (salah seorang pelaku dan pengamat HMI di UNDIP era 1950-an), pada tahun 1956 sudah terdapat sejumlah mahasiswa yang kuliah di “Yayasan Universitas Semarang”. Dan dalam pengakuan Bapak Mugiharjo, di era 1950-an akhir, di Semarang sudah ada berbagai kegiatan HMI yang dilakukan di kampus Universitas Diponegoro. Kedua, terdapat dokumen-dokumen HMI yang menunjukkan adanya keterlibatan kader-kader HMI Cabang Semarang dalam berbagai acara di era 1950-an. Ketiga, kemungkinan munculnya “kesalahan ketik” dalam penyajian data, bisa saja terjadi. Penulisan tanggal “27” dan bulan “Maret” adalah benar. Namun bukan tahun “1955” melainkan tahun “1956”. Jika kelahiran HMI Cabang Semarang adalah pada 27 Maret 1956, maka data tersebut baru terasa tidak janggal.


Salah satu yang menjadi pemicu munculnya HMI di Semarang adalah bagaimana HMI yang hadir sebagai pencerah wilayah “merah” Semarang. HMI yang berdiri kokoh untuk mampu memberikan warna lain di setiap sudut Semarang. Selain itu yang perlu menjadi catatan bahwa HMI lahir dalam rangka untuk menangkal arus kristenisasi yang semakin gencar berjalan di setiap lorong waktu. Maka tidak heran bahwa dominasi keanggotan HMI waktu itu adalah mahasiswa UNDIP dari Fakultas kedokteran dan di HMI Cabang membentuk LKMI ( Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) yang bertugas untuk melakukan pengobatan didaerah-daerah terpencil guna menangkal misi kaum misionaris yag sering beroperasi didaerah slum area.


  1. Masa Pergolakan Himpunan

Penerapan ideologi Nasakom, mulai terasa memberikan gangguan kekuatan politik di daerah-daerah (luar ibukota, Jakarta). Bagi PKI, lawan ideologis yang mesti “ditumpas”—setelah PSI dan Masyumi bubar—adalah HMI. PKI menyebut HMI sebagai “barisan reaksioner dan kepala batu”.


Pada pertengahan dasawarsa 1960, HMI Cabang Semarang mengalami situasi dan kondisi yang amat memprihatinkan. Kota Semarang yang merupakan salah satu daerah basis komunis, menyerang HMI habis-habisan. Lewat berbagai organisasi underbow-nya, PKI mengerahkan segala daya upaya untuk mengganyang HMI.


Salah satu kekuatan PKI pada saat itu adalah terkuasainya opini publik lewat media massa. Di Kota Semarang—sampai dengan tahun 1964—tercatat tidak lebih hanya mempunyai lima surat kabar yang beredar di masyarakat umum. Surat Kabar itu antara lain ; Koran Minggu Semarang, Suara Merdeka, Gema Masa, dan Harian Angkatan Bersenjata Jawa Tengah.


Celakanya, tiga diantara media tersebut, terlibat dalam usaha pengganyangan HMI—atau setidaknya turut membentuk dan mempengaruhi pendapat umum untuk pembubaran HMI. Tiga surat kabar yang dimaksud adalah, Koran Minggu Semarang, Suara Merdeka, dan Gema Masa.


Dalam menghadapi keadaan yang semakin parah HMI Cabang Semarang—sesuai instruksi PB HMI untuk membentuk “Pasukan Inti” (PATI) HMI—maka kemudian didirikanlah Brigade Jihad (Brighad) Semarang.


BENIH-BENIH PERPECAHAN

  1. Situasi keretakan himpunan

Keretakan HMI sebenarya sudah mulai mengental seiring dengan kegelisahan para kader akan kondisi HMI. HMI menjadi tempat semata-mata sebagai batu loncatan untuk kepentingan kekuasaan semata. Sehingga kader lebih menempatkan HMI hanya sebagai tameng ketika dia melakukan kompromi-kompromi politis. Selain itu pemikiran, wacana tentang kebangkitan islam terinspirasi dari keberhasilan Ayatullah Khomaeni dalam menumbangkan Rezim Reza Pahlevi yang kita kenal dengan revolusi Iran. Sednagkan ellit HMI yang masuk dalam struktur kekuasaan semakin tidak peduli dengan persoalan keummatan, keislaman.


Sehingga para kader yang sempat menangkap akan ada gejala besar yang sangat berpengaruh terhadap sejarah HMI selanjutnya mempersiapkan serangkaian strategi ketika memang HMI akhirnya pecah. Yaitu dengan memunculkan forum untuk menampung kader HMI yang masih mempunyai ghirroh terhadap perjuangan ke-Islaman.


  1. Relasi antara MPO & FOSI

Sejarah tidak dapat memungkiri bahwa ada hubungan yang sangat erat sekali antara HMI MPO Cabang Semarang dengan FOSI. Bahkan kalau diibaratkan antara MPO dan FOSI bukan lagi sebagai bayi kembar tetapi seperti plasenta dan janin. Tentu saja hal ini merupakan suatu bentuk konstruksi sejarah yang saling menguatkan. FOSI yang lahir awalnya adalah sebagai “Skoci” yang siap menampung para “awak kapal” (HMI) yang diperkirakan akan retak dan tenggelam. Adapun MPO pada awalnya “hanya” diproyeksikan sebagai majlis sementara yang bertugas untuk menyelamatkan organisasi tanpa ada tendensi akan terjadi kristalisasi yang permanen.


Hal itulah yang turut mendorong para kader himpunan untuk aktif di FOSI. Tercatat bahwa salah satu pendiri MPO (Ir. Hanafi Sholeh) adalah aktivis FOSI. Sehingga pada masa itu sangat sulit membedakan antara FOSI dan HMI MPO. Pada awalnya FOSI Lahir sebagai antitesa kegagapan sistem perkaderan HMI dengan menggunakan NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Out put yang dihasilkan HMI ternyata masih jauh dari tujuan HMI berdiri. Kecenderungan kader yang ambisius terhadap kekuasaan politik semata telah menjadi keresahan tersendiri bagi beberapa kader HMI untuk membentuk suatu media untuk mengembalikan tujuan suci HMI. Karena latar belakang itulah FOSI lahir dan sampai sekarang masih menggunakan NDP yang diperbaharui sedemikian rupa dengan lebel yang berbeda, NDI (Nilai Dasar Islam).


Konsep perkaderan yang tertuang dalam NDI lebih terfokus pada pengembalian jati diri manusia kefitrahnya. Rekonstruksi paradigma ketauhidan kader harus senantiasa di lakukan. Keterbenturan kader dengan instrumen kekuasaan sering menjadikan kader semakin split personality (berkepribadian ganda). Hal tersebut menjadikan kader semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan HMI, nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi asas pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan. Oleh karena itulah, dalam metode perkaderan NDI (baca ; FOSI) lebih menitikberatkan pada proses dialektika dalam penemuan spirit ketauhidan.


Sehingga beberapa dekade kemunculan MPO masih terbayang dengan FOSI. Memang sunatullah senantiasa menjadi ketetapan bagi semesta. Ketika MPO semakin berjalan dan mulai menemukan bentuk dinamisasinya, FOSI semakin terlupakan (pada masa kepengurusan Akh. Didik Harnanto, periode 1991-1992 hubungan antara MPO dan FOSI semakin renggang). Tentu saja hal ini juga disebabkan juga FOSI tidak memiliki instrumen pendukung yang turut membingkainya sebagai sebuah organisasi. Misalkan aturan-aturan, konstitusi serta piranti-piranti soft ware yang turut menopang sebagai persyaratan sebuah organisasi (tercatat Konstitusi FOSI baru di desain pada tahun 2000-an). Akibatnya, FOSI semakin “tenggelam” dan MPO semakin berjalan sesuai dengan arus sejarah yang membingkainya.


  1. Konsekuensi Perpecahan

Konsekuensi logis dari perpecahan tersebut antara lain; pertama, dari sisi hubungan secara personal dan keorganisasian antara HMP dan HMI semakin menegang. Sehingga terkesan tercipta sekat yang mengkotak-kotakkan gerakan HMI dan HMP. Tentu saja bukan hanya internal kader saja tetapi para alumni yang sepertinya juga tercipta gap-gap terselubung walaupun pada akhir-akhir ini gap-gap tersebut semakin menghilang seiring perubahan kembali HMP yang awalnya berasas pancasila kembali berasas Islam.


Kedua, sesuai dengan politik pemerintah untuk memecah belah gerakan Islam, maka pemerintah menerapkan politik belah bambu. Tentu saja pemerintah mengambil sikap bagaimana menganak emaskan HMP yang “taat” terhadap semua kebijakan pemerintah yang akhirnya tidak kritis terhadap pemerintah dan “menenggelamkan” HMI dengan berbagai cara. Misalkan bagaimana senantiasa memberikan tekanan yang penuh terhadap setiap aktivitas HMI. LK I sebagai pintu gerbang masuknya mahasiswa menjadi anggota HMI bukan hanya diselenggarakan pindah masjid satu ke yang lain karena menghindari represivitas penguasa, tetapi sering dilaksanakan di luar kota Semarang, misalkan di Pekalongan, Surakarta atau bahkan juga di pulau Karimunjawa, Jepara. Bahkan pernah menyelenggarakan LK I di Kandang Ayam.


Ketiga, sebagai konsekuensi logis bagi anggota adalah bagaimana bisa tetap survival di tengah kesulitan-kesulitan baik yang diciptakan oleh penguasa ataupun karena kondisi personal kader. Sehingga tidak jarang para aktivis HMI yang memilih untuk senantiasa berjuang di HMI dan dalam studynya sering terhambat. Tetapi hal tersebut tidak menjadikan HMI semakin surut tetapi semakin berkembang. Dan di situlah integritas kader diuji oleh tantangan zaman. Selain itu, konsekuensi logis dari perpecahan tersebut adalah penguasaan data serta kesekretariat HMI. Yang sampai saat ini HMP mendapatkan sekretariat yang permanen di Jl. Dewi Sartika, sedang HMI senantiasa nomanden (berpindah-pindah) seiring dengan batas kontrakan yang disepakati dengan pemilik rumah. Mulai dari di Jl. Genuk Perbalan, pindah ke Halmahera III dan cukup lama di Halmahera IV/36 dan akhirnya pindah juga ke Jl. Kenconowungu III/IA dan sebentar lagi juga akan pindah karena masa kontrakan sudah habis.


HMI DAN TRADISI BARU PERJUANGAN

  1. Karakter Perjuangan himpunan

  1. Situasi Perkaderan

Di setiap pergerakan tentu saja mempunyai tujuan. Tujuan tersebut yang kemudian dijadikan acuan dalam rangka ritme perkaderannya

Untuk lebih mendetailkan keterangan ini, dapat diambil dari data berikut :


    1. Fase Eksistensi organisasi (1986 – 1990)

Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • HMI dan FOSI menjadi 2 organisasi yang berada dalam satu tubuh (anggota HMI juga merupakan anggota FOSI)

  • Penataan organisasi setelah terusirnya dari sekretariat di JL. Dewi Sartika. Setelah 1 tahun baru mendapat sekretariat di JL. Genuk Perbalan

  • Komisariat terpecah 2 (kubu MPO dan Dipo). Komisariat peternakan, teknik, fakultas sosial, IKIP dan IAIN

  • Dominasi kekuatan HMI di wilayah UNDIP

  • Sebagian kader lebih memilih di HMI (MPO), meskipun selanjutnya banyak yang tak kuat karena represifnya orde baru.

  • Perkaderan banyak diorientasikan pada ideologisasi (keislaman)

  • Perekrutan dilakukan dengan kegiatan non formal (lembaga da’wah dan pengajian)

  • Porsi perkaderan lebih banyak tentang spiritualitas dan aktivitas da’wah lainnya.

  • Banyak terpengaruh pemikiran ikhwanul muslimin, pemikiran FOSI (Imadudin Abdurrohim, Pak zaeni Salatiga dkk)-dominasi-, dan tasawuf (Muhammad Zuhri Pati)

  • Pemikiran sosial politik lebih banyak pada “anti-orde baru” dan perlawanan terhadap simbol-simbol Pancasila


  • Pada periode ini di ketua umum Hanafi Sholeh dan Basuki Rahmat (2 periode)

  • Sumber: LPJ 1986-1987, Hanafi Sholeh, Cipto Sumedi, Basuki Rahmat


2. Periode Kemandirian Himpunan (1991 – 1994)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Terjadi kelesuan pada kepengurusan karena banyaknya aktivitas da’wah di luar

  • Terjadi konflik dengan FOSI secara organisatoris, sehingga mengakibatkan terpisahnya secara organisasi antara anggota HMI dan FOSI

  • Menguatkan posisi tawar sebagai HMI yang sah pewaris HMI 1947

  • Perkaderan mulai stabil (dapat mengadakan LK II kerjasama dengan cabang Jogja & beberapa kader mengikuti LK III)

  • Secara kuantitas kader mengalami penyusutan

  • Perkaderan terputus dari generasi sebelumnya yang lebih condong pada FOSI

  • Masa Peralihan antara Pemikiran ideologis (ala FOSI) dan pemikiran epistemik

  • Banyak dipengaruhi pemikiran HMI Cabang Yogyakarta

  • Penguatan dan rasionalisasi berdirinya HMI (MPO)

  • Ketua Umum : Didik Hernanto dan Failasuf Badruddin

  • Sumber : LPJ 1991-1992, LPJ 1993-1994, Didik Hernanto dan Failasuf Badrudin


3. Fase Pemikiran Epistemik dan Peradaban (1994 – 1997)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Perkembangan komisariat di berbagai Universitas, terutama UNISSULA

  • Kemandirian organisasi telah stabil, dan dapat mengatasi kemandirian pasca perpisahan dengan FOSI

  • Kepengurusan merupakan kader HMI murni

  • Penguatan konstitusi sebagai landasan perjuangan

  • Pembubaran KOHATI

  • Dominasi kekuatan HMI di wilayah IAIN Walisongo

  • Terdapat berbagai training tentang ke-HMI-an (penataran Khittah perjuangan, training kesekretariatan, SO, Managemen organisasi dll)

  • Kajian keilmuan di tingkat komisariat massif

  • Kuantitas dan kualitas pengader meningkat

  • Pembentukan jaringan dengan para tokoh masyarakat Semarang

  • Kajian rutin tentang Epistemologi islam dan peradaban

  • Keterbukaan dalam pemikiran

  • Penguatan wacana gender dan peran muslimah

  • Ketua Umum : Edi Darmoyo, Duta Grafika, Arif Pramudya

  • Sumber: LPJ 1994, LPJ 1995, Amir Kumadin, Sapto Widodo, Evi Wijayanti, Arif Pramudya


4. Fase Pengembangan Gerakan (1997 – 2001)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Pengembangan HMI sebagai organisasi formal dan modern

  • Perluasan medan da’wah dengan pembentukan komisariat

  • Menapaki kerjasama dengan berbagai gerakan

  • Banyak menyikapi masalah eksternal dan kemasyarakatan

  • Pembentukan komunitas sesuai dengan kompetensi dan minat bakat kader

  • Model perkaderan dengan berbasis komisariat

  • Kebebasan dalam mengaktuasisasikan konsepsi perkaderan

  • Suksesi kepemimpinan dan penguatan gerakan mahasiswa

  • Kajian revolusi, terutama Iran, masyarakat madani dan konsepsi minoritas kreatif

  • Penguatan pemikiran teoritis berbagai keilmuan

  • Ketua Umum : Fauzan Rosyidi, Candra Sosiawan, Shofa Muthohar dan Ahmad Supari

  • Sumber : LPJ 1998, LPJ 1999, Candra Sosiawan, Shofa Muthohar, Ahmad Supari, Supardi, dll


5. Fase Transformasi Keterbukaan (2001 – 2004)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • format HMI di masa keterbukaan

  • Pengembangan organisasi di berbagai kampus swasta

  • Penguatan silaturahmi dengan alumni berbagai generasi

  • Kerjasama dengan organisasi lain semakin intensif

  • Pembenahan managemen organisasi modern

  • Reposisi perkaderan HMI dalam nuansa keterbukaan

  • Penguatan peran lembaga khusus dan kekaryaan sebagai media aktualisasi kader

  • Pengembangan strategi perkaderan, terutama di komisariat

  • Pengutan peran HMI dalam kehidupan bangsa dan kenegaraan

  • Revolusi sistemik sebagai konsekuensi oposisi HMI dengan terjadinya kebekuan reformasi

  • Kapitalisme Global sebagai common enemy masyarakat


  • Ketua Umum : Singgih Prabowo, Moh Sri Handoko, Hermansyah.

  • Sumber: LPJ 2001, LPJ 2002, LPJ 2003, pelaku sejarah




6. Fase Penguatan Peran (2004 – 2007)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Menguatan mulai dari keaparatan, intelektualitas dan jaringan

  • Menapaki jaringan dan berperan dalam wilayah ke-Semarangan

  • Penguatan peran HMI sebagai gerakan intelektual di Semarang

  • Pendaftaran HMI sebagai organisasi resmi

  • Dominasi kekuatan HMI di lingkungan IKIP PGRI

  • Pergolakan antara kualitas dan kuantitas kader

  • Mereposisi perkaderan dalam pekuliahan yang pragmatis

  • Perkaderan berbasis intelektual dan jaringan keumatan

  • Penguatan perkaderan secara struktural



  • Penguatan pemikiran tentang neo-liberalisme dan implikasinya bagi masyarakat

  • Penderivasian konsepsi peradaban baru dalam sistem sosial

  • Pengkajian kebijakan di wilayah Semarang

  • Ketua Umum : Imam Riyadi, Widayat Saputro, Muhammad

  • Sumber: pelaku sejarah



  1. Peta Pemikiran

Untuk bisa lebih menggambarkan sejauhmana kader HMI Semarang dalam memetakan pemikiran, maka dapat dilihat dari tabel berikut :


No

Tema PB HMI

Tema Cabang Semarang

Situasi











-




Periode 1979-1980 (Tadjri Djauhari)




-




Periode 1981-1982 (Masrifan Djamil)




Periode 1982-1983 ( Zaenal Muttaqin)



Periode 1984-1986 (Harry Azhar Aziz)

Periode 1984-1985 (Akhmad Rudiyanto-Catur Sembodo diganti Hanafi Sholeh)

  • Masa pergumulan dan pergolakan


Periode 1986 – 1988 (Eggy Sudjana)

  1. Periode 1986-1988 ( Ir. Hanafi Sholeh )

  • Masa-masa konsolidasi intern HMI

  • Penetrasi Birokrasi terhadap penentang Astung


Periode 1988 – 1990 (Tamsil Linrung)

Dengan Meningkatkan kualitas Ulil Albab kita menuju masyarakat yang di Ridloi Allah SWT”.


  1. Basuki Rahmat. SE ( Periode 1988 – 1989)

    • Masa pergolakan penemuan jati diri serta konsolidasi gerakan.


Periode 1990 – 1992 ( Masyhudi Muqorrobin)

Aktualisasi Universalitas Islam Sebagai Alternatif Tata Dunia Baru”


  1. Basuki Rahmat. SE ( Periode 1989-1990)

  2. Periode 1991-1992 ( Didik Hernanto) “Optimalisasi Peran HMI Sebagai Organisasi Kader dan Perjuangan Terhadap Kesinambungan Da’wah Global”

    • Proses pencarian alternative tata dunia baru yaitu melalui penggalian nilai-nilai Islam.


Periode 1992 – 1995 ( Agus Pri Muhammad)

Revitalisasi Kepemimpinan Menuju Masyarakat Rabbani

  1. Periode 1993 – 1994 ( Failasuf Badaruddin) “ Aktualisasi Kader Menuju Integritas Ummat”

  2. Periode 1994 – 1995 ( Eddy Darmoyo) “Internalisasi, Konsolidasi & Aktualisasi Kader langkah Integral himpunan menuju Peradaban Islam”


    • Proses pembauran HMI di masyarakat sebagai upaya mengkonkretkan eksistensi HMI.


Periode 1995 – 1997 ( Lukman Hakim Hasan) “Membangun Jaringan Keummatan Menuju Masyarakat Berkeadilan”

  1. Periode 1995 – 1996 ( Duta Grafika) “Revitalisasi Nilai Perjuangan Kader Menuju Kebangunan Peradaban Islam”

  2. Periode 1996 – 1997 ( Arief Pramudya)


    • Upaya penemuan kembali semangat dalam berIslam dan upaya untuk mentransformasikannya.


Periode 1997 – 1999 ( Imron Fadhil Syam) “ Meletakkan Dasar-dasar Perubahan Yang Humanis dan Transendental Menuju Masyarakat Madani”




  1. Periode 1997 – 1998 ( Fauzan Rosyidi) “Mengembangkan Mentalitas Creatif Minority Menuju Masyarakat Madani”

  2. Periode 1998 – 1999 ( Candra Sosiawan) “ Mengembangkan dasar-dasar Budaya Kreatif yang Humanis dan Transenden Menuju Masyarakat Madani”

    • Runtuhnya Rezim ORBA

    • Uphoria reformasi, era Keterbukaan

    • Kerinduan akan keniscayaan Perubahan

    • Perlunya Peranan Penguatan Masyarakat Sipil

    • Masa-masa Transisi


Periode 1999 – 2001 ( Yusuf Hidayat) “ Aktualisasi Visi Profetis Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban”


  1. Periode 1999 – 2000 ( Shofa Muthohar) “Aktualisasi Peran Prophetis Menuju Masyarakat Madani”

  2. Periode 2000 – 2001 ( Akhmad Supari)

    • Reposisi Misi HMI pembawa misi Prophetis.

    • Penguatan bangunan Masyarakat sipil untuk berdaulat”


Periode 2001 – 2003 (Syafinuddin Al Mandary) “Revolusi Sistemik; Ikhtiyar Menegakkan hak-hak dan Partisipasi Kaum Mustad’afin Yang Humanis dan Transenden menuju baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur”


  1. Periode 2001 – 2002 (Singgih Prabowo) “Revitalisasi Karakter Ulil Albab dalam Da’wah Kemanusiaan Menuju Masyarakat Ethis”

  2. Periode 2002 – 2003 ( Sri Handoko) “Implementasi Integrasi kader Dalam Revolusi Sistemik Menuju Masyarakat yang Berkeadilan”

    • Gagalnya Reformasi sebagai solusi perubahan tatanan kebangsan

    • Konseptualisasi Revolusi sebagai solusi perbaikan.

    • Konsolidasi kekuatan “status Quo” dengan “atribut yang beda.


Periode 2003 - 2005 (Cahyo Pamungkas) “Perubahan Sistem Ke-Indonesiaan Untuk Kaum Lemah dan Terpinggirkan”

  1. Periode 2003-2004 ( Hermansyah ) “Penguatan Peran HMI Menuju Perubahan Sistem Ke-Indonesiaan”

  2. Periode 2004-2005 ( Imam Riyadi ) “Rekonstruksi Kesadaran Perjuangan dalam Memanifestasikan Kreatif- Humanis sebagai Ikhtiyar Mewujudkan Masyarakat Transenden”


    • Penguatan konsepsi Revolusi sebagai solusi.

    • Gerakan GOLPUT Pemilu 2004 sebagai jalan Revolusi.

    • Kesadaran Kader dalam ber-HMI yang harus diperkuat kembali


Periode 2005 – 2007 ( Muzakkir Jabir) “Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk Pembelaan Kaum Lemah dan Terpinggirkan”

  1. Periode 2005-2006 ( Widayat Saputro) “Penguatan Gerakan Intelektual Menuju Peradaban Tauhid”

  2. Periode 2006-2007 (Muhammad) “Penguatan Jaringan Keummatan Dalam Mentransformasikan Peradaban Berkearifan”

    • Upaya reposisi peran hmi serta upaya untuk memunculkan strategi yang beda seiring dengan perubahan situasi yang semakin terbuka.


  1. Peran HMI dalam Dinamika ke-Semarang-an

Menjadi sebuah keniscayaan, ketika membicarakan HMI berarti kita membicarakan sejauh mana HMI mampu berperan untuk kadernya, untuk masyarakat. Walaupun begitu, kita sering terjebak dengan peran HMI apakah memang “hanya” diperuntukkan untuk mahasiswa “ansich” ataukah kehadiran HMI dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Walaupun HMI sering mendefinisikan kader adalah masyarakat itu sendiri. Tetapi pada kenyataannya, ketika seseorang mahasiswa masih menjadi kader, maka keterlibatannya dalam pergumulan sosial masih perlu dioptimalkan. Hal inilah yang menjadi cukup kendala ketika HMI harus memposisikan ide, gagasan-gagasannya ke masyarakat. Faktor yang melatarbelakangi, apakah disebabkan karena model gerakan HMI pasca 1986 yang cenderung penguatan sisi internal saja, atau ini adalah bagian dari setting kekuasaan dalam rangka me”mandul”kan, mengalienasikan HMI dalam arus pusaran masyarakat yang semakin terbuka. Hal ini masih terbuka sekali ruang dialektikanya.


Setiap periode mempunyai karakter, daya aksentuasi yang berbeda. Ada style gerak periode kepengurusan yang lebih menitikberatkan pada penguatan basis internal, ada suatu periode kepengurusan yang lebih menitikberatkan pada dinamika eksternal, ranah kepengurusan cabang adalah ranah politis dan komisariat mempunyai tanggungjawab disisi perkaderan. Tentu saja hal ini tidak dapat dinafikan dari kondisi, situasi yang melingkupinya serta upaya-upaya untuk menjawab problematika keummatan yang sedang menggejala.


Tentu saja ketika membicarakan peran HMI maka tidak dapat dilepaskan dari citra, trademark Semarang sebagai kota dengan style industrialisasi yang tinggi serta pengembangan berbasis perdagangan yang cukup santer. Hal inilah yang cukup membuat gerakan HMI berkelidan dalam pusaran dinamisasi daerah. Karakteristik serta citra semakin menempatkan HMI sebagai organisasi “kiri”. Kiri yang dimaksud adalah bagaimana apresiasi yang sangat tinggi terhadap problematika kerakyatan yang semakin jauh dari kesejahteraan, kaum-kaum marginal, lemah dan terpinggirkan. Serta juga isu global-nasional yang semakin berjalan, momentum yang semakin berhimpitan sehingga memerlukan pensikapan yang jelas.


Periode awal munculnya HMI MPO yaitu masa kanda Hanafi Sholeh (1986-1988). (tercatat beliau termasuk salah satu orang yang turut menandatangani munculnya Majelis Penyelamat Organisasi di Yogyakarta). Tentu saja yang dihadapi HMI MPO bukan lagi hanya “birokrasi Pemerintahan saja” tetapi HMI DIPO yang secara ideologis, kultur dan sebagainya selalu menampakkan “ketidaksenangannya”. Sehingga yang diperlukan saat itu adalah bagaimana melakukan konsolidasi berbagai komisariat yang masih tetap setia dengan Asas Islam serta bagaimana mengkomunikasikannya kepada seluruh komponen di Semarang. Konsekuensi logis dari pilihan tersebut adalah stigma bahwa HMI (MPO) adalah organisasi “Under Ground”, gerakan inkonstitusional yang tidak “taat” terhadap kebijakan penguasa. Pada awal ini kegiatan HMI bersifat konsolidasi internal organisasi baik ke lokal Semarang ataupun agenda HMI MPO secara nasional.


Warna serta model perjuangn HMI semakin lama semakin berjalan menemukan bentuk terbaiknya. Kondisi tekanan penguasa yang semakin represif mengharuskan gerakan HMI harus mampu mensolidkan internalnya. Periode selanjutnya yaitu Basuki Rahmat yang menjabat dua kali periode (1988-1990) menempatkan gerakan HMI pada sisi penguatan internal organisasi. Periode selanjutnya yaitu masa Didik Hernanto (1991-1992) yang tetap gigih memberikan semangat jihadnya untuk perjuangan. Kondisi eksternal HMI, upaya represivitas pemerintah kepada HMI, mengharuskan HMI harus menggunakan “manthel” (institusi kantong) sebagai media perjuangan HMI agar tidak dapat dideteksi oleh kekuatan pemerintah. Maka pada periode ini HMI mengambil strategi pembentukan forum komunikasi yang sebenarnya dijadikan sebagai media transormasi gagasan HMI. Misalkan di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi mahasiswa Islam Jakarta), di Yogyakarta terbentuk LMMY (Liga mahasiswa Muslim Yogyakarta) serta di Semarang terbentuk FKMIS (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Semarang). Forum ini bergerak secara massif dan akhirnya mampu menekan pemerintah untuk membubarkan SDSB pada tanggal 25 November 1993. Dan pada periode ini hubungan antara HMI dan FOSI semakin merenggang dan akhirnya semakin jauh dan mengambil jalan masing-masing.


Pada masa Failasuf Badaruddin (1993-1994) gerakan HMI mencoba untuk menyatu dengan ummat. Maka pada periode tersebut HMI mempunyai TPA (Taman Pendidikan AlQur’an) binaan di Karanganyar. Hal ini sebagai wujud komitmen HMI untuk senantiasa menyatu dengan ummat dan berupaya untuk memberikan sumbangsih perubahan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, HMI juga menyediakan tenaga-tenaga Khotib Jum’at yang siap ditempatkan dimanapun tanpa embel-embel apapun. Strategi ini diambil sebagai bentuk keprihatian terhadap nuansa Semarang yang semakin sesak akan kepulan asap cerobong industri, serta gerigi-gerigi roda pabrik yang semakin mencekik dan mengalienasikan masyarakatnya dari nilai-nilai relegiusitas. Pada masa selanjutnya yaitu Edy Darmoyo (1994-1995) dan Duta Grafika (1995-1996) serta Arief Pramudya (1996-1997) cukup stabil dari sisi keorganisasian. Kampus IAIN dan UNDIP menjadi basis kader HMI. Upaya yang senantiasa di lakukan antara lain menjada tradisi intelektualitas kader HMI tanpa mengesampingkan


Periode yang cukup getol penguatan sisi eksternal antara lain periode mas Fauzan Rosyidi (periode 1997-1998). Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kondisi kebangsaan yang sedang berjalan (baca; Reformasi). Bahkan pada periode ini menitik beratkan pada suatu gerakan “Mosque Simbolizing Movement”. Suatu upaya untuk melakukan penyadaran keummatan melalui sarana masjid. Hal ini dalam rangka turut serta mendorong dan “mengobarkan” semangat reformasi yang mulai semakin berkecamuk. Selain itu, untuk turut mendorong agar kader sedikit “melek” politik, serta upaya untuk memunculkan wadah gerakan “bayangan” maka dibentuklah FUMIS ( Forum Mahasiswa Islam). Walaupun pada akhirnya forum ini tidak bisa berjalan dengan baik, karena beberapa kendala yang melingkupinya, tetapi FUMIS ini menjadi salah satu ikon gerakan mahasiswa Islam di Semarang yang turut “mendorong” serta “menyulut” api reformasi. Selain itu untuk kembali menegaskan “jihad fi sabilillah”, maka pada periode ini mengambil touch”Budaya Creatif Minority”. Salah satu hasil daya daya kreatifitas periode ini adalah desain ”The Expansive Of Survival”. Yaitu upaya untuk tetap survival dengan cara pelebaran sayap HMI di beberapa kampus yang belum terjamah. Salah satunya adalah rekayasa di IKIP PGRI Semarang. Pada periode ini telah terbentuk komisariat persiapan, yaitu Komisariat Lontar yang awalnya masih “nginduk” pada Komisariat Pleburan Undip Semarang.


Dengan kondisi yang semakin memanas dan memuncaknya “api” reformasi, maka pada periode selanjutnya (baca;Candra Sosiawan, 1998-1999) kembali menegaskan diri pada suatu gerakan yang mengawali pengobaran api reformasi. Dengan mengonsolidasikan gerakan yang tertata rapi dengan berbagai elemen kampus dan ormas Islam, maka munculah HMI cabang Semarang sebagai pioner munculnya perubahan melalui gerbang reformasi. Kasus pengeboman masjid Istiqlal jakarta menjadi salah satu pemicu terhadap penyatuan visi kepada para elemen Islam di Semarang. Selain dinamika eksternal tersebut, secara internal telah muncul dua komisariat baru yang sama-sama berasal dari IKIP PGRI Semarang, yaitu komisariat FPBS dan FPMIPA. Selain itu, muncul juga komisariat persiapan IKIP Semarang (yang sekarang telah berubah menjadi UNNES, Universitas Negeri Semarang) dan STIMIK-AKI (sekarang berubah menjadi UNAKI (Universitas Aki). Hal ini muncul sebagai sebuah konsekuensi dari keberhasilan HMI dalam menggelorakan perjuangannya. Hampir sama fenomenanya ketika HMI ingin dilenyapkan oleh komponen yang tidak sepakat (PKI dan Underbouw-nya) pada tahun 1965 dan HMI mampu membuktikan idealismenya serta manifestasi perjuangannya, maka mahasiswa berduyun-duyun ingin menjadi anggota HMI (tercatat pada tahun 1965 karena begitu banyaknya mahasiswa yang menginginkan menjadi anggota HMI maka Stadiun Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta menjadi saksi pelaksanaan penerimaan anggota baru HMI). Dengan demikian, terbukti bahwa HMI semakin ditekan ia bagai fenomena hukum Archimides. Semakin ditekan kebawah maka ia akan memberi perlawanan sebesar tekanan tersebut keatas atau bahkan lebih besar. Hal ini terpancar dari kekuatan idealisme serta keyakinan akan perjuangan ini.


Perjuanganpun dilanjutkan pada periode Shofa Muthohar (periode 1999-2000). Bentuk, karakter perjuangan pada periode ini cukup diwarnai pada dinamika politik kebangsaan pasca tumbangnya rezim diktator, Orde Baru. Ketika reformasi telah berhasil digulirkan, dan seluruh bangsa ini telah “resmi” memasuki masa transisi, maka menjadi sebuah keniscayaan untuk melakukan gerakan yang sifatnya mendidik serta upaya penyadaran kemasyarakat akan nilai-nilai perubahan, demokratisasi. Maka untuk mewujudkan gagasan besar itu, pada periode ini semakin menjamurnya lembaga-lembaga kekaryaan yang berfungsi untuk melatih dan menajamkan ide-ide kreatif kader yang sifatnya praksis-profesional. Mulai dari lembaga kekaryaan, yaitu LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam), LDMI (Lembaga Da’wah Mahasiswa Islam), LAPELMI (Lembaga Penelitian mahasiswa Islam) sampai dengan KOPMI (Koperasi Mahasiswa Islam). Dan lembaga Khususnya yaitu KPC (Korps Pengader Cabang). Selain itu, pada periode ini kembali menegaskan diri sebagai organisasi yang mempunyai bentuk kepedulian terhadap kondisi ke-Semarang-an melalui serangkaian kegiatan ditengah-tengah masyarakat.


Beberapa periode lain yang mempunyai pilihan action eksternal cukup tinggi yaitu masa periode Akhmad Supari (Periode 2000-2001). Latar belakang aktivitas keorganisasian para punggawa kepengurusan turut memberikan andil, “sumbangsih” terhadap pola yang terapkan ketika berada di HMI. Misalkan keterlibatannya dalam organisasi internal kampus atau organisasi yang lain sering membuat pilihan-pilihan aktivitas pada masa di HMI tidak jauh dari hal hal tersebut. Pada masa tersebut, perjuangan HMI ketika melihat persoalan kerakyatan kelihatan “kentara” sekali. Mulai dari aksi “Hapus Perjudian di Kota Semarang” (di Semarang terkenal bandar judi , yaitu A-Seng), “Tolak Kemaksiatan” (di Simpang lima yang terkenal dengan teh POCI) sampai dengan aksi penggalangan aliansi masyarakat anti kemaksiatan (KUAK) atau lebih dikenal dengan Koalisi Ummat Anti Kemaksiatan. Hal tersebut tentu melibatkan organisasi internal ataupun eksternal yang concern terhadap persoalan kerakyatan tersebut. Tentu saja pilihan tersebut mempunyai dampak yang luar biasa, baik secara internal ataupun eksternal. Secara internal semakin memberikan “angin segar” akan arti sebuah perjuangan, secara eksternal HMI semakin ditahbiskan sebagai organisasi yang berada di avant gard ( garda depan) dalam pemberantasan kemaksiatan, baik oleh masyarakat secara umum atau elemen Islam yang ada di Semarang. Pilihan tersebut kadang masih diterima oleh masyarakat dengan perlawanan juga. Pernah terjadi, ketika Semarang dilanda isu bahwa HMI akan melakukan aksi “TUTUP PERJUDIAN !”, maka sebagian masyarakat yang berjumlah kira-kira ratusan sudah siap “Menyambut” aksi tersebut di simpang lima dan Air Muncrat. Akhirnya aksi tersebut di tunda sebagai strategi untuk menghimpun tenaga lebih besar lagi.


Pada periode selanjutnya, yaitu ; Singgih Prabowo (periode 2001-2002) lebih menitikberatkan pada pembangunan jaringan kampus serta upaya untuk menguatkan desain organisasi. Pada periode ini, ada pengembangan sayap gerakan di berbagai kampus, misalkan di UNDARIS, Ungaran serta di UNTAG Semarang. Tetapi karena pendampingan yang belum maksimal, rencana tersebut akhirnya hanya menjadi perjalanan setengah hati. Akhirnya pada periode tersebut lebih menitikberatkan pada pengembalian gerakan HMI di institusi kantong (baca; Organisasi Intra Kampus).


Periode Sri Handoko (2002-2003) serta dorongan wacana, pemikiran yang cukup menguat di HMI yaitu Revolusi Sistemik, maka aktivitas di HMI lebih ditekankan pada proses sosialisasi ide, gagasan HMI ke masyarakat ataupun ke elemen-elemen pergerakan yang lain. Pada masa itu, gagasan Revolusi Sistemik mendapatkan sambutan yang cukup hangat dari berbagai komponen masyarakat mengingat “kegagalan Reformasi” yang berjalan setengah hati atau bahkan hanya di jadikan forum konsolidasi “status Quo” untuk mendapatkan kekuasaannya kembali dengan strategi yang berbeda. Menyadari HMI tidak mungkin berjalan sendiri, maka diperlukan suatu produk konsolidasi dengan seluruh komponen yang se-ide dengan HMI. Maka terbentuklah Sek-Ber PRODEM (Pro Demokrasi) yaitu terdiri dari kelompok-kelompok gerakan di Semarang yang concern dengan isu-isu kelokalan. Antara lain LMND, PRD, KAMD (Sekarang SMI), dan organisasi intra kampus. Selain itu HMI juga membidani lahirnya FSUI (Forum Silaturahmi Umat Islam) di Semarang, serta FSR Jateng (Forum Solidaritas Rakyat) Jateng. Selain itu juga terbentuk aliansi-aliansi taktis dengan kelompok pergerakan ataupun elemen kerakyatan misalkan aliansi turunkan harga dsb. Dan yang cukup menjadi catatan pada periode ini adalah dimulainya sosialisasi “GOLPUT”. Suatu strategi untuk memberikan pensikapan atas tindakan, sikap para birokrat pemerintah, penguasa yang sama sekali tidak memperhatikan dan memperjuangkan rakyat. GOLPUT sebagai sebuah cara untuk memberikan pandangan bahwa rakyat sudah muak dengan segala tetek bengek ellit penguasa yang sama sekali tidak pro-rakyat dan diyakini bahwa GOLPUT adalah salah satu jalan menuju Revolusi Sistemik. Dan pada masa ini HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai penyelenggara Kongres HMI ke 24 pada bulan September 2003.


Masa perjuangan selanjutnya adalah penegasan sikap HMI terhadap sistem kenegaraan yang semakin tidak menentu. Hermansyah ( periode 2003-2004) memberikan garis jelas terhadap visi kepemimpinannya “Penguatan Peran HMI Menuju Perubahan Sistem Keindonesiaan”. Periode ini menitikberatkan pada study kritis kebangsaan serta upaya untuk menyediakan jalan terang. Kondisi perkaderan secara internal kurang ebrjalan dengan baik. Beberapa komisariat (Komisariat Ushuluddin dan Da’wah) semakin “kurus” dan diperlukan upaya strategis untuk “menjaganya”, kalau tidak “menggemukkannnya” agar bisa tetap hidup. Di sisi lain ada ghiroh yang luar biasa dari beberapa komisariat baru untuk beraktivitas (baca ; Kom. FPMIPA dan FPBS IKIP PGRI Semarang). Masa perjuangan pada periode ini semakin berjalan dan terlepas dari berbagai kekurangannya, HMI Cabang Semarang telah berjuang sekuat tenaga untuk senantiasa amanah terhadap hasil konferensi. Walaupun pada akhirnya masa kepemimpinannya dinilai kurang berhasil, tetapi telah memberikan yang terbaik buat HMI. Pada akhir periode ini, sekretariat HMI yang semula ada di Jl. Halmahera IV/36 harus segera pindah, karena masa kontrak telah habis. Wisma perjuangan tersebut sekarang telah dijadikan suatu unit usaha serta kembali ditempati pemiliknya.


Melihat kondisi internal HMI yang semakin berkurang ghirroh perjuangan kadernya, maka pada periode Imam Riyadi (2004-2005), perjuangan HMI lebih dititik beratkan pada pembangunan kesadaran ber-HMI bagi kader serta upaya untuk mengkonsolidasikan gerakan himpunan sebagai gerakan yang eksis. Perpindahan sekretariat turut menjadi semangat baru dalam berkarya. Yang semula berada di Jl. Halmahera IV/36 sekarang pindah ke Jl. Kenconowungu III/IA-Karangayu, Semarang Barat. Pada periode ini dibangun kembali spirit dalam ber-HMI serta bagaimana eharusnya ber-HMI. Maka kegiatan yang sering dilakukan adalah turba/turun ke bawah (memang tidak ada istilah turun keatas) menggali data ke komisariat serta upaya untuk meneguhkan kembali ber-HMI. Suatu hal yang senantiasa menjadi catatan pada periode ini adalah pada masa akhir kepengurusan, Konferensi cabang diselenggarakan di sekretariat sebuah partai Politik (baca; DPW PPP, Jalan Ngaliyan – Mangkang). Tentu saja hal ini menjadi sorotan bukan hanya publik HMI saja, tetapi juga alumni dan elemen pergerakan yang lain. Tetapi akhirnya penjelasan cabang terkait dengan tempat penyelenggarakan Konferensi dapat diterima seluruh kader walaupun harus memakan waktu yang cukup lama. Intinya bahwa tidak ada kompensasi politis atau akomodasi politik antara cabang dengan partai tertentu, dan pilihan tersebut lebih disebabkan karena persoalan finansial. Tentu saja HMI Cabang Semarang tetap bersikukuh dengan sifat Independensinya.


Widayat Saputro yang diamanahi sebagai Ketua Umum HMI Cabang Semarang periode 2005-2006 meneguhkan visi gerakannya dengan “Penguatan Gerakan Intelektual Menuju Peradaban Tauhid”. Sebuah upaya untuk menanamkan pada diri kader bahwa HMI merupakan Gerakan Intelektual yang tentu saja menitik beratkan bukan hanya pada sisi reaktif-reaksionernya saja, tetapi dibutuhkan paradigma filosofis yang membingkainya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu titik tekan masa perjuangan periode tersebut sehingga HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan senantiasa menjaga tradisi kesinambungan serta upaya untuk menjaga stabilitas himpunan yang tidak terjebak pada suatu periode kepemimpinan. Pada masa ini HMI Cabang Semarang mengkonsolidasikan seluruh elemen Islam di Semarang dalam mensikapi Pornografi dan pornoaksi. Elemen yang terlibat antara lain PII, IMM, IRM, NU, Muhammadiyyah, HTI, Gema Pembebasan, Aisyiyah, KAMMI dan remaja masjid untuk bersatu padu dalam common platform “APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Selain itu, pada periode ini terbentuklah suatu komisariat baru yaitu Komisariat AKP WIDYA BUANA, Semarang yang kebetulan Direkturnya adalah Alumni HMI.


Periode selanjutnya diamanahkan pada Muhammad ( 2006-2007). Kondisi serta situasi yang berbeda tentu saja membutuhkan pensikapan yang berbeda pula. Tipologi masyarakat yang semakin terbuka mengharuskan HMI untuk mampu memformulasikan strategi tersendiri untuk memformulasikan ide, gagasan HMI di masyarakat. Penguatan Jaringan Keummatan dalam Mentransformasikan Peradaban Berkearifan menjadi visi kepemimpinan selama satu periode. Upaya untuk membangun Jaringan yang dirasa sampai saat ini masih perlu dikuatkan menjadi titik tekan tersendiri pada periode ini. Pada periode ini HMI Cabang Semarang bersama-sama elemen pergerakan Mahasiswa antara lain LSM KP2KKN, LBH Semarang, PATTIRO, BEM UNDIP, UNISSULA membentuk aliansi taktis yaitu GEMPUR (Gerakan Masyarakat Peduli Uang Rakyat). Sebuah aliansi untuk mensikapi terbitnya PP. 37 tahun 2006 tentang protokoler pimpinan DPRD dan anggota DPRD yang sarat akan nilai-nilai korupsi (korupsi yang dilegalkan). Dan akhirnya desakan dari masyarakat mampu menyurutkan langkah eksekutif untuk memberlakukannya yang akhirnya sampai saat ini masih dalam tahap perevisian.


  1. Relasi antara HMI dan Kekuasaan

Satu ciri yang kental bagi HMI MPO sampai saat ini adalah menjadikan HMI senantiasa Independent dan jauh dari kooptasi pemerintah, intrik-intrik politis yang jauh dari nilai religiusitas. Sehingga tidak heran ketika menjadi aktivis Hmi senantiasa menempatkan pemerintah sebagai kelompok masyarakat yang senantiasa dikawal setiap kebijakannya. Hmi memposisikan sebagai keuatan intelektual (Intelektual Movement), sebagai pressing Group (Group penekan) serta Moral Force (kekuatan Moral) yang berada digarda terdepan (Avant Gard) dalam berjuang.


Pilihan HMI yang berbeda dengan HMP (Himpunan Mahasiswa Pancasila; sebutan yang populer ketika terjadi perpecahan) menjadikan HMI harus mampu menjaga jarak dengan instrumen politis dinegeri ini. Terlebih ketika godaan syahwat politik yang semakin kuat menarik arus para kader HMI, maka HMI harus memback-upnya dengan upaya pensikapan yang jelas. Konsekuensi logis dari semua itu adalah bagaimana membangun integritas kader agar mampu survival dari setiap pergolakan zaman.


Bila ditilik dari kesejarahan HMI setidaknya pilihan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, munculnya HMI (MPO) sebagai kekuatan yang secara tegas dan lugas menolak kebijakan pemerintah yaitu UU No. 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila. Konsekuensi logis dari sikap itu adalah menempatkan HMI vis a vis kepada pemerintah. Sehingga pada masa itu menjadi PNS adalah sebuah hal yang sangat dihindari, apalagi menjadi pejabat publik atau bahkan terlibat dalam dunia politik praktis. Sehingga pernah terjadi penskorsingan keanggotaan salah seorang eks ketua komisariat (Rosyid Ridlo, Eks-Ketum HMI Kom. FPBS IKIP PGRI Smg) yang terlibat dalam partai politik praktis pada pemilu 2004.


Kedua, sebagai bentuk perlawanan yang termanifestasikan dari sikap serta integritas kader melalui proses kaderisasi di HMI. Bagaimanapun juga sikap HMI yang senantiasa berjuang dengan kegigihan, nilai tauhid yang tinggi serta proses ideologisasi yang kuat telah melahirkan kader-kader yang mampu bersikap dan bertindak secara mandiri tanpa ada tekanan dari manapun. Pilihan untuk tetap berasas Islam adalah sebuah pilihan yang “berani”. Karena yang dihadapi bukan lagi hanya HMP tetapi adalah penguasa yang lagi jaya-jayanya menancapkan kuku rezimnya yang otoriter.


HMI SEKARANG DAN MASA DEPAN

  1. Relasi Kader dan Alumni Himpunan

Bagi HMI keberadaan alumni menjadi salah satu resources yang sangat vital. Sumber daya baik yang sifatnya transfer intelektual ataupun yang sifatnya material. Ketika HMI lahir dan tentu saja ini merupakan konsekuensi logis dari sifat Independensi organisasi. Untuk itulah perlu dijadikan suatu jalinan komunikasi yang intensif agar kehadiran HMI senantiasa dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.


KAHMI yang notabenenya merupakan wadah korps alumni HMI menjadi semakin dangkal untuk menerima seluruh kader HMI. Kecenderungan tekanan alumni kepada HMI (MPO) menjadi semakin mengalienasikan kader dengan para kanda/yundanya. Bahkan KAHMI seolah-oleh tidak merestui keberadaan HMI sebagai organisasi Islam secara organisatoris atau secara persol. Hal ini terjadi dengan latar belakang bahwa banyak alumni HMI yang tergabung dalam KAHMI merupakan pejabat struktural di lingkungan pemerintah yang tentu saja merupakan tangan panjang pemerintah. Oleh karena itu membuat HMI (MPO) semakin tersudutkan. Tapi karena semangat perjuangan yang luar biasa, hal tersebut tidak menjadi kendala yang sangat berarti. Sehingga alumni HMI lebih memilih tidak terlibat dalam dinamika KAHMI.


Untuk mewadahi para alumni HMI MPO maka pada tahun 2006 terbentuklah forum silaturrahmi alumni. Walaupun begitu masih terkesan kurang “menggigit” dikarenakan kesibukan secara persolan para alumni. Tetapi kita meyakini bahwa jalinan erat yang telah terbangun semasa di Hmi tidak akan mudah untuk dilepaskan atau dikendorkan.


  1. Mimpi rekonsiliasi menuju “HMI” Satu

Isu rekonsiliasi selalu menjadi bahan perbincangan yang hangat dikalangan kader HMP. Bahkan selalu markateble dalam forum kongres untuk mensukseskan kandidat menjadi ketua umum. hal tersebut tentu menjadi kecenderungan disetiap kader bahkan buka hanya kader tetapi dunai pergerakan Islam secara keseluruhan. Bahkan para alumni senantiasa “menyarankan” rekonsiliasi terjadi antara HMI dan HMP.

Tapi karena kristalisasi yang semakin mengeras serta bukan hanya alasan politis saja yang melatarbelakangi perpecahan tersebut. Tepai juga lebih bersifat idiologis tentu saja tidak mudah untuk mempersatukan sesuatu yang sifatnya fundamen. Bahkan sangat terbuka sekali penyatuan HMI tersebut akan semakin memperkeruh suasana karena kultur yang semakin berbeda. Menyatukan dua organisasi yang perbedaan keduanya bukan hanya karena persoalan politis saja, tetapi karena alasan ideologis sangat terbuka sekali hanya memindah konflik di meja-meja kongres, forum pengambilan keputusan dan akhirnya akan semakin menyita energi sedangkan misi untuk keummatan semakin terbengkelai.

BIBLIOGRAFI

    1. Rizqi, Awalil, Dinamika Sejarah HMI, HMI Badko Inbagteng, 1990, Yogyakarta.

    2. Soe Hok Gie, 2003; Di Bawah Lentera Merah, Bentang, Yogyakarta.

    3. Sitompul, Agus Salim, 1994, Sejarah HMI, LP3M, Yogyakarta

    4. Sitompul, Agus Salim, 2001, HMI Mengabdi Ummat dan …..Negara, LP3M, Yogyakarta

    5. Seputar Semarang, hal. 10, Edisi 30 Januari – 5 Februari 2007

    6. Bulletin Kritis, Hal 8, Edisi 39/Oktober 2006, LBH Semarang

    7. Karim, Rusli ; 1990; HMI MPO, Bentang, Jakarta

    8. Tanja, Victor ; 1989 ; HMI, Tiga Serangkai, Jakarta

    9. Al Mandary, Syafinuddin ; 2002, HMI dan Wacana Sosial, Hijau Hitam, Jakarta


TIM SIMPOSIUM SEJARAH HMI CABANG Semarang

  1. Ukht. Umami ( Ketua TIM ), seorang akhwat kelahiran Batang ( 13 Desember 1983) yang masih tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo, Semarang. Hobby makan yang serba pedas dan nggak terlalu panas. Biasanya terkesan “galak” dan “serem” kata para kader, tetapi sebenarnya baik dan tidak sombong. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai Sekretaris Umum periode 2006 – 2007 M.

  1. Aa'. Muammar Taufiq (Sekretaris TIM), Ikhwan “gagah” dan kadang-kadang terkesan flamboyan dengan selera humor tinggi ya agak lucu. Lahir di Kota Sweeke Purwodadi, 11 Februari 1986 dan masih Tercatat sebagai mahasiswa di IKIP PGRI Semarang Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Pernah di amanahi sebagai ketua Umum Komisariat FPBS periode 2005-2006 M. sekarang diamanahi sebagai staff Bidang PPO di HMI Cabang Semarang.

  1. Ukht. Haryanti ( Tim Interview ), Lahir di Grobogan 1 Juli 1985. Akhwat yang kadang-kadang terkesan “sok Yee” ini (dalam artian positif) merupakan fenomena akhwat tangguh. Masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan P. Biologi / FPMIPA IKIP PGRI Semarang. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai staff bidang PIK (Pengembangan Intelektual dan Kebudayaan).

  1. Akh. Muhammad ( TIM investigasi Dokumen dan Interview ), lahir di kota kecil sisi timur Provinsi Jawa Tengah yaitu Kota Pati, 9 April 1983. Menghabiskan masa kecilnya dalam asuhan nuansa kearifan. Tercatat sebagai mahasiswa Jurusan P. Biologi/FPMIPA IKIP PGRI Semarang. Pernah diamanahi sebagai ketua komisariat FPMIPA periode 2004-2005 dan sekarang di cabang Semarang diamanahi sebagai Ketua Umum periode 2006-2007 M....

  1. Mas Agus Thohir ( TIM Investigasi Dokumen dan Interview ). Ikhwan dengan rambut gaya gondrong abis anak gaul sekarang, yang lagi memperdalam tentang arkeolog, ideologi dan tokoh pergerakan. Ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN WS. Lahir di Purwodadi_city, 20 Januari 1986. Sampai sekarang masih tercatat sebagai aktivis Pers Amanat, Surat Kabar Kampus, pernah menjabat sebagai Ketua HMI Komisariat Tarbiyah IAIN WS Periode 2005-2006 dan lagi merintis kelembagaan sekaligus komunitas lingkar studi alternatif semarang. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai Staff Bidang JKU (Jaringan Komunikasi Umat) tapi tetap aja banyak mikirnya untuk bidang yang lain....

  1. Ukht. Tri Yuliana (TIM Investigasi dokumen). Akhwat dengan hobby naik sepeda ini sering terlihat sibuk mondar-mandir dari satu komisariat ke komisariat yang lain. Maklum, di Cabang Semarang ia diamanahi sebagai Ketua Bidang PPO (Pembinaan dan Pengembangan Organisasi). Ia Lahir di Kota Brambang, Yaitu Brebes, 24 Juli 1985. masih tercacat sebagai mahasiswa Jurusan P. Fisika/FPMIPA IKIP PGRI Semarang dan pernah diamanahi sebagai kabid Perkaderan Komisariat FPMIPA periode 2005/2006.

  1. Muh. Zaed “Al Farisy” ( TIM Interview). Ikhwan lincah dalam bermanuver ini lahir di kota Sweeke, Purwodadi, 9 April 1985. karena bakat kelincahannya inilah HMI Cabang Semarang memberikan amanah kepadanya sebagai Staff JKU. Sebuah bidang yang mempunyai fungsi dan tugas untuk membangun jaringan dalam upaya mentransformasikan ide, gagasan HMI. Di organisasi intra ia menduduki jabatan legislatif mahasiswa. Sampai sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi/FPMIPA IKIP PGRI Semarang.

1 Di sampaikan dalam agenda SIMPOSIUM SEJARAH HMI oleh Badko INBAGTENG, Yogyakarta, 8 – 11 Februari 2007.

2 sebuah tim yang dibentuk untuk merumuskan sejarah HMI di Semarang

Tidak ada komentar: