SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Jumat, 25 April 2008

Khittah HMI : Intepretasi Makna Sebagai Landasan Visi

Berorganisaisi adalah kodrat alamiah manusia yang pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial, ia tidak akan mampu hidup tanpa manusia lainnya yang ada disekitarnya. Manusia sendiri memerlukan komunitas untuk berinteraksi guna memenuhi hidupnya. Serta manusia sebagai mahluk individual yang memiliki dua misi di dunia yaitu misi dimensi vertikal berupa ketundukan kepada sang khalik dan misi dimensi horisontal berupa hubungan antara manusia dan alam lingkungan. Dimensi horisontAllah yang mencerminkan di mana manusia menjadi kontrol sosial bagi dirinya dengan lingkungan masyarakatnya. Maka manusia berperan dalam sebuah gerakan yang di sebut organisasi, karena merupakan wadah untuk menyelaraskan dan mengseimbangankan (equilibrium) misi berjuang atau jihad untuk memakmurkan dunia.
Dari misi dimensi horisontal itulah, organisasi di perlukan sebagai perwujudan kebersamaan untuk melakukan perubahan sosial (social of change). Tidak heran jika terbentuk berbagai macam-macam komunitas ataupun organisasi. Akan tetapi yang di perlukan bukanlah perbedaan itu, namun bagaimana organisasi itu berperan sesuai visi yang berlaku. Dalam berorganisasi kita di temui berbagai macam karakter elemen gerakan dan karakter individual manusia. Kekuatan suatu organisasi terletak pada kerjasama, bukan perbedaan untuk satu kepentingan atau kepuasan individual, tetapi kerjasama itulah wujud keberadaan dari organisasi yang didalamnya terdapat bermacam manusia (multicultural) dimana mereka membutuhkan hidup berkelompok bermasyarakat bergotong royong sesuai dengan tingkat kebudayaan dan peradaban manusia itu sendiri. Dengan adanya kerjasama yang teratur maka tujuan akan mudah dicapai. kebutuhanpun akan terpenuhi sehingga dapat melaksanakan pekerjaan berdayaguna dan menghasil guna.
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mempunyai tujuan untuk mencetak atau membina kader-kader organisasi sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dalam AD/ART serta pedoman-pedoman organisasi yang tercakup dalam konstitusi. Hal ini dirumuskan dan diaktualisasikan dalam aktifitasnya dan merupakan konskwensi logis dari perkaderan dan perjuangan yang bertumpu pada diri kader.
Kader merupakan elemen yang sadar dan aktif sehingga merupakan tonggak / tulang punggung organisasi yang kelak menjadi pioner perubahan dalam masyarakat dan ummat. Untuk mewujudkan semua itu diperlukan pembinaan kader/ anggota dengan harapan setiap anggota HMI mempunyai kesadaran berideoligi (sense of ideology) dan kesadaran berorganisasi (sense of organization). Kesadaran organisasi dapat tercapai apabila ditopang oleh tiga unsur yaitu
1. Kesadaran mencapai tujuan bersama (common purpose) dengan prinsip gotong-royong
2. Kesadaran akan adanya kesatuan visi kepemimpinan (unity of commond) yang berarti kepatuhan kepada pemimpin (diziplin organization)
3. Saling mempercayai. Percaya mempercayai dalam artian positif dan dinamis yakni saling mengontrol satu sama lain dan tidak bersifat acuh tak-acuh.
Dari keberlangsungan komunikasi kebersamaan dalam visi kepemimpinan maka dibutuhkan landasan pijakan (konsepsi aktifitas) berorganisasi dan tujuan organisasi. Dimana konsep tersebut memberi visualisasi semangat ideoligis pada diri kader sehingga dapat menjawab kebutuhan tentang pentingnya immunitas pada setiap kader dalam mencapai cita-cita perjuangannya. Ini merupakan konsepsi bangunan ideologi pada diri kader dalam memberi penjelasan tentang paradigma HMI mengenai kesemestaan dan keesistensian yang wajib diakui. Dengan memperjuangkan kebenaran untuk mencapai jalan hidup yaitu cita-cita yang diejawantahkan dalam berorganisasi.
Khittah perjuangan Himpunan Mahasiswa Islam merupakan sebagai dokumen dan landasan gerak organisasi yang secara integral mencakup penjelasan utuh tentang pilihan ideologis yaitu prinsip-prinsip penting dan nilai-nilai yang dianut oleh HMI sebagai tafsir asas, tujuan, usaha dan independensi HMI.
Sebagai paradigma gerakan khittah sendiri merupakan intepretasi yang menjelaskan muatan kesatuan antara landasan, tujuan dan metodologi dalam pencapaian tujuan organisasi. Didalamnya juga menjabarkan konsepsi filosofis azaz yang menjelaskan keyakinan HMI tentang Ketuhanan, Kesemestaan, Kemanusiaan dan Kemasyarakatan. Keyakinan tersebut merupakan akar dari segenap perbuatan manusia sebagai insan kamil yang mana tertuang dalam prinsip tauhid dan dipahami secara holistik bukan sekedar dogmatis melainkan kesadaran yang murni yang transenden.
Khittah merupakan tafsir tujuan HMI dan dijabarkan dalam konsep dan hakekat perkaderan sebagai upaya sistematisasi nilai cita yaitu menuju individu ulil albab dan masyarakat Islam yang dicita-citakan akan melahirkan interaksi dan hubungan sosial yang adil.
Dalam kerangka konseptual khittah khususnya di tujuan memberikan gambaran atas pijakan bahwa dalam bangunan epistemologi keilmuan sudah menjadi sandaran dalam mengetahui tentang realitas kebenaran. Pada tujuan jamaah HMI yang tertulis dan berbunyi “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan ulil albab yang bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi ole Allah subhanahu wata’ala”
Dari sisi ini ada beberapa karakteristik diantaranya yaitu :
1. Hanya takut kepada Allah
2. Tekun beribadah tiap waktu
3. Bersungguh-sungguh mencari ilmu
4. Mampu mengambil hikmah atas anugrah Allah
5. Selalu bertafakur atas ciptaan Allah yang ada dilangit dan di bumi
6. Mengambil pelajaran dari sejarah dan kitab-kitab yang diwahyukan oleh Allah
7. Kritis mencermati berbagai pendapat, mampu memilih yang benar dan terbaik
8. Tegas dalam mengambil sikap dan pemihakan atas pilihannya
9. Tidak terpesona atas pandangan mayoritas yang menyesatkan
10. Dakwah dengan sungguh-sungguh ke masyarakat dan bersedia menanggung segala resikonya

Dari beberapa yang termaktub dalam khittah bukan sekedar dipahami sebagai referensi tapi bagaimana esensi dan subtansi atas kesemestaan, manusia sendiri sebagai khalifah dengan kemampuannya maka seharusnyalah ia mampu memahami semesta dan mengerti atas penciptaan. Inilah yang coba dibangun dalam konsep keberadaan rumusan ke-jamaah-an, yang tidak menafikkan kreatifitas individu.
Dengan semangat juang tinggi yang timbul dari individu-individu (kader) dan dukungan dari lingkungan (Jamaah) maka konskwensi terciptanya kondusifitas lingkungan atas perubahan dapat terjadi bahkan tercapai. Kemampuan akan perubahan tersebut harus dijadikan arah gerakan jamaah menuju terciptanya masyarakat yang telah dicita-citakan yaitu masyarakat “baldatun thayibatun warabbun ghafur”.
Untuk mencapai masyarakat cita diperlukan penopang yang kokoh diantaranya internalisasi nilai-nilai perjuangan dan proses perkaderan. Yaitu usaha dari kedirian entitas atas usaha dalam bentuk ikhtiar baik individu ataupun jamai dalam memperjuangkan perubahan kearah perbaikan. Inilah pijakan dasar yang harus dipahami bersama dalam menentukan hasil dari proses perkaderan dan perjuangan di HMI.
Peran ini dikembalikan pada masing-masing kader “seberapa besar apa yang dicurahkan maka sebesar itulah yang akan anda dapatkan” dengan benturan diri dengan masyarakat akan membentuk karakter ribadi kita. Posisi ini juga menentukan kualitas kekhalifahan manusia dalam kehidupan didunia dalam memaknai usaha berjihad. Karena berjihad bukan saja dimaknai perlawanan terhadap yang bathil tetapi lebih yaitu kita sebagai diri manusia harusnya melakukan perlawanan terhadap hawa nafsu yang membelenggu kita pada arah kenistaan.
Keyakinan atas bangunan mindset (niat tujuan) untuk beramar ma’ruf bukan sekedar simbolisasi ketundukan atau kepatuhan namun pemahaman yang kita miliki atas rasa syukur dan kecukupan dengan dibarengi usaha yang riil atas usaha memanifestasikan nilai-nilai Islam keranah publik dalam bentuk kesalihan pribadi dan kesalihan sosial itu yang menjadi penentu sikap. Sikap ini dengan sendirinya mampu menjadi maksimalisasi perjuangan yang dibarengi manajerial ikhtiar yang kontinue.
Semua itu adalah keniscayaan ikhtiar dalam membentuk pribadi kaum mu’min diantaranya misi diri yang kuat dan siap tempur, diantaranya dengan standar peran yang dimiliki diantaranya yaitu :
Ø Muabbid menjadi insan yang tekun beribadah mulai dari ibadah yang terkait pada dirinya maupun terkait dngan lingkungannya. (terbentuk karena visi)
Ø Mujahid memiliki semangat juang yang tinggi sehingga ia memiliki pemahaman dan kemampuan berjihad dalam garis agama (kualitas spiritual dalam perjuangan)
Ø Mujtahid memiliki kemampuan berijtihad sehingga segala tindakannya didasarkan pada pilihan sadar dari dalam dirinya.( internalisasi nilai perjuangan)
Ø Mujadid memiliki kemampuan dalam melakukan pembaharuan di lingkungan sekitarnya. (untuk mewujudkan nilai tauhid dan keadilan sosial dengan menjadi agen social of change)

Pencapaian dari tahapan peran ini bukanlah mustahil untuk dibentuk dan diwujudkan apalagi menjadi pribadi yang siap tempur dan tidak tergoyahkan dalam menjalani hidup. Tidak ada satupun insan yang berani menjamin bagaimana mencapai kualiatas diri kecuali dimulai dari “change your thinking” dengan proses pembentukan kualitas diri menghadapi masalah-masalah yang melingkupi kita. Mulailah dari hal-hal kecil dan pembiasaan inilah nantinya akan menjadikan kita lebih, karena bila kita mau menjadi besar haruslah menyelesaikan hal-hal yang kecil dan jangan pernah membuat kecil masalah.
Dari kebiasaan yang kita jalani dan berpegang pada ikhtiar yang kita lakukan kita sebagai manusia “ khalifah” diciptakan dalam keadaan suci sesuai dengan fitrahnya maka kita harus memperjuangkan kemerdekaan diri dengan berproses pada optimalisasi diri baik dari fungsi dan peran kita sebagai khalifah dan Abduh. Kelak kita akan dimintai peranggungjawaban atas segala yang kita lakukan dan itu menjadi konskwensi logis atas pilihan yang kita lakukan. Hidup adalah pilihan dan dunia dalah sesaat, dengan dibekali indra, akal dan hati manusia berhak menentukan pilihannya. Dengan usaha mencari dan memperoleh pengetahuan dan petunjuk keselamatan yang ada kita dapat memilah dan memilih dan semua adalah resiko yang kita hadapi baik itu resiko pengorbanan dan penderiataan, tapi itulah isyarat kesemestaan yang ditawarkan kepada kita semua sebagai manusia. Allah tidak akan menguji atau memberi cobaan yang melebihi kapasitas yang dimiliki hambanya sehingga segala resiko dapat di ambil hikmahnya selama kita berproses menuju kesempurnaan abduh.
Konsistensi dan keistiqomahan atas perjuangan kita didunia dalam melawan ketidak adilan adalah realitas yang harus dihadapi, dengan berpegang teguh pada independensi terhadap semua kebenaran dari Allah. Dengan kritis obyektif dam progresif semata-mata memperjuangkan tanpa mengenal lelah dan melawan semua bentuk penindasan atas ketidak adilan di muka bumi adalah manifestasi kita untuk mencapai dan mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhai oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
makalah ini disampaikan pada acara Up Grading HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI Semarang
pada hari kamis, 13 maret 2008

Semulia-mulianya manusia adalah siapa yang mempunyai adab, merendahkan diri ketika berkedudukan tinggi, memaafkan ketika berdaya membalas dan bersikap adil ketika kuat

Genggamlah masa lalu sebagai saksi yang adil. Keberadaanmu hari ini kan menjadi bukti, kalau kemarin kau telah berbuat kejelekan. Gandakan kebaikan hari ini maka kau kan terpuji. Jangan menunda kebaikan hari ini hingga esok. Boleh jadi hari esok datang kau telah pergi. Hari-harimu bila kau pergunakan kan mendatangkan kebaikan. Hari yang berlalu tak tak kan pernah kembali lagi

Waktu adalah momentum masa. Waktu adalah pintu menuju kesuksesan. Siapa saja yang yang mampu mengisi dan mengambil momentum yang tepat diantara penggalan masa maka ia telah meraih kunci kesuksesan
Hal yang paling penting untuk mencapai suatu kesuksesan adalah memulai pada saat itu juga dimanapun Anda berada
Kerjakan apa yang dapat Anda kerjakan dengan kemampuan yang Anda miliki dimanapun Anda berada

TIPOLOGI PENDIDIKAN SALAH URUS

Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan kita saat ini adalah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, probabilitas untuk menjadi penganggur pun semakin tinggi. Perihal ini melahirkan paradoks: semakin tinggi seseorang berpendidikan maka seharusnya semakin mudah ia mendapat pekerjaan. Benarkah pendidikan kita menghasilkan para pengangguran terdidik? Selama ini memang lembaga pendidikan kita menganut sistem pendidikan warisan Belanda yang menekankan pada kemampuan hafalan. Sehingga yang tertanam pada sumberdaya manusia terdidik orientasinya adalah cepat lulus dengan hasil terbaik. Tapi kurang dibekali kecakapan hidup (life skill) yang memadai, misal kemampuan berkomunikasi dan membangun jaringan (link).
Kasus meningkatnya jumlah sarjana yang menganggur dari 183.629 orang pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2007 ini menjadi permasalahan serius bagi lembaga pendidikan dinegeri ini. Lalu ada apa dibalik semua itu? Apakah kurikulum pendidikan kita yang salah atau kebijakan pemerintah yang tidak sesuai. Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui ada ketidaksesuaian (mismatch) antara lulusan perguruan tinggi dan kualifikasi yang dibutuhkan pasar industri dan jasa di masyarakat yang berakibat sulitnya sarjana mendapat pekerjaan.
Masih banyak penyebab lain, diantaranya pertama, kondisi sistem kampus yang tidak mendukung untuk menciptakan keahlian khusus yang dibutuhkan mahasiswa kelak ketika terjun kemasyarakat. Pada sisi lain Perguruan Tinggi tetap membuka lebar jurusan yang jenuh terutama untuk ilmu sosial, ekonomi, politik, dan hukum.
Kedua, paradigma yang terbagun oleh kebanyakan sarjana kita kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Sehingga mereka tidak berani mengambil pekerjaan yang beresiko (baca: pekerjaan kasar).
Ketiga, minimnya keahlian individu, misal berbahasa asing, kemampuan berkomunikasi, kerja dll. Semua pengalaman tersebut justru tak diperoleh secara formal di bangku sekolah namun sebaliknya didapat dari inisiatif dan kreativitas individu. Individu kreatif cenderung memiliki tingkat keberhasilan tinggi.
Sebenarnya masih banyak problem yang melilit pendidikan bangsa ini, menurut penulis sudah saatnya semua lembaga pendidikan berbenah untuk mengurangi bahkan menghilangkan permasalahan pelik tersebut bagaimanapun caranya.
Bila pendidikan jelas arah maka lulusan perguruan tinggi tidak akan kesulitan kerja bahkan kelak mereka akan sanggup menciptakan lapangan pekerjaan, bukan mengandalkan perusahaan tertentu.
Disamping itu pemerintah juga harus mampu meracik strategi dan kebijakan baru untuk mengatasi bertambahnya pengangguran terdidik. Sudah menjadi kewajiban bersama antara pemerintah, lembaga pendidikan tinggi dan penyedia lapangan pekerjaan untuk mengatasi menganalisa sejauhmana kerlibatan ketiganya dalam mengatasi permasalahan tersebut.
awal februari 2008

radiant thinking

Buntu menemukan solusi? Macet dalam berkreasi? Cobalah mind mapping. Cara sederhana ini telah banyak membantu saya menyelesaikan pekerjaan.
Tony Buzan, pencipta metode mind map ini, terinspirasi oleh komputer di tahun 1971 yang dilengkapi dengan manual pemakaian hingga ribuan lembar. Dia heran, mengapa otak manusia yang jauh lebih hebat tidak disertai manual penggunaan? Maka dia menciptakan alat mind map sebagai cara memaksimalkan kerja otak.
Prinsipnya sederhana, cukup anda ikuti kemana otak berpikir, apa yang terlintas, apa yang teringat, dan tuliskan di atas kertas dalam bentuk coretan yang berkait-kaitan. Coretan tersebut dimulai dari tengah kertas sebagai pusat, kemudian mengembang keluar ke arah tepi kertas. Inilah konsep radiant thinking.
Mind Map berfungsi sebagai alat bantu untuk memudahkan otak bekerja. Manfaat mind map adalah :
• Mempercepat pembelajaran
• Melihat koneksi antar topik yang berbeda
• Membantu ‘brainstorming’
• Memudahkan ide mengalir
• Melihat gambaran besar
• Memudahkan mengingat
• Menyederhanakan struktur
• .. dan lain-lain
Saya sendiri sudah cukup lama memakai mind mapping untuk membantu membuat materi training. Terkadang mid map digunakan sebagai coretan awal semua ide yang terlintas saat mengembangkan sebuah topik. Di saat lain, mind map digunakan untuk mempelajari bahan training yang disiapkan oleh tim lain. Terkadang materi itu begitu banyaknya sehingga kalau kita pelajari slide demi slide maka akan kehilangan benang merah dari awal hingga akhir. Terkadang pula memang materi yang dikaji masih berupa bahan mentah yang tak beraturan, sehingga perlu disusun ulang, dibuang, maupun ditambah, sehingga menjadi kesatuan materi yang mengalir. Di sinilah mid map membantu saya menemukan ide utama materi dan menyusun slide dengan benang merah yang sesuai.
Bila Anda sering mengalami pusing karena banyak masalah yang terlintas di kepala, atau banyak ide yang tiba-tiba muncul, atau apapun yang kalau tidak direkam akan membebani otak bawah sadar Anda, maka mind map ini bisa menjadi alat buat menuangkan semua gagasan, pikiran, maupun sampah di kepala tersebut.
Cara membuat mind map sangat gampang :
1. Mulai dengan topik utama – di tengah
2. tulis sub-topik penting
3. tambah dan hubungkan dengan sub-sub-topik
4. Ulangi langkah 2 dan 3 hingga ‘outline’ lengkap
Sekarang juga sudah banyak software mind mapping. Saya sendiri lebih suka coretan tangan, karena lebih bebas, artistik, dan menghibur (diri sendiri). Hasilnya jelek juga nggak papa, kan mind map ini terutama ditujukan bagi diri sendiri.
Mind Mapping sebenarnya juga bisa digunakan untuk brainstorming, jembatan diskusi, berbagi ide, bahkan mengerjakan proyek bersama. Anda bisa membuat pemecahan bersama-sama rekan dalam tim (semua ngomong, lalu ada yang menulis di selembar kertas besar), juga bisa menggabungkan mind map dari anggota tim (bikin masing-masing lalu digabungkan), bahkan mind map bisa dipakai sebagai slide presentasi tiap anggota untuk berbagi ide kepada orang lain.
Sabtu tanggal 17 Maret lalu, diadakan pelatihan mind map di ITB untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah kuliah maupun non kuliah. Pelatihan selama 2 jam lebih tersebut diikuti dengan antusias, dan langsung dipraktekkan. Satu hal yang menjadi penekanan pada pelatihan tersebut adalah menunjukkan kepada para mahasiswa bahwa kalau kita menggunakan cara yang benar, maka potensi diri ini bisa dimaksimalkan penggunaannya. Salah satu caranya adalah metode sederhana yang bernama Mind Mapping ini. Mudah bikinnya, dahsyat hasilnya. Cobalah.
awal februari 2008

Arena Politica Sebagai Media Episentrum Gagasan Visioner

Mahasiswa sekarang cenderung melemah dalam sisi peran. Ini bisa dilihat dengan stagnannya spirit mahasiswa dalam memunculkan gagasan lewat torehan pena. Mereka lebih dominan menggunakan lontaran berucap. Dengan hadirnya halaman kampus Suara Merdeka menjadi tawaran gemilang untuk bersaing melontarkan konsep gagasan alternatif.
Bisa dilihat ketika fase sejarah gerakan dan pers mahasiswa turun tensinya mulai dari awal pemasungan gagasan kritis dengan rigidnya aturan dari civitas akademika disistem perguruan tinggi bahkan berakhir pada pembredelan. Menurut penulis perlu menambah kehadiran rubrik suara kritis mahasiswa mampu mejadi alternative gagasan mendatang.
Semoga saja bisa menjadi news episentrum titik picu kembalinya kejayaan peran mahasiswa yang pernah gilang-gemilang dan dicatat sejarah. Bahkan dalam konteks dan dataran yang lebih kuat dan luas. Walau gerakan dan pers mahasiswa kini berada di ujung senja, semoga saja senja yang tercipta bukan senja muram. Tapi senja yang indah penuh jingga dan merah, yang tercipta.
Menurut penulis alternatif tema mendatang perlu ada rubrik “Arena Politika”. Didalamnya mengangkat tentang peran pengabdian dan solidaritas mahasiswa sebagai kaum intelektual dalam menggugah gagasan visioner tentang kesadaran berpolitik bagi mahasiswa untuk menggugah publik. Tujuan lainnya adalah belajar untuk menumbuhkan kesadaran (consciousness) kritis, yang kemudian dapat memberikan pemahaman yang holistik dan tidak deterministik dalam memandang perubahan sosial di masyarakatnya.
Disisi lain banyak mahasiswa yang terjebak pada pragmatisme dan hedonisme sebagai tangan panjang neoliberalisme. Maka dengan hadirnya rubrik arena politika ini bisa dijadikan wadah aspirasi sebagian mahasiswa yang sadar perlunya transformasi revolusioner.
Pengabdian menurut penulis bukan sekedar difahami sebatas peran manut-manut wae tapi bagaimana difahami mampu mencipta suasana baru bagi peran pengabdian mereka dimasa mendatang. Keberhasilan sekarang adalah menciptakan gagasan visioner untuk lima atau sepuluh tahun kedepan yang dimulai dari sekarang. Disisi lain rubrik ini memfasilitasi mahasiswa untuk mampu meminimalisir bahkan menaklukan hegemoni kekhusukan kapitalisme yang menggurita disegala lini. Dengan ini diharapkan mampu menciptakan torehan gagasan baru untuk berpartisipasi melalui media perekat komunitas jawa tengah. Menulis dengan digerakkan dengan kekuatan dan ketajaman gagasan adalah power yang mampu merubah zaman.

31 maret 2008

ANOMALI TRANSISI POLITIK REFORMASI

Gaung Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Awal agenda yang diusung cukup beragam diantara tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Soeharto harus lengser keprabon, stop otoriterisasi sistem militer (re-demokratisasi subtansi), pencabutan dwifungsi ABRI, menegaskan pemulihan krisis politik-ekonomi yang terpuruk dan sejumlah agenda-agenda politik lainnya.
Lantas, setelah 10 tahun berjalannya reformasi apa yang patut kita catat? Dan pelajaran apakah yang dapat kita ambil?
Kondisi politik Pasca lengsernya suharto mengalami goncangan hebat. setelah didesak oleh kebanyakan elemen untuk menyegerakan pemulihan keterpurukan bangsa dan diperlukan soft sistem yang kuat.
Suasana heroik masa dengan diiringi menggelindingnya rezim reformasi dengan menginginkan perubahan. Tapi apa yang terjadi setelah para elite birokrasi diduduki oleh tokoh-tokoh reformasi? Apakah ada perubahan signifikan untuk negara ini. Mungkin bisa dikatakan gagal dari beberapa agenda reformasi untuk negeri ini.
Suasana perubahan demi perubahan telah menjadi kata kunci dengan masa transisi politik-demokrasi dikala itu. Efek samping pemahaman transisional demokrasi yang didengungkan mengalami alienasi menjadi transaksional.
Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim "baru," berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.
Dominasi kekuatan politik partai dan para tokohnya yang lahir dimasa reformasi kurang mampu mendobrak perubahan yang terarah malah justru menjadikan Wajah politik Indonesia terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan.
Anomali politik ini menjadi salah satu ciri khas orde-reformasi, di mana sistem politik yang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi.
efek samping dari sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.
Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran," yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi. Kedua, terjadi kontradiksi peraturan antara pusat dan daerah, dari konteks kepastian hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan. Kapasitas ini menjadi biang kerok destroyetnya negara
Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang
menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit sekali diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patronase, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis.

Morfologi sistem berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru terjadi secara transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998.
Keempat, Fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah" di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan" di televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.
Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu.
Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan, bahkan kini muncul wacana "dibebaskan" dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen," di satu sisi menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi.
Bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatifitu seolah layak disematkan. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri" atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan.
Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, mencekiknya harga BBM dan bahan pokok serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari strategi dan jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).
Inikah realitas yang kita hadapi saat ini. Apakah kita sadar? Selama kita mengerti dan memahami, saatnya kita tergerak. transisi reformasi ada batasnya, saatnyalah kita merubah kofrontasi policy yang mengarah pada cari amannya saja. Bangsa kita butuh kepastian perubahan yang tersistem dan terorganisir yaitu revolusi.
Tak mudah mereformasikan kekuasaan otoriter tanpa mesim bermotor progresif yang merombaknya. Lihat pada Afrika Selatan dan beberapa negeri di Amerika Latin seperti Chile dan Argentina. Indonesia melekat pada romantisme gurun pasir masa dunia kegelapan dimana Ali Baba dan 40 penyamun berkuasa dan oleh karena itu 10 tahun tidak ada perubahan mendasar yang memudahkan dan menguntungkan masyarakt rakyat mayoritas.
semarang, 21 april 2008

OTORITASASI DEMOKRASI ELECTORAL

Bicara demokrasi memang selalu layak dikaji dan menarik untuk dibicarakan baik itu membincang dalam tataran konsep demokrasi sendiri secara filosofis sampai pada wilayah praksis sebuah masyarakat menerapkannya.
Demokrasi menjadi seolah penting bila itu diterjemahkan pada ranah praktek procedural di sebuah Negara, karena bila sebuah Negara menghidupkan masyarakat demokrasi tentunya terasakan wujud pelaksanaan dan penerapan asas. asas Ini sendiri tidak akan selesai dibicarakan selama masyarakatnya yang mencoba memanifestasikan dan menerjemahkan dalam prilaku kehidupannya dan terus bergulat pada hipotesa spekulan untuk jangka panjang.
Bila kita amati dari masa kemasa ungkapan demokrasi sendiri akan selalu berbeda muatannya baik itu dalam prakteknya bahkan bobot juga perwujudan bisa berlainan makna. Tapi secara hakikat hirarkisnya terkadang sama isinya yaitu pada wujud persamaan untuk menyatakan dalam penegakan hak asasi sebagai warga Negara didalam menentukan pilihan terhdap system politik yang ada.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam hal ini berkaitan dengan keberpihakan pada rakyat bawah dan sebagai unsur sistem politik harus menjadi agen yang mampu menjalankan demokrasi secara praktis dengan tujuan untuk melakukan usaha yang berbobot demokratis. tetutunya juga harus adanya pembentukan agen yang mampu dab selalu mengontrolnya atau mengawasi secara kontinyu sebagai pemercayaan pada sistem.
Unsur sistem politik dengan demikian selalu terjaga untuk menjalankan aneka usaha yang membawa amanah rakyat (mission rakyat).
lemah gempal, februari 2008

Demokrasi Vs Konflik

Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.
Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.
Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.
Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.
Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.
Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.
Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.
Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.
Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.
Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.
Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.

februari akhir 2008

Paradoks Demokrasi Dan Konflik Komunal

Perubahan politik di Indonesia tidak berlari di jalan tol demokrasi yang mulus. Disana-sini terdapat lubang-lubang demokrasi yang setiap saat mobil bangsa Indonesia terperosok ke dalamnya. Salah satu adalah apa yang disebut Antony Giddens sebagai paradoks demokrasi. Menurutnya, paradoks demokrasi adalah bahwa demokrasi menyebar ke seluruh dunia, namun dinegara-negara yang demokrasinya telah matang, yang seharusnya ditiru oleh mereka di belahan dunia yang lain, muncul kekecewaan yang meluas terhadap proses demokratis. Buktinya di sebagian negara barat, tingkat kepercayaan pada para politisi merosot selama beberapa tahun terakhir.Antony Giddens memberikan contoh Amerika Serikat dimana partisipasi untuk menggunakan hak pilihnya lebih sedikit.
Tingkat kepercayaan pada para politisi di Indonesia sudah lama dipertanyakan masyarakat. Ekpresi rakyat dalam bentuk berbagai protes, demonstrasi maupun yang bersifat ilmiah tidak-hentinya ditujukan kepada para politisi. Terakhir masalah yang menuai protes yang keras adalah keluarnya PP 37 yang menurut sebagian besar masyarakat mencerminkan ketidakadilan dan ketidakpantasan. Dan terbukti memang PP tersebut direvisi kembali oleh pemerintah.
Di Indonesia paradoks demokrasi juga dapat kita jumpai dalam bentuk lain. Bagi sebagian kepala daerah yang dipilih secara langsung dan demokratis ternyata tidak serta merta mendapat simpati yang penuh rakyat. Bahkan konflik politik yang terjadi pada saat pilkada dibawa serta setelah pilkada. Inilah yang akhirnya yang tidak jarang menimbulkan konflik komunal di tengah masyarakat.
Dalam pengamatan David Bloomfield dan Ben Reilly, dalam tahun-tahun terakhir ini jenis konflik baru semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya.
Dua elemen kuat yang seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam bentuk-bentuk identitas komunal yang berdasarkan agama, ras, kultur, bahasa dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumberdaya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat. Ketika distibusi yang dianggap tidak adil dilihat bertepatan dengan perbedaan identitas (dimana mialnya suatu kelompok agama kekurangan sumberdaya tertentu yang didapat kelompok lain), kita menemukan potensi konflik.
Bagaimanapun konflik yang terjadi jelas tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi Indonesia. Jika ada konflik pastilah timbul ketidaktaturan politik dan sosial. Oleh karena itu mudah kita memahami bahwa demi kepentingan bersama dalam negara demokrasi maka potensi konflik harus dicegah sedini mungkin.
Namun demikian ada harapan yang memberikan optimisme yakni, trend umum yang terjadi adalah semakin diterimanya sistim demokrasi oleh masyarakat kita. Hal ini ditunjukkan oleh semakin luasnya partisipasi demokrasi rakyat. Semakin luasnya demokratisasi yang tiba-tiba ini, memberikan fokus baru mengenai institusi manakah yang paling mungkin mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil dan diakui dalam masyarakat yang terpecah belah pasca konflik. Terdapat pengakuan yang makin luas bahwa perencanaan institusi politik merupakan faktor kunci yang mempengaruhi konsolidasi, stabitas dan keberlangsungan demokrasi. Pemahaman yang baik mengenai institusi politik juga memberikan kemungkinan bahwa kita bisa merencanakan institusi sedemikian rupa hingga tujuan yang diinginkan, kerjasama dan kompromi dapat tercapai.
Lebih jauh lagi, berdasarkan pengalaman pada masyarakat-masyarakat yang terpecah-belah hingga kini menunjukkan gejala kuat bahwa prosedur demokratik, memiliki sikap keterbukaan dan fleksibilitas yang diperlukan untuk mengelola konflik mendalam yang berdasar identitas (agama, suku, budaya, keyakinan, ideologi, dll), memiliki peluang sangat besar untuk menghasilkan perdamaian yang berkesinambungan. Pada masyarakat yang terpecah belah atas garis identitas, misalnya institusi politik yang melindungi hak-hak individual dan kelompok, menyerahkan kekuasaan dan memberikan tawar-menawar politik, hanya mungkin tampak dalam kerangka demokrasi.
Justru karena itu, barrier Indonesia menuju bangsa demokratis yang tertib adalah bagaimana mengelola konflik sehingga tidak menimbulkan sebuah realitas yang paradoksal dengan demokrasi itu sendiri. Kita harus menyadari bahwa memang konflik adalah keniscayaan. Konflik adalah aspek intrisik dan tidak mungkin dihindarkan dalam perubahan sosial. Konflik adalah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial. Ketika sebuah tatanan sosial baru terbentuk sementara tatanan yang lama masih eksis maka akan terjadi benturan baik pada domain struktural maupun struktural. Masalahnya adalah bagaimana cara kita dalam menangani konflik tersebut agar ia tidak menimbulkan sebuah destruksi sosial yang hebat.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan langkah-langkah nyata dalam menangani daerah-daerah yang dilanda konflik. Konflik Aceh praktis telah selesai. Poso, Ambon, Sambas juga praktis telah berhasil menghentikan konflik komunal. Namun model antisipasi konflik yang mungkin terjadi sebagai blue print pembangunan nasional belum ada konsep secara konprehensip dan integratif. Pada hal pencegahan secara dini mutlak diperlukan sebagai cara yang paling efektif untuk tidak berkonflik. Penanganan pasca konflik juga masih dirasakan realisasinya belum optimal. Inilah yang menyebabkan bila terjadi konflik komunal yang bersifat mengakar sulit untuk dihentikan secara cepat.
Sejatinya ada dua strategi yang harus dimatangkan terhadap pencegahan konflik di Indonesia. Pertama adalah strategi kultural dan kedua struktural. Strategi kultural akan efekftif dalam dalam jangka panjang. Hal ini karena yang menjadi fokusnya adalah relasi budaya yang pluralis yang benar-benar matang dan subtantif memerlukan waktu yang panjang. Tetapi jika kita melihat efektivitas pencegahan konflik dalam jangka pendek maka sesungguhnya strategi struktural merupakan pencegahan yang paling efektif di dunia, karena kekerasan acapkali disulut oleh ketidakadilan yang disebabkan oleh ketimpangan sosial dan ekonomi.
Karena itu pencegahan konflik yang luas harus menghindari kegagalan ekonomi, ketidakjujuran politik, masyarakat yang terbelah, dan kerusakan lingkungan. Bila kita melihat sebab-sebab konflik di Indonesia memang tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut. Dan biasanya ekskalasinya semakin luas bila ditiupkan sentimen agama, keyakinan, suku,dan ras.
Begitulah kondisi bangsa yang saat ini terejadi, banyak tawaran yang bergulir demi mewujudkan strategi peredam konflik. Maka saatnyalah demokrasi dipraktekkan secara holistik bukan sekedar sebagai seremonial sehingga yang difahami hanya demokrasi sebagai sebuah teori sehingga menimbulkan problem hermeneutik terhadap pemaknaan. Dengan kata lain demokrasi janganlah difahami untuk mengatas namakan eksistensi yang menyebabkan timbulnya demokrasi lokal, demokrasi doktrinal dan demokrasi kontekstual. Marilah kita fahami dari keseluruhan atas pluralitas dan hegemonik konstruksi transformasi demokrasi sebagai langkah mencapai tujuan dan menciptakan prinsip bukan malah menambah konflik.

Absurditas, demokrasi politik PILGUB

PERHELATAN Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng pada 22 Juni 2008 praktis tinggal sekitar tiga bulan. Pasangan calon yang akan berlaga memperebutkan kepercayaan publik semakin jelas, terdiri atas lima pasangan; tiga partai politik (parpol) mengajukan calon sendiri tanpa koalisi (PDIP, Partai Golkar dan PKB), dan dua parpol mengajukan calon lewat koalisi (PPP dan PAN serta PD dengan PKS).
Berbagai manuver parpol sebagai ”kendaraan” pengusung telah meramaikan wacana perpolitikan di provinsi berpenduduk 32 juta jiwa, lebih dari setahun belakangan ini. Lobi dan negosiasi telah mencapai final dengan penetapan pasangan yang segera disusul deklarasi, dan selanjutnya disusul dengan pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 26 Maret 2008.
Memang berkesan perhelatan pilgub amat elitis, karena terlalu dimonopoli oleh partai dan terasa jauh dari harapan masyarakat awam yang sedang didera bencana banjir, tanah longsor, dan angin ribut yang berkepanjangan.
Realitas menunjukkan terdapatnya disparitas antara perilaku parpol dengan ekspektasi publik terhadap proses penjaringan calon yang dianggap akan mampu menghasilkan kepemimpinan di Pemprov Jateng yang populis dan peduli nasib warganya.
Pelajaran yang dapat diambil bahwa aktivitas parpol masih terlalu sarat ”kepentingan internal” yang direpresentasikan melalui kebijakan pengurus tingkat ranting sampai pusat, yang sering ”dianggap” publik belum mewakili harapan dan keinginan konstituen.
Deskripsi tersebut dalam praktik politik dapat memengaruhi persepsi bahkan perilaku masyarakat dalam berpartisipasi pada pilgub mendatang. Artinya, disparitas antara harapan publik dengan pengurus parpol berdampak kepada sikap apatis dan tidak mau tahu dengan apa pun yang terjadi dalam perpolitikan sekitar pilgub.
Masyarakat telanjur beropini bahwa sesuatu yang patut dan layak di mata publik justru akan berkebalikan dengan keinginan pengurus parpol; dan itu berakibat kepada gagalnya tujuan utama pemilihan kepala daerah bahkan mengebiri hak pendidikan politik yang mampu mencerdaskan masyarakat.
Meskipun secara riil sulit menemukan figur gubernur terbaik untuk memimpin pemprov, namun demokrasi prosedural yang telah disepakati membutuhkan kesabaran masyarakat untuk secara bertahap diperbaiki melalui penyempurnaan sistem serta utamanya partisipasi masyarakat.
Suatu absurditas, ketika mendambakan demokrasi akan tetapi antipati terhadap politik dan kebijakan publik yang memang lahir dari pejabat politik yang dibangun melalui pemilu dan peran partai politik.
maret 2008

DIBUTUHKAN KESADARAN, KOMUNIKASI DAN EVALUASI

Spekulasi-spekulasi yang dilakukan oleh ekskutif dan legislatif bangsa ini dalam pengajuan calon Gubernur Bank Indonesia (BI) berakhir pada sikap penolakan dua calon yang diajukan oleh presiden. Inikah sikap politik yang ditunjukkan mereka kepada masyarakat? Seharusnyalah menjadi contoh bagi rakyat, tapi malah sebaliknya ! lalu bagaimana?
Kalau kita mengamati perhelatan yang terjadi dari hari-kehari tentang keputusan dan kebijakan yang diambil ternyata banyak yang mengedepankan pada kentalnya sarat kepentingan politik dan ego sesaat. Perlu disadari bahwa semua itu diakibatkan dari kurangnya komunikasi diantara pemerintah dengan DPR.
Kedua dikarenakan spekulasi yang berlebihan sehingga kurang bisa mencandra baik apakah itu kebutuhan atau kepentingan. Ini berdampak pada ekses negative bagi public sendiri. Ketiga semua keputusan yang diambil sarat dengan kepentingan politik dari masing-masing kubu baik itu eksekutif maupun legislative.
Regenerasi pemilihan Gubernur Bank Indonesia difahami bukan hanya mengegolkan kepentingan masing-masing kelompok tapi lebih dari itu bahwa pemilihan calon sendiri harus mempertimbangkan pada kriteria ; kompetensi, karakter, loyalitas dan itegritas, kapabilitas dan profesionalitas.
Lebih penting lagi bila ditambahi dengan track record (rekam jejak) pengalaman kerja, mengerti dan memahami faktor ekonomi, moneter sekaligus juga sektor fiskal dan sektor riil lapangan.
Sebaliknya jangan difahami sekedarnya karena kepentingan sesaat malah merusak susu sebelanga. Keputusan menolak memang juga bagian dari penghargaan demokrasi tapi kita perlu memikirkan kepentingan strategis jangka panjang. Masih banyak Pekerjaan Rumah dari BI sendiri yang menumpuk dan belum tergarap.
Untuk meminimalisir bahkan menghindari ekses-ekses negatif yang mengelinding pada masyarakat umum. Bahkan berpotensi menimbulkan dikotomi dan polarisasi konflik sehingga berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan DPR.
Pertama diperlukan segera komunikasi dan kompromi politik antara ekskutif (presiden) dan legislatif (DPR) demi terciptanya pandangan baik kedepan. Persoalan ini harus diselesaikan secepatnya jangan sampai berdampak terjadi bahkan memicu terancamnya stabilisasi moneter. Kedua, perlunya transparansi terhadap kandidat pencalonan Gubernur Bank Indonesia mengenai kriteria yang dikehendaki oleh Ekskutif, Legislatif dan masyarakat umum (pasar). Baik itu dari segi kriteria yang disepakati sesuai dengan yang disepakati dari calon yang akan dipilih.
Ketiga meminimalisisir konflik politik. Kalau sebelumnya kental sarat akan kepentingan politik dan kelompok, bagaimana kalau semua yang berkepentingan merubah minset dan perilaku menjadi lebih positif dari semua lini yang ada. Dengan kepentingan bersama demi kebaikan bangsa ini maka berikanlah yang terbaik demi keputusan yang terbaik.
Perlu dihindari spekulasi-spekulasi yang tidak bertujaun baik demi terciptanya stabilisasi moneter bangsa indonesia. Selain itu perlu evaluasi bersama atas perhelatan yang telah terjadi. Perlu difahami bersama bahwa dengan memberikan kriteria terbaik dari yang diharapkan yang berdasar pada fit and propert test calon yang diajukan, maka perlu difikirkan kedepan perlu berbaikan bersama karena semua stake holder yang menentukan dan disitulah prospek kedepan bisa dimulai.
Apakah kita mau mengulang lagi kegagalan kegagalan yang terjadi sebelumnya? Bercerminlah pada realitas krisis moneter yang menimpa bangsa indonesia. Lupakan yang terjadi, tanggalkan kepentingan-kepentingan sesaat. Jadikan semua itu sebagai pijakan kebaikan dan menatap kebaikan bangsa kedepan.
Lemah gempal, 2 April 2008

SEJARAH KONSTITUSI HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM

PENDAHULUAN
Berbicara tentang pengungkapan sejarah bukanlah berarti untuk sekedar mengetahui terhadap segala peristiwa dan kejadian masa silam. Bahakan dengan maksud membangga-banggakan apa yang telah dikerjakan oleh orang-orang terdahulu, akan tetapi tujuan utuk dituliskannya sejarah tidak cukup hanya untuk itu saja melainkan bagaimana peristiwa masa silam dapat diungkap dan diketahui.
Sejauh itu sejarah sendiri merupakan historiografi yang ditulis dan diperoleh dari aspek fakta dan intepretasi. Setiap kali membaca karya sejarah kita ingin memperoleh apa yang terjadi pada masa lalu dan bagaimana terjadi atau bahkan mengapa peristiwa itu terjadi. Fakta sejarah tidak begitu saja berbicara dan terjadi, ia dapat berbicara ketika di intepretasikan. Berbeda dengan fakta, intepretasi sepenuhnya subyektif dipengaruhi oleh beberapa faktor yang melekat pada diri sejarahwan.
Dalam hal ini pembacaan sejarah dilakukan oleh para penulisnya dengan pengungkapan secara periodisasi bukan sekedar ditulis dan apriori, tetapi dapat meliputi fakta social, eksplanasi dan ekspresi sejarah. Semua itu terangkum sehingga mampu memberi power dan gairah kepada para pembacanya.
Konsep sejarah adalah perubahan yang dimana kita dalam membaca sejarah haruslah kritis dan mampu ikut merasa terlibat didalamnya, baik itu peristiwa silam, kemarin, sekarang atau yang akan datang.

SEKILAS KONSTITUSI
Konstitusi merupakan istilah yang sering difahami sebagai undang-undang dasar atau aturan kebiasaan bawaan sejak lahir. Konstitusi yang tergambar dan ada di HMI adalah Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga merupakan merupakan aturan-aturan yang dibuat untuk mengatur segala bentuk aktifitas yang dijalankan diHMI.
Didalam sistematika pembahasan konstitusi mempunyai arti penting tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sendiri, diantaranya adalah
1. Keluar dapat dimaknai secara politis menunjukkan organisasi yang sah.
2. Kedalam sendiri dapat difahami sebagai alat control organisasi.
Dalam konstitusi sendiri juga terdapat nilai, yaitu nilai yuridis formal sebagai ketentuan yang tertulis dan nilai yuridis konstitusional yang berarti sebagai ketentuan yang tertinggi.
Selain itu konstitusi secara spesifik juga ada kekuatan secara formal didalamnya, termasuk di HMI sendiri adanya anggaran dasar (AD) yang merupakan ketentuan pokok yang tertulis sebagai pedoman berpijak organisasi dalam rangka mencapai tujuan. Sedangkan anggaran rumah tangga merupakan keseluruahan ketentuan sebagai penjelasan atau penjabaran dari anggaran dasar
Kedudukan AD/ART di HMI merupakan sebagai ketentuan pokok organisasi dan fungsinya sebagai pengatur dan pedoman organisasi. Selain itu juga menjadi identitas untuk mengetahui bentuk dan jenis organisasi.
Isi dari AD HMI didalamnya ada kalimat pembuka yaitu basmalah dimana disitu menunjukkan bahwa semua gerak langkah yang dilakukan dalam perumusan maupun aktifitas himpunan dimulai dengan menyebut dan selalu mengingat Allah SWT.
Didalamnya ada muqaddimah dan terbagi dalam beberapa alinea dan didalam setiap alinea-alenia memuat rumusan-rumusan yang menjiwai pasal-pasal yang ada. Dalam anggaran dasar saat ini ada 22 pasal dan disitu menjelaskan nama, waktu dan tempat berdirinya. Juga menjelaskan asas tujuan, sifat status dan identitas. Selain itu dalam AD juga menjelaskan keanggotaan, struktur organisasi dan kesekretariatan dan beberapa yang lain termasuk atribut organisasi.
Anggaran rumah tangga HMI dalam skema konstitusi termasuk dalam pedoman penjelas. Dalam hal ini ART memuat tentang penjelasan di AD termasuk aturan-aturan tambahan yang ada dan termaktub dalam kontitusi.
Di HMI konstitusi bisa mengalami revis atau perubahan dan itupun dijelaskan didalam aturan-aturan yang dibuat dalam kongres sebelumnya dan Forum tertinggi yang bias merevisi/ megamandemen adalah kongres.

RESUME PERKEMBANGAN HMI DARI PERIODE KEPERIODE
Untuk mengetahui secara detail menurut hemat saya perlu sedikit menggambarkan perkembangan HMI dari beberapa periode, atau lebih tepatnya apabila kita menengok dan mengetahui dari beberapa pelaksanaan kongres dan hasilnya. Karena kongres sendiri merupakan forum tertinggi distruktur organisasi HMI diatas komisariat dan cabang. Dan disitulah beberapa keputusan dan kebijakan HMI dirumuskan berkaitan dengan konstitusi.
Anggaran dasar HMI pertama kali dirumuskan yaitu pada kongres pertama di Yogyakarta pada tanggal 30 Nopember 1947, tetapi belum dilengkapi dengan muqaddimah sebagaimana anggaran dasar HMI saat ini.
Anggaran dasar itu memuat 12 pasal ketentuan yang mengatur segala yang berhubungan dengan HMI. Seperti tujuan HMI yang tertera pada pasal IV AD:
1. Mempertegak dan mengembangkan agama Islam
2. Mempertinggi derajad rakyat dan Negara RI
Dan usaha terdapat didalam pasal V AD :
1. Memperluas dan mamperdalam pengetahuan dalam agama Islam bagi mahasiswa khususnya da rakyat Indonesia umumnya.
2. Menghidupkan jiwa Islam dalam hati rakyat.
3. Bekerja bersama-sama dengan lain-lain golongan dalam mengejar maksud dan tujuannya, baik dalam maupun keluar negeri.
Di konggres kedua pada tanggal 15 desember 1951 di Yogyakarta merupakan Kongres darurat. Diantara keputusan yang berkaitan dengan konstitusi HMI diantaranya adalah menugaskan kepada HMI cabang Jakarta untuk membentuk studi komisi guna memperbaiki AD dan membuat ART HMI dan menugaskan HMI cabang Bandung untuk membuat rencana atribute/emblem HMI.
Kongres ke III HMI di Jakarta pada tanggal 30-05 Agustus 1953 merumuskan tentang pengesahan AD/ART yang baru, formulasi tujuan HMI masih tetap seperti semula didirikan dan memutuskan tentang ;
1. Mengesahkan atribut/emblem HMI
2. Mendirikan yayasan Mahasiswa Islam
3. Mendirikan yayasan Pendidikan Mahsiswa Islam
Kongres ke IV di Bandung pada Tanggal 9 Oktober 1955 menghasilkan keputusan tentang mengadakan perubahan AD/ART HMI. Mengesahkan muts HMI dengan warna kombinasi putih, hijau hitam sebagaimana halnya lambang HMI.
Kongres ke V di Medan para tanggal 24-31 desember 1957 menghasilkan keputusan
1. Mengesahkan hymne HMI, syair lagunya diciptakanoleh R.M. Akbar.
2. Merumuskan tafsir asas HMI
Kongres ke VI di Ujung Pandang pada tanggal 14-20 Juli 1960 yang menghasilkan keputusan tentang masa jabatan PB HMI ditetapkan 3 tahun lamanya dijabat oleh dua orang ketua umum masing-masing satu setengah tahun tanpa melalui kongres.
Kongres ke VII bertempat di masjid Al Ahzar Jakarta pada tanggal 08-14 September 1963 menghasilkan keputusan-keputusan kongres HMI diantaranya :
1. Pengesahan kepribadian HMI sebagai hasil MUNAS HMI dipekajangan, Pekalongan tanggal 23-28 Desember 1962.
2. Merumuskan methode training
3. Mengadakan revisi terhadap AD/ART HMI.
4. Membentuk lembaga-lembaga HMI bersifat otonom LKMI, LDMI, LPMI, LSMI dll.
Kongres ke VIII diSolo pada tanggal 10-17 September 1966 menentukan Garis-garis Besar keputusan kongres :
1. Merevisi AD/ART. Tujuan HMI setelah kongres VIII berbunyi membina insan akademis, pencipta dan pengabdi yang bernafaskan Islam menuju terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
2. Menyempurnakan kepribadian tafsir azas HMI
3. Merumuskan dan menetapkan Garis-garis Pokok Perjuangan (GPP) HMI
Kongres ke IX diMalang yang dilasksanakan pada tanggal 03 sampai dengan 10 Mei 1969. merumuskan keputusan penting diantaranya :
1. Merevisi AD/ ART HMI formulasi tujuan HMI berubah menjadi ; terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhai oleh Allah SWT.
2. Pedoman dasar semua lembaga HMI dijadikan menjadi satu dalam pedoman dasar lembaga (PDL).
3. Menetapkan Pedoman Kerja Nasional (PKN) dll.

Kongres ke X HMI dilaksanakan di Palembang pada tanggal 03-10 Oktober 1971. dengan memutuskan hasil diantaranya yaitu :
1. Merevisi muqaddimah AD dan merevisi beberapa di AD/ ART
2. Mencantumkan sifat HMI dalam anggaran dasar HMI pasal 7 ; HMI adalah organisasi mahasiswa yang bersifat independen.
3. Merumuskan tafsir tujuan HMI
4. Merumuskan independensi HMI
Kongres ke XI di Bogor pada tanggal 23 s/d 30 mei 1974 menghasilkan beberapa keputusan ketetapan (TAP) diantaranya yaitu berlakunya tafsir HMI, formulasi tujuan HMI, rumusan Independensi, perkaderan HMI, atribut-atribut, PKN periode 1974 -1976, pendiri organisasi HMI dan NDP dari Hasil kongres ke X dan PKN
Kongres ke XII dilaksanakan pada tanggal 16 0ktober 1976 di Semarang, Kongres ke XIII dilaksanakan pada tanggal 12 februari 1979 di Ujung pandang, Kongres ke XIV dilaksanakan pada tanggal 23 April 1981 di Bandung, Kongres HMI ke XV dilaksanakan pada tanggal 21 Mei 1983 di medan dst.
Hingga dirumuskan beberapa hal berkaitan dengan perubahan dari NDP menjadi tafsir tujuan independensi dll. Dengan semangat menjawab kebutuhan dan tantangan setiap kader maka merumusformulasikan konsep ideologis paradigma gerakan HMI, penafsiran terpisah antara azas, tujuan, dan independensi.
Tanpa mengesampingkan ruh dan semangat dari rumusan sebelumnya menjadikan kesatuan kokoh utuh antara landasan, tujuan dan metodologi pencapaiannya. Maka dirumuskanlah khittah, sebagai sistematisasi penjabaran konsepsi filosofis azas, tujuan, usaha dan independensi. Inipun tidak lepas dari pengaruh pemikiran para tikoh-tokoh revolusioner Iran yang berkembang pada masa itu dan merebak di masyarakat muslim Indonesia khususnya konsumsi mahasiswa. Sehingga dari beberapa penjabaran NDP masih diperlukan tentang konsepsi ketuhanan, kesemestaan, kemanusiaan dan kemasyarakatan semangat perjuagan dan hari kemudian sebagai konsepsi cita-cita masa depan kehidupan kemanusia.
Didalam Khittah terdapat tafsir tujuan dari perjuangan yang merupakan penjabaran mengenai tujuan individual, sosial dan hakikat perkaderan sebagai upaya sistematis HMI menuju cita-cita tersebut. Individu ulil albab dan msyarakat Islam dicita-citakan melahirkan hubungan timbal balik sehingga tercipta tatanan masyarakat yang diridhai oleh Allah SWT.
Keterangan diatas merupakan formulasi sejarah HMI dan beberapa referensi pendukung yang banyak menjelaskan dari beberapa rumusan keputusan hasil kongres dari tahun ketahun atau dari periode keperiode. Kongres sendiri merupakan forum tertinggi yang dihadiri untusan-utusan cabang dan peninjau yang menjadi penyampai, sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan anggota yang diutus oleh masing-masing cabang dan disepakati oleh seluruh forum.

ANALISIS
Selain yang tertulis diatas ada beberapa catatan yang pernah juga dirumuskan dan dipakai diantaranya tafsir azas HMI (1957), kepribadian HMI atau Citra Diri (1963), Garis-garis Pokok Perjuangan (1967) dan Nilai-nilai Dasar Perjuangan (1969). Dan masih banyak hal yang belum dapat saya tulis karena keterbatasan dalam mendapatkan referensi, sehingga berbicara mengenai sejarah pastinya tidak akan pernah lepas dari subyktifitas penulis.
Untuk memaparkan semua historisitas maka hermeneutik sosial dan analisis fakta sosial yang terjadi sebelumnya perlu heuristik hasil yang ada. Ekspresi sejarah yang penulis paparkan diatas merupakan usaha untuk menjabarkan hasil dari beberapa spektrum sejarah yang pernah saya dapatkan, dan di bawah ini merupakan lampiran hasil dari beberapa revisi hasil kongres ke 26 didepok yang perlu ditulis kembali untuk menegaskan hasil yang sesuai forum kongres.

Lampiran

1. Dalam Anggaran Dasar, BAB I, tertulis :
BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT

Pasal 1 : Organisasi ini bernama Himpunan Mahasiswa Islam dI singkat HMI.
Pasal 2 : HMI didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pasal 3 : HMI Berazaskan Islam
Pasal 4 : Tujuan yang ingin dicapai adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala.
Pasal 5 : Pencapaian tujuan dilakukan dengan usaha organisasi berupa:


a. Membina mahasiswa Islam untuk menuju tercapainya Insan Mu’abbid, Mujahid, Mujtahid, dan Mujadid;
b. Mengembangkan potensi kreatif terhadap berbagai aspek kehidupan;
c. Mengambil peran aktif dan mewarnai dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kemasyarakatan dengan inisiatif, partisipasi yang konstruktif, kreatif sehingga tercapainya nuansa yang Islami;
d. Memajukan kehidupan umat Islam dan masyarakat pada umumnya sebagai implementasi rahmatan lil’alamin;
e. Membangun kerjasama dengan organisasi Islam lainnya dan organisasi lainnya yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan;
f. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan asas organisasi dan berguna untuk mencapai tujuan.


Seharusnya :

BAB I
NAMA, WAKTU DAN TEMPAT

Pasal 1 : Organisasi ini bernama Himpunan Mahasiswa Islam dI singkat HMI.
Pasal 2 : HMI didirikan di Yogyakarta pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan tanggal 5 Februari 1947, untuk waktu yang tidak ditentukan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3 : HMI Berazaskan Islam
Pasal 4 : Tujuan yang ingin dicapai adalah terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu Wata’ala.
Pasal 5 : Pencapaian tujuan dilakukan dengan usaha organisasi berupa:
a. Membina mahasiswa Islam untuk menuju tercapainya Insan Mu’abbid, Mujahid, Mujtahid, dan Mujadid;
b. Mengembangkan potensi kreatif terhadap berbagai aspek kehidupan;
c. Mengambil peran aktif dan mewarnai dunia kemahasiswaan, perguruan tinggi dan kemasyarakatan dengan inisiatif, partisipasi yang konstruktif, kreatif sehingga tercapainya nuansa yang Islami;
d. Memajukan kehidupan umat Islam dan masyarakat pada umumnya sebagai implementasi rahmatan lil’alamin;
e. Membangun kerjasama dengan organisasi Islam lainnya dan organisasi lainnya yang berlandaskan pada nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan;
f. Usaha-usaha lain yang sesuai dengan asas organisasi dan berguna untuk mencapai tujuan.

Adapun kesalahannya adalah cakupan dari BAB I yang terdiri dari lima Pasal, karena seharusnya terdiri dari dua Pasal dan ke tiga Pasal selanjutnya menjadi satu pada BAB II yaitu ASAS dan TUJUAN. Dan untuk penomoran BAB selanjutnya menyesuaikan.

2. Dalam ANGGARAN DASAR , BAB IV PASAL 22, tertulis :

Pasal 22 : Pengesahan ditetapkan pada Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953, yang diperbaharui pada Kongres ke-4 di Bandung, pada tanggal 14 Oktober 1955, Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957, Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960, Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963, Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966, Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969, Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971, Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974, Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976, Kongres ke-13 di Ujungpandang pada tanggal 12 Februari 1979, Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981, Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983, Kongres ke-16 di Yogyakarta pada tahun 1986, Kongres ke-17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, Kongres ke-18 di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1990, Kongres ke-19 di Semarang pada tanggal 24 Desember 1992, Kongres ke-20 di Purwokerto pada tanggal 27 April 1995, Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1997, kongres ke-22 di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1999, kongres ke-23 di Makassar tanggal 25 Juli 2001, kongres ke-24 di Semarang tanggal 11 September 2003, kongres ke-24 di Palu tanggal 15 Agustus 2005 dan dikukuhkan kembali di Depok tanggal 16 Agustus 2007

SEHARUSNYA :

Pasal 22 : Pengesahan ditetapkan pada Kongres ke-3 di Jakarta pada tanggal 4 September 1953, yang diperbaharui pada Kongres ke-4 di Bandung, pada tanggal 14 Oktober 1955, Kongres ke-5 di Medan pada tanggal 31 Desember 1957, Kongres ke-6 di Makassar (Ujungpandang) pada tanggal 20 Juli 1960, Kongres ke-7 di Jakarta pada tanggal 14 September 1963, Kongres ke-8 di Solo (Surakarta) pada tanggal 17 September 1966, Kongres ke-9 di Malang pada tanggal 10 Mei 1969, Kongres ke-10 di Palembang pada tanggal 10 Oktober 1971, Kongres ke-11 di Bogor pada tanggal 12 Mei 1974, Kongres ke-12 di Semarang pada tanggal 16 Oktober 1976, Kongres ke-13 di Ujungpandang pada tanggal 12 Februari 1979, Kongres ke-14 di Bandung pada tanggal 30 April 1981, Kongres ke-15 di Medan pada tanggal 26 Mei 1983, Kongres ke-16 di Yogyakarta pada tahun 1986, Kongres ke-17 di Yogyakarta pada tanggal 5 Juli 1988, Kongres ke-18 di Bogor pada tanggal 10 Oktober 1990, Kongres ke-19 di Semarang pada tanggal 24 Desember 1992, Kongres ke-20 di Purwokerto pada tanggal 27 April 1995, Kongres ke-21 di Yogyakarta pada tanggal 28 Juli 1997, kongres ke-22 di Jakarta pada tanggal 26 Agustus 1999, kongres ke-23 di Makassar tanggal 25 Juli 2001, kongres ke-24 di Semarang tanggal 11 September 2003, kongres ke-25 di Palu tanggal 15 Agustus 2005 dan dikukuhkan kembali di Depok tanggal 16 Agustus 2007
Terjadi kesalahan penulisan Kongres Ke-24 di Palu, seharusnya kongres ke-25.
3. Dalam ANGGARAN RUMAH TANGGA, PASAL 16 AYAT J, tertulis :
J. Jumlah Utusan Cabang dalam Kongres ditentukan dengan rumus:
Sn = a pn-1
Sn : Jumlah anggota a : 50
p : Pembanding = 2 n : Jumlah utusan

Contoh Jumlah Anggota Utusan
50 = 1
150 = 2
450 = 3
1350 = 4
4050 = 5
12150 = 6
Dan seterusnya = dst
Seharusnya …

J. Jumlah Utusan Cabang dalam Kongres ditentukan dengan rumus:
Sn = a pn-1
Sn : Jumlah anggota a : 50
p : Pembanding = 2 n : Jumlah utusan

Contoh Jumlah Anggota Utusan
50 = 1
100 = 2
200 = 3
400 = 4
800 = 5
1600 = 6
Dan seterusnya = dst

Terdapat kesalahan yaitu contoh penghitungan. Dalam draf adalah hasil penghitungan dengan pembanding 3 sama dengan hasil Kongres sebelumnya. Sedanglan dalam Kongres Ke-26 angka pembanding dirubah menjadi 2 dengan hasil perhitungan seperti diatas.

4. Penggunaan Muqodimah Pedoman Perkaderan Tahun 1999 pada Pedoman Perkaderan yang baru.

5. Dalam draft hasil Kongres Ke-26 yang diedarkan ke cabang tidak terdapat pedoman-pedoman lembaga (AD/ART LAPMI, Pedoman KOHATI)

PENUTUP
Demikian sekilas miniatur spektrum sejarah dari hasil yang diputuskan dan berkaitan dengan sejarah konstitus. Masih banyak lagi hasil yang belum bisa disebutkan satu persatu karena keterbatasan saya untuk mendapatkan referensi pendukung, semoga apa yang saya tulis diatas mampu menggugah spirit identitas kader-kader HMI dalam menjalankan aktifitas-aktifitas di HMI, semoga bermanfaat dan berguna bagi semuanya. Amien

Senin, 21 April 2008

Reformasi menggendong kegagalan

Keadaan Indonesia terus bertambah buruk, harga bahan pokok, harga kedelai, harga minyak dan gas, berada di atas daya beli, selain itu ditambah dengan pengangguran yang terus meningkat. Sosiolog Musni Umar berpendapat bahwa ketidakberhasilan ini disebabkan pemerintah meneruskan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme dengan mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan konsensus Washington. Konsensus ini mengakibatkan kerugian bagi Rakyat Indonesia, karena ketidaksiapan Indonesia menghadapai kebebasan.

Dari segi politik, Indro Tjahjono mantan Ketua Nasional Gerakan Mahasiswa berpendapat, bahwa kesalahan pemerintah terletak pada belum berubahnya sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, yang berlaku adalah demokrasi kapitalisme seperti yang berlaku pada rezim Orde Baru. Demokrasi kapital merupakan demokrasi yang tunduk kepada modal atau mereka yang memiliki uang. Selama keadaan ini terus berlangsung maka demokrasi nilai yang seharusnya bersuara dan bersumber pada rakyat tidak akan tercapai.

Dari ungkapan-ungkapan di atas apakah membuktikan bahwa Indonesia adalah bentuk contoh dari negara gagal?! Apakah ini contoh ”gagalnya negara”. Tak kurang dari dua pengamat globalisasi, Dr. B. Herry Prijono dan Dr. Dedy N. Hidayat yang dikutif Rahman, mengingatkan agar hati-hati mendiskusikan ihwal negara gagal atau gagal negara. Jangan-jangan Indonesia benar-benar jadi contoh negara yang gagal. Ramalan dan kekhawatiran jadi kenyataaan atau self fulfilling propechy.

Pertanyaan yang dilontarkan dari kekhawatiran ini adalah, apakah negara gagal itu? Apakah negara itu yang dimaksudnya adalah pemerintah?, atau juga institusi negara yang lain seperti lembaga perwakilan?. Dan apa yang dimaksud dengan ”gagal”, apakah negara ini penuh dengan kekacauan sipil? Pembakaran di mana-mana?, proses penegakkan hukum mandul, dan masyarakat tidak punya aturan lagi?

Opini Meuthia dalam opininya berjudul ”Negara Gagal” (Kompas, 3/4./2008) mengajak kita untuk melihat studi yang dilakukan World Economic Forum dari Universitas Harvard pada tahun 2002 yang merumuskan tentang negara gagal, ciri-cirinya dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara di mana Indonesia menjadi salahsatu sample mereka. Dan diharapkan studi ini menjadi cermin apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi ini karakteristi negara gagal, antara lain adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal terbentuk pada awalnya karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefeisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.

Kemunduran ekonomi biasanya sejalan dengan lemahnya institusi penegakkan hukum. Karena adanya kemunduran ekonomi, akan semakin sulit menegakkan institusi-institusi negara menjadi lebih bersih. Dan kendala penegakkan demokrasi juga menjadi hambatan kalau rakyat lebih suka memikirkan ”perut” daripada kehidupan bermasyarakat.

Dalam bukunya Jared Diamond yang berjudul Collapse (2005) dicantumkan peta Indonesia sebagai negara yang sekaligus berbeda dalam environmental trouble spots of the modern world atau political trouble spots of the modern world. Indonesia menurut Diamond adalah negara yang pernah dan sedang mengalami rentetan masalah politik yang memenuhi syarat sebagai pertanda yang baik bagi negara gagal (state failure). Selain itu tekanan penduduk yang mencapai 3 persen tiap tahun mempercepat laju deforistasi (penggundulan hutan), meningkatnya limbah kimia beracun (polusi, rumah kaca, dan pertambangan), krisis energi, kekeringan, kelaparan, dan berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Mengutip buku Collapse ini bahwa betapa penebangan hutan ilegal dan ketidakmampuan menjaga lingkungan udara, laut, darat merupakan hal-hal serius yang harus diperhatikan Indonesia. Mental korupsi yang merajalela dan parah di semua tingkatan rakyat, besarnya beban hutang negara, dikuasainya aset-aset ekonomi oleh segelintir orang dan mantan kroni Orba, diabaikannya konflik kepentingan dalam lembaga-lembaga negara, dan rapuhnya perbankan Nasional, sebagaimana yang dimisalkan oleh Meuthia yaitu cara-cara premanisme yang bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Jika tidak diperbaiki, tidak mustahil kita akan menyusul Somalia, Sudan, Rwanda, atau Haiti yaitu menjadi Indonesia yang kolaps.

Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti juga menyatakan keprihatinannya, pemerintahan yang sepertinya kuat ini, tidak terasa seolah-olah kita tidak memiliki pemerintahan, jika tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state, atau negara yang bangkrut dan gagal. Apa jadinya….

Hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini memang mencemaskan. Transisi sejak tahun 1998 telah berjalan tanpa skenerio yang kuat dan tanpa arahan seorang sutradara yang jelas dan dihormati. Ibarat pentas, pemain hanya dibekali aturan main seadanya, dan itu pun aturan yang usang, tambal-sulam, tumpang tindih, dan pemain dibebaskan berimprovisasi. Terjadi benturan, bukan hanya di antara para pemain, penonton pun yang harusnya menikmati malah ikut.

Corak transisi di Indonesia sangat berbeda. Jatuhnya Soeharto tidak diduga dan tidak dipersiapkan sejak jauh hari. Bahkan para pengamat asing yang kompeten tidak menduga Soeharto dapat jatuh secepat itu. Penulis ketika masih berstatus mahasiswa dan ikut dalam demontrasi di Gedung DPR hampir tidak percaya, ketika melakukan sujud syukur, hati penulis pun masih mempertanyakan kebenarannya. Ketika kekuasaan berganti, semua menjadi terkesima. Sistem lama sudah hilang legitimasinya. Sementara skenerio baru untuk politik dan ekonomi tidak tersedia. Aneka improvisasi, uji coba dan trial and error dilakukan hingga kini.

Tidak adanya sutradara yang dihormati dan mau menjadi sutradara yang baik menjadi ”guru bangsa”. Sebaliknya presiden bahkan terlalu mudah dijatuhkan. Habibie naik lalu pertanggungjawabannya ditolak. Gus Dur naik lalu dijatuhkan, Megawati naik kemudian tidak lagi kembali terpilih. SBY naik, pemerintahannya tidak terlepas gonjang-ganjing tarikan partai politik. Tidak ada partai politik yang mendominasi parlemen atau Kongres, partai pemerintah (Partai Demokrat) malah mempunyai kedudukan yang lemah di parlemen.

Dalam catatan akhirnya, Meuthia menilai kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

menunggu bukti atau tergilas zaman..

menjelang 10 bilangan reformasi

“Indonesia negara gagal, karena tidak bisa melayani kebutuhan pokok rakyatnya. Negara tak bisa melindungi kekayaan yang di miliki dari pencuri yang hilir-mudik di depan matanya. Tidak bisa melindungi diri dari pencuri kayu di hutan, ikan di laut, dan korupsi yang bertebaran di depan mata”.

Dalam peringatan 99 Tahun Bung Syahrir dan 60 Tahun Partai Sosialis Indonesia sebagaimana dilansir Harian Kompas Senin 31 Maret 2008.

Ungkapan Arbi Sanit yang mengawali tulisan ini bisa jadi mewakili sebagian besar perasaan masyarakat Indonesia yang pesimistis terhadap perubahan signifikan yang berlangsung di negeri ini. Dalam beberapa pekan yang lalu, kami mencoba melihat kasus Timor Leste yang kami kutif menurut beberapa ahli, jika dalam beberapa tahun kemudian tidak ada perubahan signifikan Timor Leste menjadi contoh salahsatu negara gagal. Kami geli dan gelisah ternyata bentuk “Negara gagal” malah sudah hadir di depan mata sendiri, dan itu adalah Negara di mana bumi kami pijak. Dalam kesempatan ini kami mencoba mengkaji Indonesia dalam perspektif Negara gagal sekaligus menyambut 10 tahun reformasi. Insya Allah dalam menyambut 10 tahun Reformasi, tulisan ini pun akan dilanjutkan dalam bentuk perspektif yang berbeda.

Arbi Sanit melihat bahwa partai politik merupakan lembaga yang paling bertanggungjawab atas beragamnya keterpurukan dan ketidakteraturan dalam system Negara saat ini. Pasalnya parpol yang memegang hak monopoli untuk berkuasa, parpol juga yang membuat aturan bagaimana kekuasaan itu di bentuk dan dijalankan. Keadaan ini adalah bukti kondisi parpol yang lebih buruk dari kondisi Negara. Parpol tidak bisa melahirkan kekuasaan yang baik dan berpihak kepada rakyat. Ketidakmampuan ini disebabkan ketidakmampuan parpol melahirkan kader yang berkualitas, punya integritas dan moral, serta punya visi kebangsaan.

Dalam Tulisan Agus Hariyadi dengan judul ”Revolusi (tak) Berhenti di Hari Minggu”. Agus mengutif ucapan Affan Gaffar yang lebih ”menakutkan” lagi bahwa ”tak ada harapan di bidang ekonomi, tak ada harapan di bidang politik dan hukum, kita sudah tak punya harapan!”. Yang kemudian ditafsirkan dalam tulisan Ray Rangkuti bahwa kerusakan yang ada telah terlanjur kronis dan menguburkan harapan banyak orang akan adanya pemulihan. Pembususkan sudah sampai pada tingkat yang tak mungkin disembuhkan.

Apa yang terjadi dengan reformasi kita? Mengapa hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini masih mencemaskan? Dan kenapa kita hingga tahun yang kesepuluh ini masih berkutat dalam proses transisi menuju demokrasi?. Sepuluh tahun reformasi, Indonesia memang tidak banyak mengalami perubahan yang fundamental, baik dari segi politik, hukum, sosial maupun ekonomi. Dan ini terbukti dengan belum adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada rakyat, dan ini terbukti bahwa rakyat hanya selalu menjadi objek kepentingan politik belaka. Dan ini terbukti pemberdayaan rakyat hingga saat ini hanya menjadi slogan elite-elite belaka.

political for all.......

menakar gerakan

HMI & MISI MENGHIJAU HITAMKAN KOTA MERAH1

Oleh : TIM SIMPOSIUM SEJARAH HMI Cabang Semarang2

LATAR BELAKANG

  1. Letak Konstelasi Kota Semarang

Semarang merupakan sebuah Kota yang tidak terlalu besar dan merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah. Letaknya yang cukup strategis menjadi lintasan arus perdagangan nasional maupun internasional. Sebagai jembatan penghubung antara berbagai kota yang strategis, misalnya dari Surabaya, Jakarta dan kota kota besar lainnya. Letaknya yang berada dipesisir laut jawa menjadkan semarang sebagai kota dengan pelabuhan yang cukup ramai. Baik dari sisi kepentingan arus perdagangan ataupun kepentingan yang lainya. Karena letaknya yang strategis itulah, pernah terjadi muhibbah (kunjungan) seorang pedagang muslim china yang namanya diabadikan sebagai nama kuil yaitu Laksmana Cheng Ho atau kuil Sam Po Kong. Dan dari berbagai sumber di dapatkan bahwa tujuan selain melakukan muhibbah kenegaraan adalah melakukan syiar agama Islam.


Kota Semarang di bagi oleh Thomas Karsten menjadi dua bagian. Kota atas dan Kota bawah. Kota atas menjadi kawasan kota resapan yang mempunyai fungsi untuk mencegah terjadinya banjir. Kota bawah sebagai kota hunian yang dekat dengan pesisir pantai. Tetapi dampak dari kebijakan kaum kapitalis, maka Kota Atas yang seharusnya didesain sebagai kawasan resapan dijadikan kota hunian sehingga menghilangkan fungsi resapan. Sedangkan kota bawah yang dekat dengan pesisir yang seharusnya proses reklamasi pantai (pengurukan) tidak dilakukan, tapi karena kepentingan investasi, maka reklamasi dilakukan dengan membabi buta. Akibatnya yang terjadi adalah bencana struktural yang setiap saat mengancam kota semarang yaitu Rob dan Banjir.


Dalam arus industrialisasi dan perdagangan tercatat kota semarang dijadikan salah satu sentral perdagangan VOC. Hal ini masih terlihat dari berbagai peninggalan eks-central perdagangan yaitu di Kota Lama. Bangunan-banguna kuno yang sampai sekarang masih kokoh berdiri memberikan gambaran kepada kita bahwa Semarang dulunya adalah kota yang kokoh dengan dinamika perdagangannya.


Konsekuensi logis dari keberadaan kota semarang yang strategis di arus pusaran Jawa, maka yang muncul adalah adanya akulturasi ras, etnis, budaya dari berbagai belahan dunia. Sebagai kota yang berada di tengah-tengah lintasan budaya jawa, ummatan washathon, hal tersebut tidak dapat terelakkan. Corak masyarakatnya yang beragam karakter menjadi khasanah keberagaman tersendiri dan juga menjadi asset yang tak ternilai harganya. Masyarakat yang lahir dalam rumpun yang berbeda menjadikan kota semarang semakin berwarna. Maka jangan heran ketika ke Semarang kita akan menemui perkampungan-perkampungan etnis yang sudah berpuluh-puluh tahun mendiami kota Semarang. Misalkan kawasan Pekojan, sentral para ekspatriat orang-orang Arab atau keturunan Arab. Kawasan Pecinan yang tidak jauh dari pasar Johar merupakan kawasan dari orang-orang China dan biasanya mereka menggelar perayaan Gong Xi Fa Cai, Tahun baru ( Imlek) untuk orang China. Dan biasanya mereka menggelar perayaan dengan titel Kopi Semawis sebagai bagian dari apresiasi dari kebudayaan mereka. Di Kota Lama kita temukan kawasan untuk masyarakat Melayu yang tetap konsisten dengan akar budayanya.


Dari kondisi tersebut, maka tidak menjadi hal yang mengejutkan lagi ketika pemkot semarang baru-baru ini mencanangkan semarang dengan titel SPA ( Semarang Pesona Asia). Terlepas dari berbagai kekurangan dan kelemahan desain SPA tersebut, kita memahami bahwa ini merupakan dampak dari akulturasi budaya yang semakin menonjol.


  1. Dinamika pergolakan Semarang

Sebagai kota industri, semarang telah menempatkan denyut kehidupan kotanya dari gerigi-gerigi mesin industri, cerobong asap pabrik yang menantang langit. Akibat yang muncul adalah dinamika pergolakan kota Semarang yang lebih dekat dengan nuansa perjuangan kaum buruk, PKL, kasus pertanahan rakyat serta kasus yang berbau ke-kiri-kirian. Dari berbagai data yang kami dapatkan bahwa kasus kasus perburuhan, sengketa tanah, penggusuran, PKL lebih dominan daripada kasus pendidikan, pergolakan antar etnis. Hal ini tentu menjadi pemakluman kita bersama karena kondisi semarang yang lebih didominasi sektor industrialisasi.


Dampak dari perjuangan kaum marginal tersebut, maka semarang sampai kinii masih menyandang prediket sebagai kota “merah”. Bahkan sejarah mencatat bahwa perpecahan sarekat Islam ( SI ) menjadi Sarekat Islam yang kekiri-kirian, lebih revolusioner (Kubu Soemaoen) dengan Sarekat Islam yang masih kukuh dengan landasan berdirinya terjadi di kota Semarang (kubu Abdul Muis) antara tahun 1917 – 1920 M. latar Belakang perpecahan tersebut tidak dapat dipungkiri karena dorongan masyarakat marginal yang semakin terhimpit oleh derasnya arus industrialisasi-kapitalisme waktu itu.


Denyut pergolakan semakin terasa menggelora ketika SI dibawah pimpinan Soemaoen. Para pendukung SI yang awalnya dibawah kepemimpinan Muhammad Joesoef adalah kaum-kaum menengah dan pegawai negeri kini berubah mendapatkan dukungan dari kaum buruh dan rakyat kecil. Saat itu menjadi penting artinya bagi sejarah modern karena menjadi tonggak bagi kelahiran gerakan Marxis pertama di Indonesia. Hal tersebut tidak dapat dinafikan dari kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang memutuskan perkebunan yang semula dimonopoli pemerintah sejak saat itu dapat diusahakan oleh para pemodal swasta. Implikasinya bukan menyejahterakan rakyat tetapi semakin menindas rakyat. Karena rakyat sekarang harus berhadapan dengan lurah-lurah yang menjadi “kacung” para pemodal. Selain itu juga terjadinya wabah penyakit pes yang disebabkan karena perumahan rakyat yang kumuh (slum area) serta berhmpit-himpitan, akhirnya kebersihan dan kesehatan lingkungan tidak mampu dijaga dengan baik. Atas dorongan rakyat melalui SI akhirnya kota praja membangun perumahan untuk rakyat yang lebih representatif.


Dampak dari kondisi kesejarahan tersebut akhirnya sampai sekarang masih membekas auranya di pergerakan sekarang ini. Serikat-serikat pekerja semakin kuat melakukan perlawanan terhadap kaum pemodal, pemilik pabrik yang dominatif – eksploitatif terhadap buruh. Kelompok-kelompok marginal lainya semakin berjuang kuat menentang arus developmentalisme yang merupakan salah satu penyangga kaki kapitalisme. Misalkan kelompok Arak Topeng ( Aliansi Rakyat Tolak Penggusuran) yang senantias berjuang untuk menolak penggusuran tanah rakyat dengan dalih pembangunan.


Serikat buruh (PT BITRATEX, SPN PT. SAE APPAREL, SPN PT. SPD, SPN PT. RODEO, BPP FSBI, FARKES, DPD SPN, SPMI) yang tergabung dalam GERBANG ( Gerakan Buruh Semarang ) baru-baru ini (tanggal 15 September 2006) melancarkan protes kerasnya perihal UMK Kota Semarang yang masih jauh tertinggal dari Kota Kudus ( tercatat pada tahun 2005 UMR sebesar Rp 586.000;00 yang masih sering dilanggar oleh pengusaha). Keputusan Walikota perihal UMK tahun 2007 sebesar Rp 632.500/bulan masih di rasa buruh jauh dari KHL (Kebutuhan Hidup Layak). Menurut hasil survey GERBANG, KHL di Semarang pada tahun 2004 sudah mencapai Rp 951.275/bulan. Sedang untuk tahun 2007 KHL sudah mencapai Rp 1.019.000/ perbulan. Sehingga cukup naif manakala kebijakan UMK walikota masih jauh dari yang diharapkan. Padahal hal tersebut telah diamanahkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan khususnya pasal 88.


Fenomena penertiban, bahasa lain dari penggusuran atau pengusiran PKL menjadi tontonan sehari-hari. Kebringasan satpol PP yang notabenenya adalah warga sipil juga dengan pentungan ditangannya telah menciptakan suasana yang miris dan mencekam. Hal inilah yang harus di selesaikan oleh Pemkot sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Himpitan ekonomi yang semakin keras mencekik warga telah memaksanya menjadi Pedagang Kaki Lima yang seharusnya diapresiasi oleh pemkot karena telah meringankan beban pemerintah dalam menjamin kesejahteraan warganya. Tugas besar bagi pemerintah adalah bagaimana melakukan pembinaan yang berdampak pada meningkatnya income PKL bukan pembinaan yang sedikit demi sedikit membunuh PKL. Dan sampai sekarang kebijakan pemerintah kota lebih dititik beratkan pada pembangunan mall, ruko, hotel yang sedikit demi sedikit akan mematikan warganya. Tercatat ada beberapa kasus yang melibatkan pemkot dalam konspirasi yang sangat tidak manusiawi. Pembanguna hotel Gumaya di Jayanggaten telah mengantarkan warga disekitarnya sebagai warga yang termarginalkan dan lagi IMB ( Izin Mendirikan Bangunan ) tersebut belum disertai AMDAL ( Analisis mengenai Dampak Lingkungan). Dan masih banyak lagi kasus pertanahan di Semarang yang berdampak pada kelangsungan hidup warganya, misalnya kasus Cakrawala Baru, Pembangunan SPBU Menoreh dsb.


Di sektor budaya, Semarang termasuk kota yang masih “acuh-tak acuh” dengan apresiasi budaya. TBRS ( Taman Budaya Raden Saleh) yang menjadi salah satu kebanggaan sejarah kebudayaan warga Semarang semakin terhimpit dan semakin tereliminasi fungsinya karena munculnya proyek investasi dalam payung kapitalisme yaitu Taman Wonderia di sampingnya. Dengan dalih sebagai konsekuensi logis dari kota industri, maka pemerintah kota harus menyediakan sarana prasarana hiburan bagi warganya. Dan terbukti dari kebijakan tersebut, warga semarang semakin tidak “arif”, jauh dari sikap adiluhung karena suhu kota yang panas dengan kepulan asap industrialisasi tanpa diimbangi dengan penguatan sektor budaya. Warisan budaya yang berupa bangunan-banguna kuno yang seharusnya dijadikan cagar budaya semakin dibiarkan tak terurus. Sehingga bangunan-banguna bersejarah tersebut semakin menghilang, lenyap ditelan umur zaman atau dihancurkan untuk kepentingan proyek kapitalisme. Misalkan Lawang Sewu, Kota Lama, Gereja Bledug dan berbagai banguan kuno bersejarah lainnya.


Konsekuensi logis dari aroma industrialisasi tersebut adalah semakin terjajahnya nilai-nilai relegiusitas. Arus gerigi industri yang semakin berjalan mengoyak-ngoyak sadis seluruh segmentasi kemanusiaan. Pergerakan mahasiswa semakin “tumpul” kurang bergigi karena desain suasana yang “kering” dan semakin jauh dari nilai pencerahan, intelektual.


MISI KEUMMATAN DALAM HIMPITAN GERIGI INDUSTRIALISASI

  1. Kelahiran HMI

Secara pasti kelahiran Hmi masih menjadi pertanyaan yang belum ada jawabannya. Hal ini lebih disebabkan karena kurangnya data serta upaya untuk penggalian informasi dari para pelaku sejarah (generasi pertama) belum maksimal. Salah satu yang dapat dijadikan rujukan tentang waktu kelahiran hmi di semarang adalah tulisan Agus Salim Sitompul dalam buku menyatu dengan ummat, menyatu dengan bangsa bahwa kelahiran Hmi Cabang semarang pada tanggal 27 Maret 1955. tetapi statement tersebut masih perlu dibuka ruang dialektikanya. Dengan alasan; pertama bahwa perguruan Tinggi yang pertama kali di dirikan di Semarang adalah Universitas Semarang pada 9 Januari 1957. Universitas semarang merupakan kampus yang dilahirkan oleh yayasan universitas semarang yang diprakarsai oleh Mr. Imam Bardjo, dkk. Pada pertengahan tahun 1956. artinya, bagaimana mungkin HMI cabang Semarang berdiri pada tahun 1955 sementara pada saat yang sama tersebut belum terdapat mahasiswa di kota Semarang.


Kedua;, data kelahiran HMI Cabang Semarang pada 27 Maret 1955, merupakan data yang dikutip dari Majalah Media Edisi 2/Tahun III/September 1956 yang diterbitkan oleh PB HMI. Artinya, pemuatan berita tentang berdirinya HMI Cabang Semarang oleh PB HMI, memerlukan waktu selama 18 bulan. Maka, ada dua kemungkinan yang bisa saja terjadi : satu, kinerja Redaksi Majalah Media yang sangat lambat—sehingga memberikan berita yang tidak up-to date lagi. Atau kedua, sebenarnya kelahiran HMI Cabang Semarang, lebih muda daripada tahun 1955.


Meskipun demikian, kita tak perlu pesimis dalam melacak periode-periode awal eksistensi kejuangan HMI Cabang Semarang. Karena pada kurun tahun 1950-an, terdapat bukti-bukti yang meyakinkan bahwa HMI Cabang Semarang memang sudah berdiri.


Pertama, menurut Bapak Pudjadi (salah seorang pelaku dan pengamat HMI di UNDIP era 1950-an), pada tahun 1956 sudah terdapat sejumlah mahasiswa yang kuliah di “Yayasan Universitas Semarang”. Dan dalam pengakuan Bapak Mugiharjo, di era 1950-an akhir, di Semarang sudah ada berbagai kegiatan HMI yang dilakukan di kampus Universitas Diponegoro. Kedua, terdapat dokumen-dokumen HMI yang menunjukkan adanya keterlibatan kader-kader HMI Cabang Semarang dalam berbagai acara di era 1950-an. Ketiga, kemungkinan munculnya “kesalahan ketik” dalam penyajian data, bisa saja terjadi. Penulisan tanggal “27” dan bulan “Maret” adalah benar. Namun bukan tahun “1955” melainkan tahun “1956”. Jika kelahiran HMI Cabang Semarang adalah pada 27 Maret 1956, maka data tersebut baru terasa tidak janggal.


Salah satu yang menjadi pemicu munculnya HMI di Semarang adalah bagaimana HMI yang hadir sebagai pencerah wilayah “merah” Semarang. HMI yang berdiri kokoh untuk mampu memberikan warna lain di setiap sudut Semarang. Selain itu yang perlu menjadi catatan bahwa HMI lahir dalam rangka untuk menangkal arus kristenisasi yang semakin gencar berjalan di setiap lorong waktu. Maka tidak heran bahwa dominasi keanggotan HMI waktu itu adalah mahasiswa UNDIP dari Fakultas kedokteran dan di HMI Cabang membentuk LKMI ( Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam) yang bertugas untuk melakukan pengobatan didaerah-daerah terpencil guna menangkal misi kaum misionaris yag sering beroperasi didaerah slum area.


  1. Masa Pergolakan Himpunan

Penerapan ideologi Nasakom, mulai terasa memberikan gangguan kekuatan politik di daerah-daerah (luar ibukota, Jakarta). Bagi PKI, lawan ideologis yang mesti “ditumpas”—setelah PSI dan Masyumi bubar—adalah HMI. PKI menyebut HMI sebagai “barisan reaksioner dan kepala batu”.


Pada pertengahan dasawarsa 1960, HMI Cabang Semarang mengalami situasi dan kondisi yang amat memprihatinkan. Kota Semarang yang merupakan salah satu daerah basis komunis, menyerang HMI habis-habisan. Lewat berbagai organisasi underbow-nya, PKI mengerahkan segala daya upaya untuk mengganyang HMI.


Salah satu kekuatan PKI pada saat itu adalah terkuasainya opini publik lewat media massa. Di Kota Semarang—sampai dengan tahun 1964—tercatat tidak lebih hanya mempunyai lima surat kabar yang beredar di masyarakat umum. Surat Kabar itu antara lain ; Koran Minggu Semarang, Suara Merdeka, Gema Masa, dan Harian Angkatan Bersenjata Jawa Tengah.


Celakanya, tiga diantara media tersebut, terlibat dalam usaha pengganyangan HMI—atau setidaknya turut membentuk dan mempengaruhi pendapat umum untuk pembubaran HMI. Tiga surat kabar yang dimaksud adalah, Koran Minggu Semarang, Suara Merdeka, dan Gema Masa.


Dalam menghadapi keadaan yang semakin parah HMI Cabang Semarang—sesuai instruksi PB HMI untuk membentuk “Pasukan Inti” (PATI) HMI—maka kemudian didirikanlah Brigade Jihad (Brighad) Semarang.


BENIH-BENIH PERPECAHAN

  1. Situasi keretakan himpunan

Keretakan HMI sebenarya sudah mulai mengental seiring dengan kegelisahan para kader akan kondisi HMI. HMI menjadi tempat semata-mata sebagai batu loncatan untuk kepentingan kekuasaan semata. Sehingga kader lebih menempatkan HMI hanya sebagai tameng ketika dia melakukan kompromi-kompromi politis. Selain itu pemikiran, wacana tentang kebangkitan islam terinspirasi dari keberhasilan Ayatullah Khomaeni dalam menumbangkan Rezim Reza Pahlevi yang kita kenal dengan revolusi Iran. Sednagkan ellit HMI yang masuk dalam struktur kekuasaan semakin tidak peduli dengan persoalan keummatan, keislaman.


Sehingga para kader yang sempat menangkap akan ada gejala besar yang sangat berpengaruh terhadap sejarah HMI selanjutnya mempersiapkan serangkaian strategi ketika memang HMI akhirnya pecah. Yaitu dengan memunculkan forum untuk menampung kader HMI yang masih mempunyai ghirroh terhadap perjuangan ke-Islaman.


  1. Relasi antara MPO & FOSI

Sejarah tidak dapat memungkiri bahwa ada hubungan yang sangat erat sekali antara HMI MPO Cabang Semarang dengan FOSI. Bahkan kalau diibaratkan antara MPO dan FOSI bukan lagi sebagai bayi kembar tetapi seperti plasenta dan janin. Tentu saja hal ini merupakan suatu bentuk konstruksi sejarah yang saling menguatkan. FOSI yang lahir awalnya adalah sebagai “Skoci” yang siap menampung para “awak kapal” (HMI) yang diperkirakan akan retak dan tenggelam. Adapun MPO pada awalnya “hanya” diproyeksikan sebagai majlis sementara yang bertugas untuk menyelamatkan organisasi tanpa ada tendensi akan terjadi kristalisasi yang permanen.


Hal itulah yang turut mendorong para kader himpunan untuk aktif di FOSI. Tercatat bahwa salah satu pendiri MPO (Ir. Hanafi Sholeh) adalah aktivis FOSI. Sehingga pada masa itu sangat sulit membedakan antara FOSI dan HMI MPO. Pada awalnya FOSI Lahir sebagai antitesa kegagapan sistem perkaderan HMI dengan menggunakan NDP (Nilai Dasar Perjuangan). Out put yang dihasilkan HMI ternyata masih jauh dari tujuan HMI berdiri. Kecenderungan kader yang ambisius terhadap kekuasaan politik semata telah menjadi keresahan tersendiri bagi beberapa kader HMI untuk membentuk suatu media untuk mengembalikan tujuan suci HMI. Karena latar belakang itulah FOSI lahir dan sampai sekarang masih menggunakan NDP yang diperbaharui sedemikian rupa dengan lebel yang berbeda, NDI (Nilai Dasar Islam).


Konsep perkaderan yang tertuang dalam NDI lebih terfokus pada pengembalian jati diri manusia kefitrahnya. Rekonstruksi paradigma ketauhidan kader harus senantiasa di lakukan. Keterbenturan kader dengan instrumen kekuasaan sering menjadikan kader semakin split personality (berkepribadian ganda). Hal tersebut menjadikan kader semakin jauh dari nilai-nilai perjuangan HMI, nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi asas pembelaan terhadap kaum lemah dan terpinggirkan. Oleh karena itulah, dalam metode perkaderan NDI (baca ; FOSI) lebih menitikberatkan pada proses dialektika dalam penemuan spirit ketauhidan.


Sehingga beberapa dekade kemunculan MPO masih terbayang dengan FOSI. Memang sunatullah senantiasa menjadi ketetapan bagi semesta. Ketika MPO semakin berjalan dan mulai menemukan bentuk dinamisasinya, FOSI semakin terlupakan (pada masa kepengurusan Akh. Didik Harnanto, periode 1991-1992 hubungan antara MPO dan FOSI semakin renggang). Tentu saja hal ini juga disebabkan juga FOSI tidak memiliki instrumen pendukung yang turut membingkainya sebagai sebuah organisasi. Misalkan aturan-aturan, konstitusi serta piranti-piranti soft ware yang turut menopang sebagai persyaratan sebuah organisasi (tercatat Konstitusi FOSI baru di desain pada tahun 2000-an). Akibatnya, FOSI semakin “tenggelam” dan MPO semakin berjalan sesuai dengan arus sejarah yang membingkainya.


  1. Konsekuensi Perpecahan

Konsekuensi logis dari perpecahan tersebut antara lain; pertama, dari sisi hubungan secara personal dan keorganisasian antara HMP dan HMI semakin menegang. Sehingga terkesan tercipta sekat yang mengkotak-kotakkan gerakan HMI dan HMP. Tentu saja bukan hanya internal kader saja tetapi para alumni yang sepertinya juga tercipta gap-gap terselubung walaupun pada akhir-akhir ini gap-gap tersebut semakin menghilang seiring perubahan kembali HMP yang awalnya berasas pancasila kembali berasas Islam.


Kedua, sesuai dengan politik pemerintah untuk memecah belah gerakan Islam, maka pemerintah menerapkan politik belah bambu. Tentu saja pemerintah mengambil sikap bagaimana menganak emaskan HMP yang “taat” terhadap semua kebijakan pemerintah yang akhirnya tidak kritis terhadap pemerintah dan “menenggelamkan” HMI dengan berbagai cara. Misalkan bagaimana senantiasa memberikan tekanan yang penuh terhadap setiap aktivitas HMI. LK I sebagai pintu gerbang masuknya mahasiswa menjadi anggota HMI bukan hanya diselenggarakan pindah masjid satu ke yang lain karena menghindari represivitas penguasa, tetapi sering dilaksanakan di luar kota Semarang, misalkan di Pekalongan, Surakarta atau bahkan juga di pulau Karimunjawa, Jepara. Bahkan pernah menyelenggarakan LK I di Kandang Ayam.


Ketiga, sebagai konsekuensi logis bagi anggota adalah bagaimana bisa tetap survival di tengah kesulitan-kesulitan baik yang diciptakan oleh penguasa ataupun karena kondisi personal kader. Sehingga tidak jarang para aktivis HMI yang memilih untuk senantiasa berjuang di HMI dan dalam studynya sering terhambat. Tetapi hal tersebut tidak menjadikan HMI semakin surut tetapi semakin berkembang. Dan di situlah integritas kader diuji oleh tantangan zaman. Selain itu, konsekuensi logis dari perpecahan tersebut adalah penguasaan data serta kesekretariat HMI. Yang sampai saat ini HMP mendapatkan sekretariat yang permanen di Jl. Dewi Sartika, sedang HMI senantiasa nomanden (berpindah-pindah) seiring dengan batas kontrakan yang disepakati dengan pemilik rumah. Mulai dari di Jl. Genuk Perbalan, pindah ke Halmahera III dan cukup lama di Halmahera IV/36 dan akhirnya pindah juga ke Jl. Kenconowungu III/IA dan sebentar lagi juga akan pindah karena masa kontrakan sudah habis.


HMI DAN TRADISI BARU PERJUANGAN

  1. Karakter Perjuangan himpunan

  1. Situasi Perkaderan

Di setiap pergerakan tentu saja mempunyai tujuan. Tujuan tersebut yang kemudian dijadikan acuan dalam rangka ritme perkaderannya

Untuk lebih mendetailkan keterangan ini, dapat diambil dari data berikut :


    1. Fase Eksistensi organisasi (1986 – 1990)

Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • HMI dan FOSI menjadi 2 organisasi yang berada dalam satu tubuh (anggota HMI juga merupakan anggota FOSI)

  • Penataan organisasi setelah terusirnya dari sekretariat di JL. Dewi Sartika. Setelah 1 tahun baru mendapat sekretariat di JL. Genuk Perbalan

  • Komisariat terpecah 2 (kubu MPO dan Dipo). Komisariat peternakan, teknik, fakultas sosial, IKIP dan IAIN

  • Dominasi kekuatan HMI di wilayah UNDIP

  • Sebagian kader lebih memilih di HMI (MPO), meskipun selanjutnya banyak yang tak kuat karena represifnya orde baru.

  • Perkaderan banyak diorientasikan pada ideologisasi (keislaman)

  • Perekrutan dilakukan dengan kegiatan non formal (lembaga da’wah dan pengajian)

  • Porsi perkaderan lebih banyak tentang spiritualitas dan aktivitas da’wah lainnya.

  • Banyak terpengaruh pemikiran ikhwanul muslimin, pemikiran FOSI (Imadudin Abdurrohim, Pak zaeni Salatiga dkk)-dominasi-, dan tasawuf (Muhammad Zuhri Pati)

  • Pemikiran sosial politik lebih banyak pada “anti-orde baru” dan perlawanan terhadap simbol-simbol Pancasila


  • Pada periode ini di ketua umum Hanafi Sholeh dan Basuki Rahmat (2 periode)

  • Sumber: LPJ 1986-1987, Hanafi Sholeh, Cipto Sumedi, Basuki Rahmat


2. Periode Kemandirian Himpunan (1991 – 1994)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Terjadi kelesuan pada kepengurusan karena banyaknya aktivitas da’wah di luar

  • Terjadi konflik dengan FOSI secara organisatoris, sehingga mengakibatkan terpisahnya secara organisasi antara anggota HMI dan FOSI

  • Menguatkan posisi tawar sebagai HMI yang sah pewaris HMI 1947

  • Perkaderan mulai stabil (dapat mengadakan LK II kerjasama dengan cabang Jogja & beberapa kader mengikuti LK III)

  • Secara kuantitas kader mengalami penyusutan

  • Perkaderan terputus dari generasi sebelumnya yang lebih condong pada FOSI

  • Masa Peralihan antara Pemikiran ideologis (ala FOSI) dan pemikiran epistemik

  • Banyak dipengaruhi pemikiran HMI Cabang Yogyakarta

  • Penguatan dan rasionalisasi berdirinya HMI (MPO)

  • Ketua Umum : Didik Hernanto dan Failasuf Badruddin

  • Sumber : LPJ 1991-1992, LPJ 1993-1994, Didik Hernanto dan Failasuf Badrudin


3. Fase Pemikiran Epistemik dan Peradaban (1994 – 1997)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Perkembangan komisariat di berbagai Universitas, terutama UNISSULA

  • Kemandirian organisasi telah stabil, dan dapat mengatasi kemandirian pasca perpisahan dengan FOSI

  • Kepengurusan merupakan kader HMI murni

  • Penguatan konstitusi sebagai landasan perjuangan

  • Pembubaran KOHATI

  • Dominasi kekuatan HMI di wilayah IAIN Walisongo

  • Terdapat berbagai training tentang ke-HMI-an (penataran Khittah perjuangan, training kesekretariatan, SO, Managemen organisasi dll)

  • Kajian keilmuan di tingkat komisariat massif

  • Kuantitas dan kualitas pengader meningkat

  • Pembentukan jaringan dengan para tokoh masyarakat Semarang

  • Kajian rutin tentang Epistemologi islam dan peradaban

  • Keterbukaan dalam pemikiran

  • Penguatan wacana gender dan peran muslimah

  • Ketua Umum : Edi Darmoyo, Duta Grafika, Arif Pramudya

  • Sumber: LPJ 1994, LPJ 1995, Amir Kumadin, Sapto Widodo, Evi Wijayanti, Arif Pramudya


4. Fase Pengembangan Gerakan (1997 – 2001)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Pengembangan HMI sebagai organisasi formal dan modern

  • Perluasan medan da’wah dengan pembentukan komisariat

  • Menapaki kerjasama dengan berbagai gerakan

  • Banyak menyikapi masalah eksternal dan kemasyarakatan

  • Pembentukan komunitas sesuai dengan kompetensi dan minat bakat kader

  • Model perkaderan dengan berbasis komisariat

  • Kebebasan dalam mengaktuasisasikan konsepsi perkaderan

  • Suksesi kepemimpinan dan penguatan gerakan mahasiswa

  • Kajian revolusi, terutama Iran, masyarakat madani dan konsepsi minoritas kreatif

  • Penguatan pemikiran teoritis berbagai keilmuan

  • Ketua Umum : Fauzan Rosyidi, Candra Sosiawan, Shofa Muthohar dan Ahmad Supari

  • Sumber : LPJ 1998, LPJ 1999, Candra Sosiawan, Shofa Muthohar, Ahmad Supari, Supardi, dll


5. Fase Transformasi Keterbukaan (2001 – 2004)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • format HMI di masa keterbukaan

  • Pengembangan organisasi di berbagai kampus swasta

  • Penguatan silaturahmi dengan alumni berbagai generasi

  • Kerjasama dengan organisasi lain semakin intensif

  • Pembenahan managemen organisasi modern

  • Reposisi perkaderan HMI dalam nuansa keterbukaan

  • Penguatan peran lembaga khusus dan kekaryaan sebagai media aktualisasi kader

  • Pengembangan strategi perkaderan, terutama di komisariat

  • Pengutan peran HMI dalam kehidupan bangsa dan kenegaraan

  • Revolusi sistemik sebagai konsekuensi oposisi HMI dengan terjadinya kebekuan reformasi

  • Kapitalisme Global sebagai common enemy masyarakat


  • Ketua Umum : Singgih Prabowo, Moh Sri Handoko, Hermansyah.

  • Sumber: LPJ 2001, LPJ 2002, LPJ 2003, pelaku sejarah




6. Fase Penguatan Peran (2004 – 2007)


Ke-organisasi-an

Perkaderan

Pemikiran

Keterangan

  • Menguatan mulai dari keaparatan, intelektualitas dan jaringan

  • Menapaki jaringan dan berperan dalam wilayah ke-Semarangan

  • Penguatan peran HMI sebagai gerakan intelektual di Semarang

  • Pendaftaran HMI sebagai organisasi resmi

  • Dominasi kekuatan HMI di lingkungan IKIP PGRI

  • Pergolakan antara kualitas dan kuantitas kader

  • Mereposisi perkaderan dalam pekuliahan yang pragmatis

  • Perkaderan berbasis intelektual dan jaringan keumatan

  • Penguatan perkaderan secara struktural



  • Penguatan pemikiran tentang neo-liberalisme dan implikasinya bagi masyarakat

  • Penderivasian konsepsi peradaban baru dalam sistem sosial

  • Pengkajian kebijakan di wilayah Semarang

  • Ketua Umum : Imam Riyadi, Widayat Saputro, Muhammad

  • Sumber: pelaku sejarah



  1. Peta Pemikiran

Untuk bisa lebih menggambarkan sejauhmana kader HMI Semarang dalam memetakan pemikiran, maka dapat dilihat dari tabel berikut :


No

Tema PB HMI

Tema Cabang Semarang

Situasi











-




Periode 1979-1980 (Tadjri Djauhari)




-




Periode 1981-1982 (Masrifan Djamil)




Periode 1982-1983 ( Zaenal Muttaqin)



Periode 1984-1986 (Harry Azhar Aziz)

Periode 1984-1985 (Akhmad Rudiyanto-Catur Sembodo diganti Hanafi Sholeh)

  • Masa pergumulan dan pergolakan


Periode 1986 – 1988 (Eggy Sudjana)

  1. Periode 1986-1988 ( Ir. Hanafi Sholeh )

  • Masa-masa konsolidasi intern HMI

  • Penetrasi Birokrasi terhadap penentang Astung


Periode 1988 – 1990 (Tamsil Linrung)

Dengan Meningkatkan kualitas Ulil Albab kita menuju masyarakat yang di Ridloi Allah SWT”.


  1. Basuki Rahmat. SE ( Periode 1988 – 1989)

    • Masa pergolakan penemuan jati diri serta konsolidasi gerakan.


Periode 1990 – 1992 ( Masyhudi Muqorrobin)

Aktualisasi Universalitas Islam Sebagai Alternatif Tata Dunia Baru”


  1. Basuki Rahmat. SE ( Periode 1989-1990)

  2. Periode 1991-1992 ( Didik Hernanto) “Optimalisasi Peran HMI Sebagai Organisasi Kader dan Perjuangan Terhadap Kesinambungan Da’wah Global”

    • Proses pencarian alternative tata dunia baru yaitu melalui penggalian nilai-nilai Islam.


Periode 1992 – 1995 ( Agus Pri Muhammad)

Revitalisasi Kepemimpinan Menuju Masyarakat Rabbani

  1. Periode 1993 – 1994 ( Failasuf Badaruddin) “ Aktualisasi Kader Menuju Integritas Ummat”

  2. Periode 1994 – 1995 ( Eddy Darmoyo) “Internalisasi, Konsolidasi & Aktualisasi Kader langkah Integral himpunan menuju Peradaban Islam”


    • Proses pembauran HMI di masyarakat sebagai upaya mengkonkretkan eksistensi HMI.


Periode 1995 – 1997 ( Lukman Hakim Hasan) “Membangun Jaringan Keummatan Menuju Masyarakat Berkeadilan”

  1. Periode 1995 – 1996 ( Duta Grafika) “Revitalisasi Nilai Perjuangan Kader Menuju Kebangunan Peradaban Islam”

  2. Periode 1996 – 1997 ( Arief Pramudya)


    • Upaya penemuan kembali semangat dalam berIslam dan upaya untuk mentransformasikannya.


Periode 1997 – 1999 ( Imron Fadhil Syam) “ Meletakkan Dasar-dasar Perubahan Yang Humanis dan Transendental Menuju Masyarakat Madani”




  1. Periode 1997 – 1998 ( Fauzan Rosyidi) “Mengembangkan Mentalitas Creatif Minority Menuju Masyarakat Madani”

  2. Periode 1998 – 1999 ( Candra Sosiawan) “ Mengembangkan dasar-dasar Budaya Kreatif yang Humanis dan Transenden Menuju Masyarakat Madani”

    • Runtuhnya Rezim ORBA

    • Uphoria reformasi, era Keterbukaan

    • Kerinduan akan keniscayaan Perubahan

    • Perlunya Peranan Penguatan Masyarakat Sipil

    • Masa-masa Transisi


Periode 1999 – 2001 ( Yusuf Hidayat) “ Aktualisasi Visi Profetis Menuju Masyarakat Berkeadilan dan Berkeadaban”


  1. Periode 1999 – 2000 ( Shofa Muthohar) “Aktualisasi Peran Prophetis Menuju Masyarakat Madani”

  2. Periode 2000 – 2001 ( Akhmad Supari)

    • Reposisi Misi HMI pembawa misi Prophetis.

    • Penguatan bangunan Masyarakat sipil untuk berdaulat”


Periode 2001 – 2003 (Syafinuddin Al Mandary) “Revolusi Sistemik; Ikhtiyar Menegakkan hak-hak dan Partisipasi Kaum Mustad’afin Yang Humanis dan Transenden menuju baldatun Thoyyibatun Warobbun Ghofur”


  1. Periode 2001 – 2002 (Singgih Prabowo) “Revitalisasi Karakter Ulil Albab dalam Da’wah Kemanusiaan Menuju Masyarakat Ethis”

  2. Periode 2002 – 2003 ( Sri Handoko) “Implementasi Integrasi kader Dalam Revolusi Sistemik Menuju Masyarakat yang Berkeadilan”

    • Gagalnya Reformasi sebagai solusi perubahan tatanan kebangsan

    • Konseptualisasi Revolusi sebagai solusi perbaikan.

    • Konsolidasi kekuatan “status Quo” dengan “atribut yang beda.


Periode 2003 - 2005 (Cahyo Pamungkas) “Perubahan Sistem Ke-Indonesiaan Untuk Kaum Lemah dan Terpinggirkan”

  1. Periode 2003-2004 ( Hermansyah ) “Penguatan Peran HMI Menuju Perubahan Sistem Ke-Indonesiaan”

  2. Periode 2004-2005 ( Imam Riyadi ) “Rekonstruksi Kesadaran Perjuangan dalam Memanifestasikan Kreatif- Humanis sebagai Ikhtiyar Mewujudkan Masyarakat Transenden”


    • Penguatan konsepsi Revolusi sebagai solusi.

    • Gerakan GOLPUT Pemilu 2004 sebagai jalan Revolusi.

    • Kesadaran Kader dalam ber-HMI yang harus diperkuat kembali


Periode 2005 – 2007 ( Muzakkir Jabir) “Gerakan Tamadduni Masyarakat Sipil Untuk Pembelaan Kaum Lemah dan Terpinggirkan”

  1. Periode 2005-2006 ( Widayat Saputro) “Penguatan Gerakan Intelektual Menuju Peradaban Tauhid”

  2. Periode 2006-2007 (Muhammad) “Penguatan Jaringan Keummatan Dalam Mentransformasikan Peradaban Berkearifan”

    • Upaya reposisi peran hmi serta upaya untuk memunculkan strategi yang beda seiring dengan perubahan situasi yang semakin terbuka.


  1. Peran HMI dalam Dinamika ke-Semarang-an

Menjadi sebuah keniscayaan, ketika membicarakan HMI berarti kita membicarakan sejauh mana HMI mampu berperan untuk kadernya, untuk masyarakat. Walaupun begitu, kita sering terjebak dengan peran HMI apakah memang “hanya” diperuntukkan untuk mahasiswa “ansich” ataukah kehadiran HMI dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Walaupun HMI sering mendefinisikan kader adalah masyarakat itu sendiri. Tetapi pada kenyataannya, ketika seseorang mahasiswa masih menjadi kader, maka keterlibatannya dalam pergumulan sosial masih perlu dioptimalkan. Hal inilah yang menjadi cukup kendala ketika HMI harus memposisikan ide, gagasan-gagasannya ke masyarakat. Faktor yang melatarbelakangi, apakah disebabkan karena model gerakan HMI pasca 1986 yang cenderung penguatan sisi internal saja, atau ini adalah bagian dari setting kekuasaan dalam rangka me”mandul”kan, mengalienasikan HMI dalam arus pusaran masyarakat yang semakin terbuka. Hal ini masih terbuka sekali ruang dialektikanya.


Setiap periode mempunyai karakter, daya aksentuasi yang berbeda. Ada style gerak periode kepengurusan yang lebih menitikberatkan pada penguatan basis internal, ada suatu periode kepengurusan yang lebih menitikberatkan pada dinamika eksternal, ranah kepengurusan cabang adalah ranah politis dan komisariat mempunyai tanggungjawab disisi perkaderan. Tentu saja hal ini tidak dapat dinafikan dari kondisi, situasi yang melingkupinya serta upaya-upaya untuk menjawab problematika keummatan yang sedang menggejala.


Tentu saja ketika membicarakan peran HMI maka tidak dapat dilepaskan dari citra, trademark Semarang sebagai kota dengan style industrialisasi yang tinggi serta pengembangan berbasis perdagangan yang cukup santer. Hal inilah yang cukup membuat gerakan HMI berkelidan dalam pusaran dinamisasi daerah. Karakteristik serta citra semakin menempatkan HMI sebagai organisasi “kiri”. Kiri yang dimaksud adalah bagaimana apresiasi yang sangat tinggi terhadap problematika kerakyatan yang semakin jauh dari kesejahteraan, kaum-kaum marginal, lemah dan terpinggirkan. Serta juga isu global-nasional yang semakin berjalan, momentum yang semakin berhimpitan sehingga memerlukan pensikapan yang jelas.


Periode awal munculnya HMI MPO yaitu masa kanda Hanafi Sholeh (1986-1988). (tercatat beliau termasuk salah satu orang yang turut menandatangani munculnya Majelis Penyelamat Organisasi di Yogyakarta). Tentu saja yang dihadapi HMI MPO bukan lagi hanya “birokrasi Pemerintahan saja” tetapi HMI DIPO yang secara ideologis, kultur dan sebagainya selalu menampakkan “ketidaksenangannya”. Sehingga yang diperlukan saat itu adalah bagaimana melakukan konsolidasi berbagai komisariat yang masih tetap setia dengan Asas Islam serta bagaimana mengkomunikasikannya kepada seluruh komponen di Semarang. Konsekuensi logis dari pilihan tersebut adalah stigma bahwa HMI (MPO) adalah organisasi “Under Ground”, gerakan inkonstitusional yang tidak “taat” terhadap kebijakan penguasa. Pada awal ini kegiatan HMI bersifat konsolidasi internal organisasi baik ke lokal Semarang ataupun agenda HMI MPO secara nasional.


Warna serta model perjuangn HMI semakin lama semakin berjalan menemukan bentuk terbaiknya. Kondisi tekanan penguasa yang semakin represif mengharuskan gerakan HMI harus mampu mensolidkan internalnya. Periode selanjutnya yaitu Basuki Rahmat yang menjabat dua kali periode (1988-1990) menempatkan gerakan HMI pada sisi penguatan internal organisasi. Periode selanjutnya yaitu masa Didik Hernanto (1991-1992) yang tetap gigih memberikan semangat jihadnya untuk perjuangan. Kondisi eksternal HMI, upaya represivitas pemerintah kepada HMI, mengharuskan HMI harus menggunakan “manthel” (institusi kantong) sebagai media perjuangan HMI agar tidak dapat dideteksi oleh kekuatan pemerintah. Maka pada periode ini HMI mengambil strategi pembentukan forum komunikasi yang sebenarnya dijadikan sebagai media transormasi gagasan HMI. Misalkan di Jakarta ada FKMIJ (Forum Komunikasi mahasiswa Islam Jakarta), di Yogyakarta terbentuk LMMY (Liga mahasiswa Muslim Yogyakarta) serta di Semarang terbentuk FKMIS (Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Semarang). Forum ini bergerak secara massif dan akhirnya mampu menekan pemerintah untuk membubarkan SDSB pada tanggal 25 November 1993. Dan pada periode ini hubungan antara HMI dan FOSI semakin merenggang dan akhirnya semakin jauh dan mengambil jalan masing-masing.


Pada masa Failasuf Badaruddin (1993-1994) gerakan HMI mencoba untuk menyatu dengan ummat. Maka pada periode tersebut HMI mempunyai TPA (Taman Pendidikan AlQur’an) binaan di Karanganyar. Hal ini sebagai wujud komitmen HMI untuk senantiasa menyatu dengan ummat dan berupaya untuk memberikan sumbangsih perubahan ditengah-tengah masyarakat. Selain itu, HMI juga menyediakan tenaga-tenaga Khotib Jum’at yang siap ditempatkan dimanapun tanpa embel-embel apapun. Strategi ini diambil sebagai bentuk keprihatian terhadap nuansa Semarang yang semakin sesak akan kepulan asap cerobong industri, serta gerigi-gerigi roda pabrik yang semakin mencekik dan mengalienasikan masyarakatnya dari nilai-nilai relegiusitas. Pada masa selanjutnya yaitu Edy Darmoyo (1994-1995) dan Duta Grafika (1995-1996) serta Arief Pramudya (1996-1997) cukup stabil dari sisi keorganisasian. Kampus IAIN dan UNDIP menjadi basis kader HMI. Upaya yang senantiasa di lakukan antara lain menjada tradisi intelektualitas kader HMI tanpa mengesampingkan


Periode yang cukup getol penguatan sisi eksternal antara lain periode mas Fauzan Rosyidi (periode 1997-1998). Hal ini tentu saja tidak dapat dilepaskan dari kondisi kebangsaan yang sedang berjalan (baca; Reformasi). Bahkan pada periode ini menitik beratkan pada suatu gerakan “Mosque Simbolizing Movement”. Suatu upaya untuk melakukan penyadaran keummatan melalui sarana masjid. Hal ini dalam rangka turut serta mendorong dan “mengobarkan” semangat reformasi yang mulai semakin berkecamuk. Selain itu, untuk turut mendorong agar kader sedikit “melek” politik, serta upaya untuk memunculkan wadah gerakan “bayangan” maka dibentuklah FUMIS ( Forum Mahasiswa Islam). Walaupun pada akhirnya forum ini tidak bisa berjalan dengan baik, karena beberapa kendala yang melingkupinya, tetapi FUMIS ini menjadi salah satu ikon gerakan mahasiswa Islam di Semarang yang turut “mendorong” serta “menyulut” api reformasi. Selain itu untuk kembali menegaskan “jihad fi sabilillah”, maka pada periode ini mengambil touch”Budaya Creatif Minority”. Salah satu hasil daya daya kreatifitas periode ini adalah desain ”The Expansive Of Survival”. Yaitu upaya untuk tetap survival dengan cara pelebaran sayap HMI di beberapa kampus yang belum terjamah. Salah satunya adalah rekayasa di IKIP PGRI Semarang. Pada periode ini telah terbentuk komisariat persiapan, yaitu Komisariat Lontar yang awalnya masih “nginduk” pada Komisariat Pleburan Undip Semarang.


Dengan kondisi yang semakin memanas dan memuncaknya “api” reformasi, maka pada periode selanjutnya (baca;Candra Sosiawan, 1998-1999) kembali menegaskan diri pada suatu gerakan yang mengawali pengobaran api reformasi. Dengan mengonsolidasikan gerakan yang tertata rapi dengan berbagai elemen kampus dan ormas Islam, maka munculah HMI cabang Semarang sebagai pioner munculnya perubahan melalui gerbang reformasi. Kasus pengeboman masjid Istiqlal jakarta menjadi salah satu pemicu terhadap penyatuan visi kepada para elemen Islam di Semarang. Selain dinamika eksternal tersebut, secara internal telah muncul dua komisariat baru yang sama-sama berasal dari IKIP PGRI Semarang, yaitu komisariat FPBS dan FPMIPA. Selain itu, muncul juga komisariat persiapan IKIP Semarang (yang sekarang telah berubah menjadi UNNES, Universitas Negeri Semarang) dan STIMIK-AKI (sekarang berubah menjadi UNAKI (Universitas Aki). Hal ini muncul sebagai sebuah konsekuensi dari keberhasilan HMI dalam menggelorakan perjuangannya. Hampir sama fenomenanya ketika HMI ingin dilenyapkan oleh komponen yang tidak sepakat (PKI dan Underbouw-nya) pada tahun 1965 dan HMI mampu membuktikan idealismenya serta manifestasi perjuangannya, maka mahasiswa berduyun-duyun ingin menjadi anggota HMI (tercatat pada tahun 1965 karena begitu banyaknya mahasiswa yang menginginkan menjadi anggota HMI maka Stadiun Gelora Bung Karno, Senayan Jakarta menjadi saksi pelaksanaan penerimaan anggota baru HMI). Dengan demikian, terbukti bahwa HMI semakin ditekan ia bagai fenomena hukum Archimides. Semakin ditekan kebawah maka ia akan memberi perlawanan sebesar tekanan tersebut keatas atau bahkan lebih besar. Hal ini terpancar dari kekuatan idealisme serta keyakinan akan perjuangan ini.


Perjuanganpun dilanjutkan pada periode Shofa Muthohar (periode 1999-2000). Bentuk, karakter perjuangan pada periode ini cukup diwarnai pada dinamika politik kebangsaan pasca tumbangnya rezim diktator, Orde Baru. Ketika reformasi telah berhasil digulirkan, dan seluruh bangsa ini telah “resmi” memasuki masa transisi, maka menjadi sebuah keniscayaan untuk melakukan gerakan yang sifatnya mendidik serta upaya penyadaran kemasyarakat akan nilai-nilai perubahan, demokratisasi. Maka untuk mewujudkan gagasan besar itu, pada periode ini semakin menjamurnya lembaga-lembaga kekaryaan yang berfungsi untuk melatih dan menajamkan ide-ide kreatif kader yang sifatnya praksis-profesional. Mulai dari lembaga kekaryaan, yaitu LAPMI (Lembaga Pers Mahasiswa Islam), LDMI (Lembaga Da’wah Mahasiswa Islam), LAPELMI (Lembaga Penelitian mahasiswa Islam) sampai dengan KOPMI (Koperasi Mahasiswa Islam). Dan lembaga Khususnya yaitu KPC (Korps Pengader Cabang). Selain itu, pada periode ini kembali menegaskan diri sebagai organisasi yang mempunyai bentuk kepedulian terhadap kondisi ke-Semarang-an melalui serangkaian kegiatan ditengah-tengah masyarakat.


Beberapa periode lain yang mempunyai pilihan action eksternal cukup tinggi yaitu masa periode Akhmad Supari (Periode 2000-2001). Latar belakang aktivitas keorganisasian para punggawa kepengurusan turut memberikan andil, “sumbangsih” terhadap pola yang terapkan ketika berada di HMI. Misalkan keterlibatannya dalam organisasi internal kampus atau organisasi yang lain sering membuat pilihan-pilihan aktivitas pada masa di HMI tidak jauh dari hal hal tersebut. Pada masa tersebut, perjuangan HMI ketika melihat persoalan kerakyatan kelihatan “kentara” sekali. Mulai dari aksi “Hapus Perjudian di Kota Semarang” (di Semarang terkenal bandar judi , yaitu A-Seng), “Tolak Kemaksiatan” (di Simpang lima yang terkenal dengan teh POCI) sampai dengan aksi penggalangan aliansi masyarakat anti kemaksiatan (KUAK) atau lebih dikenal dengan Koalisi Ummat Anti Kemaksiatan. Hal tersebut tentu melibatkan organisasi internal ataupun eksternal yang concern terhadap persoalan kerakyatan tersebut. Tentu saja pilihan tersebut mempunyai dampak yang luar biasa, baik secara internal ataupun eksternal. Secara internal semakin memberikan “angin segar” akan arti sebuah perjuangan, secara eksternal HMI semakin ditahbiskan sebagai organisasi yang berada di avant gard ( garda depan) dalam pemberantasan kemaksiatan, baik oleh masyarakat secara umum atau elemen Islam yang ada di Semarang. Pilihan tersebut kadang masih diterima oleh masyarakat dengan perlawanan juga. Pernah terjadi, ketika Semarang dilanda isu bahwa HMI akan melakukan aksi “TUTUP PERJUDIAN !”, maka sebagian masyarakat yang berjumlah kira-kira ratusan sudah siap “Menyambut” aksi tersebut di simpang lima dan Air Muncrat. Akhirnya aksi tersebut di tunda sebagai strategi untuk menghimpun tenaga lebih besar lagi.


Pada periode selanjutnya, yaitu ; Singgih Prabowo (periode 2001-2002) lebih menitikberatkan pada pembangunan jaringan kampus serta upaya untuk menguatkan desain organisasi. Pada periode ini, ada pengembangan sayap gerakan di berbagai kampus, misalkan di UNDARIS, Ungaran serta di UNTAG Semarang. Tetapi karena pendampingan yang belum maksimal, rencana tersebut akhirnya hanya menjadi perjalanan setengah hati. Akhirnya pada periode tersebut lebih menitikberatkan pada pengembalian gerakan HMI di institusi kantong (baca; Organisasi Intra Kampus).


Periode Sri Handoko (2002-2003) serta dorongan wacana, pemikiran yang cukup menguat di HMI yaitu Revolusi Sistemik, maka aktivitas di HMI lebih ditekankan pada proses sosialisasi ide, gagasan HMI ke masyarakat ataupun ke elemen-elemen pergerakan yang lain. Pada masa itu, gagasan Revolusi Sistemik mendapatkan sambutan yang cukup hangat dari berbagai komponen masyarakat mengingat “kegagalan Reformasi” yang berjalan setengah hati atau bahkan hanya di jadikan forum konsolidasi “status Quo” untuk mendapatkan kekuasaannya kembali dengan strategi yang berbeda. Menyadari HMI tidak mungkin berjalan sendiri, maka diperlukan suatu produk konsolidasi dengan seluruh komponen yang se-ide dengan HMI. Maka terbentuklah Sek-Ber PRODEM (Pro Demokrasi) yaitu terdiri dari kelompok-kelompok gerakan di Semarang yang concern dengan isu-isu kelokalan. Antara lain LMND, PRD, KAMD (Sekarang SMI), dan organisasi intra kampus. Selain itu HMI juga membidani lahirnya FSUI (Forum Silaturahmi Umat Islam) di Semarang, serta FSR Jateng (Forum Solidaritas Rakyat) Jateng. Selain itu juga terbentuk aliansi-aliansi taktis dengan kelompok pergerakan ataupun elemen kerakyatan misalkan aliansi turunkan harga dsb. Dan yang cukup menjadi catatan pada periode ini adalah dimulainya sosialisasi “GOLPUT”. Suatu strategi untuk memberikan pensikapan atas tindakan, sikap para birokrat pemerintah, penguasa yang sama sekali tidak memperhatikan dan memperjuangkan rakyat. GOLPUT sebagai sebuah cara untuk memberikan pandangan bahwa rakyat sudah muak dengan segala tetek bengek ellit penguasa yang sama sekali tidak pro-rakyat dan diyakini bahwa GOLPUT adalah salah satu jalan menuju Revolusi Sistemik. Dan pada masa ini HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai penyelenggara Kongres HMI ke 24 pada bulan September 2003.


Masa perjuangan selanjutnya adalah penegasan sikap HMI terhadap sistem kenegaraan yang semakin tidak menentu. Hermansyah ( periode 2003-2004) memberikan garis jelas terhadap visi kepemimpinannya “Penguatan Peran HMI Menuju Perubahan Sistem Keindonesiaan”. Periode ini menitikberatkan pada study kritis kebangsaan serta upaya untuk menyediakan jalan terang. Kondisi perkaderan secara internal kurang ebrjalan dengan baik. Beberapa komisariat (Komisariat Ushuluddin dan Da’wah) semakin “kurus” dan diperlukan upaya strategis untuk “menjaganya”, kalau tidak “menggemukkannnya” agar bisa tetap hidup. Di sisi lain ada ghiroh yang luar biasa dari beberapa komisariat baru untuk beraktivitas (baca ; Kom. FPMIPA dan FPBS IKIP PGRI Semarang). Masa perjuangan pada periode ini semakin berjalan dan terlepas dari berbagai kekurangannya, HMI Cabang Semarang telah berjuang sekuat tenaga untuk senantiasa amanah terhadap hasil konferensi. Walaupun pada akhirnya masa kepemimpinannya dinilai kurang berhasil, tetapi telah memberikan yang terbaik buat HMI. Pada akhir periode ini, sekretariat HMI yang semula ada di Jl. Halmahera IV/36 harus segera pindah, karena masa kontrak telah habis. Wisma perjuangan tersebut sekarang telah dijadikan suatu unit usaha serta kembali ditempati pemiliknya.


Melihat kondisi internal HMI yang semakin berkurang ghirroh perjuangan kadernya, maka pada periode Imam Riyadi (2004-2005), perjuangan HMI lebih dititik beratkan pada pembangunan kesadaran ber-HMI bagi kader serta upaya untuk mengkonsolidasikan gerakan himpunan sebagai gerakan yang eksis. Perpindahan sekretariat turut menjadi semangat baru dalam berkarya. Yang semula berada di Jl. Halmahera IV/36 sekarang pindah ke Jl. Kenconowungu III/IA-Karangayu, Semarang Barat. Pada periode ini dibangun kembali spirit dalam ber-HMI serta bagaimana eharusnya ber-HMI. Maka kegiatan yang sering dilakukan adalah turba/turun ke bawah (memang tidak ada istilah turun keatas) menggali data ke komisariat serta upaya untuk meneguhkan kembali ber-HMI. Suatu hal yang senantiasa menjadi catatan pada periode ini adalah pada masa akhir kepengurusan, Konferensi cabang diselenggarakan di sekretariat sebuah partai Politik (baca; DPW PPP, Jalan Ngaliyan – Mangkang). Tentu saja hal ini menjadi sorotan bukan hanya publik HMI saja, tetapi juga alumni dan elemen pergerakan yang lain. Tetapi akhirnya penjelasan cabang terkait dengan tempat penyelenggarakan Konferensi dapat diterima seluruh kader walaupun harus memakan waktu yang cukup lama. Intinya bahwa tidak ada kompensasi politis atau akomodasi politik antara cabang dengan partai tertentu, dan pilihan tersebut lebih disebabkan karena persoalan finansial. Tentu saja HMI Cabang Semarang tetap bersikukuh dengan sifat Independensinya.


Widayat Saputro yang diamanahi sebagai Ketua Umum HMI Cabang Semarang periode 2005-2006 meneguhkan visi gerakannya dengan “Penguatan Gerakan Intelektual Menuju Peradaban Tauhid”. Sebuah upaya untuk menanamkan pada diri kader bahwa HMI merupakan Gerakan Intelektual yang tentu saja menitik beratkan bukan hanya pada sisi reaktif-reaksionernya saja, tetapi dibutuhkan paradigma filosofis yang membingkainya. Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu titik tekan masa perjuangan periode tersebut sehingga HMI sebagai organisasi perkaderan dan perjuangan senantiasa menjaga tradisi kesinambungan serta upaya untuk menjaga stabilitas himpunan yang tidak terjebak pada suatu periode kepemimpinan. Pada masa ini HMI Cabang Semarang mengkonsolidasikan seluruh elemen Islam di Semarang dalam mensikapi Pornografi dan pornoaksi. Elemen yang terlibat antara lain PII, IMM, IRM, NU, Muhammadiyyah, HTI, Gema Pembebasan, Aisyiyah, KAMMI dan remaja masjid untuk bersatu padu dalam common platform “APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi). Selain itu, pada periode ini terbentuklah suatu komisariat baru yaitu Komisariat AKP WIDYA BUANA, Semarang yang kebetulan Direkturnya adalah Alumni HMI.


Periode selanjutnya diamanahkan pada Muhammad ( 2006-2007). Kondisi serta situasi yang berbeda tentu saja membutuhkan pensikapan yang berbeda pula. Tipologi masyarakat yang semakin terbuka mengharuskan HMI untuk mampu memformulasikan strategi tersendiri untuk memformulasikan ide, gagasan HMI di masyarakat. Penguatan Jaringan Keummatan dalam Mentransformasikan Peradaban Berkearifan menjadi visi kepemimpinan selama satu periode. Upaya untuk membangun Jaringan yang dirasa sampai saat ini masih perlu dikuatkan menjadi titik tekan tersendiri pada periode ini. Pada periode ini HMI Cabang Semarang bersama-sama elemen pergerakan Mahasiswa antara lain LSM KP2KKN, LBH Semarang, PATTIRO, BEM UNDIP, UNISSULA membentuk aliansi taktis yaitu GEMPUR (Gerakan Masyarakat Peduli Uang Rakyat). Sebuah aliansi untuk mensikapi terbitnya PP. 37 tahun 2006 tentang protokoler pimpinan DPRD dan anggota DPRD yang sarat akan nilai-nilai korupsi (korupsi yang dilegalkan). Dan akhirnya desakan dari masyarakat mampu menyurutkan langkah eksekutif untuk memberlakukannya yang akhirnya sampai saat ini masih dalam tahap perevisian.


  1. Relasi antara HMI dan Kekuasaan

Satu ciri yang kental bagi HMI MPO sampai saat ini adalah menjadikan HMI senantiasa Independent dan jauh dari kooptasi pemerintah, intrik-intrik politis yang jauh dari nilai religiusitas. Sehingga tidak heran ketika menjadi aktivis Hmi senantiasa menempatkan pemerintah sebagai kelompok masyarakat yang senantiasa dikawal setiap kebijakannya. Hmi memposisikan sebagai keuatan intelektual (Intelektual Movement), sebagai pressing Group (Group penekan) serta Moral Force (kekuatan Moral) yang berada digarda terdepan (Avant Gard) dalam berjuang.


Pilihan HMI yang berbeda dengan HMP (Himpunan Mahasiswa Pancasila; sebutan yang populer ketika terjadi perpecahan) menjadikan HMI harus mampu menjaga jarak dengan instrumen politis dinegeri ini. Terlebih ketika godaan syahwat politik yang semakin kuat menarik arus para kader HMI, maka HMI harus memback-upnya dengan upaya pensikapan yang jelas. Konsekuensi logis dari semua itu adalah bagaimana membangun integritas kader agar mampu survival dari setiap pergolakan zaman.


Bila ditilik dari kesejarahan HMI setidaknya pilihan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, munculnya HMI (MPO) sebagai kekuatan yang secara tegas dan lugas menolak kebijakan pemerintah yaitu UU No. 8 tahun 1985 tentang Asas Tunggal Pancasila. Konsekuensi logis dari sikap itu adalah menempatkan HMI vis a vis kepada pemerintah. Sehingga pada masa itu menjadi PNS adalah sebuah hal yang sangat dihindari, apalagi menjadi pejabat publik atau bahkan terlibat dalam dunia politik praktis. Sehingga pernah terjadi penskorsingan keanggotaan salah seorang eks ketua komisariat (Rosyid Ridlo, Eks-Ketum HMI Kom. FPBS IKIP PGRI Smg) yang terlibat dalam partai politik praktis pada pemilu 2004.


Kedua, sebagai bentuk perlawanan yang termanifestasikan dari sikap serta integritas kader melalui proses kaderisasi di HMI. Bagaimanapun juga sikap HMI yang senantiasa berjuang dengan kegigihan, nilai tauhid yang tinggi serta proses ideologisasi yang kuat telah melahirkan kader-kader yang mampu bersikap dan bertindak secara mandiri tanpa ada tekanan dari manapun. Pilihan untuk tetap berasas Islam adalah sebuah pilihan yang “berani”. Karena yang dihadapi bukan lagi hanya HMP tetapi adalah penguasa yang lagi jaya-jayanya menancapkan kuku rezimnya yang otoriter.


HMI SEKARANG DAN MASA DEPAN

  1. Relasi Kader dan Alumni Himpunan

Bagi HMI keberadaan alumni menjadi salah satu resources yang sangat vital. Sumber daya baik yang sifatnya transfer intelektual ataupun yang sifatnya material. Ketika HMI lahir dan tentu saja ini merupakan konsekuensi logis dari sifat Independensi organisasi. Untuk itulah perlu dijadikan suatu jalinan komunikasi yang intensif agar kehadiran HMI senantiasa dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.


KAHMI yang notabenenya merupakan wadah korps alumni HMI menjadi semakin dangkal untuk menerima seluruh kader HMI. Kecenderungan tekanan alumni kepada HMI (MPO) menjadi semakin mengalienasikan kader dengan para kanda/yundanya. Bahkan KAHMI seolah-oleh tidak merestui keberadaan HMI sebagai organisasi Islam secara organisatoris atau secara persol. Hal ini terjadi dengan latar belakang bahwa banyak alumni HMI yang tergabung dalam KAHMI merupakan pejabat struktural di lingkungan pemerintah yang tentu saja merupakan tangan panjang pemerintah. Oleh karena itu membuat HMI (MPO) semakin tersudutkan. Tapi karena semangat perjuangan yang luar biasa, hal tersebut tidak menjadi kendala yang sangat berarti. Sehingga alumni HMI lebih memilih tidak terlibat dalam dinamika KAHMI.


Untuk mewadahi para alumni HMI MPO maka pada tahun 2006 terbentuklah forum silaturrahmi alumni. Walaupun begitu masih terkesan kurang “menggigit” dikarenakan kesibukan secara persolan para alumni. Tetapi kita meyakini bahwa jalinan erat yang telah terbangun semasa di Hmi tidak akan mudah untuk dilepaskan atau dikendorkan.


  1. Mimpi rekonsiliasi menuju “HMI” Satu

Isu rekonsiliasi selalu menjadi bahan perbincangan yang hangat dikalangan kader HMP. Bahkan selalu markateble dalam forum kongres untuk mensukseskan kandidat menjadi ketua umum. hal tersebut tentu menjadi kecenderungan disetiap kader bahkan buka hanya kader tetapi dunai pergerakan Islam secara keseluruhan. Bahkan para alumni senantiasa “menyarankan” rekonsiliasi terjadi antara HMI dan HMP.

Tapi karena kristalisasi yang semakin mengeras serta bukan hanya alasan politis saja yang melatarbelakangi perpecahan tersebut. Tepai juga lebih bersifat idiologis tentu saja tidak mudah untuk mempersatukan sesuatu yang sifatnya fundamen. Bahkan sangat terbuka sekali penyatuan HMI tersebut akan semakin memperkeruh suasana karena kultur yang semakin berbeda. Menyatukan dua organisasi yang perbedaan keduanya bukan hanya karena persoalan politis saja, tetapi karena alasan ideologis sangat terbuka sekali hanya memindah konflik di meja-meja kongres, forum pengambilan keputusan dan akhirnya akan semakin menyita energi sedangkan misi untuk keummatan semakin terbengkelai.

BIBLIOGRAFI

    1. Rizqi, Awalil, Dinamika Sejarah HMI, HMI Badko Inbagteng, 1990, Yogyakarta.

    2. Soe Hok Gie, 2003; Di Bawah Lentera Merah, Bentang, Yogyakarta.

    3. Sitompul, Agus Salim, 1994, Sejarah HMI, LP3M, Yogyakarta

    4. Sitompul, Agus Salim, 2001, HMI Mengabdi Ummat dan …..Negara, LP3M, Yogyakarta

    5. Seputar Semarang, hal. 10, Edisi 30 Januari – 5 Februari 2007

    6. Bulletin Kritis, Hal 8, Edisi 39/Oktober 2006, LBH Semarang

    7. Karim, Rusli ; 1990; HMI MPO, Bentang, Jakarta

    8. Tanja, Victor ; 1989 ; HMI, Tiga Serangkai, Jakarta

    9. Al Mandary, Syafinuddin ; 2002, HMI dan Wacana Sosial, Hijau Hitam, Jakarta


TIM SIMPOSIUM SEJARAH HMI CABANG Semarang

  1. Ukht. Umami ( Ketua TIM ), seorang akhwat kelahiran Batang ( 13 Desember 1983) yang masih tercatat sebagai mahasiswi di Fakultas Tarbiyah IAIN Wali Songo, Semarang. Hobby makan yang serba pedas dan nggak terlalu panas. Biasanya terkesan “galak” dan “serem” kata para kader, tetapi sebenarnya baik dan tidak sombong. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai Sekretaris Umum periode 2006 – 2007 M.

  1. Aa'. Muammar Taufiq (Sekretaris TIM), Ikhwan “gagah” dan kadang-kadang terkesan flamboyan dengan selera humor tinggi ya agak lucu. Lahir di Kota Sweeke Purwodadi, 11 Februari 1986 dan masih Tercatat sebagai mahasiswa di IKIP PGRI Semarang Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Pernah di amanahi sebagai ketua Umum Komisariat FPBS periode 2005-2006 M. sekarang diamanahi sebagai staff Bidang PPO di HMI Cabang Semarang.

  1. Ukht. Haryanti ( Tim Interview ), Lahir di Grobogan 1 Juli 1985. Akhwat yang kadang-kadang terkesan “sok Yee” ini (dalam artian positif) merupakan fenomena akhwat tangguh. Masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan P. Biologi / FPMIPA IKIP PGRI Semarang. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai staff bidang PIK (Pengembangan Intelektual dan Kebudayaan).

  1. Akh. Muhammad ( TIM investigasi Dokumen dan Interview ), lahir di kota kecil sisi timur Provinsi Jawa Tengah yaitu Kota Pati, 9 April 1983. Menghabiskan masa kecilnya dalam asuhan nuansa kearifan. Tercatat sebagai mahasiswa Jurusan P. Biologi/FPMIPA IKIP PGRI Semarang. Pernah diamanahi sebagai ketua komisariat FPMIPA periode 2004-2005 dan sekarang di cabang Semarang diamanahi sebagai Ketua Umum periode 2006-2007 M....

  1. Mas Agus Thohir ( TIM Investigasi Dokumen dan Interview ). Ikhwan dengan rambut gaya gondrong abis anak gaul sekarang, yang lagi memperdalam tentang arkeolog, ideologi dan tokoh pergerakan. Ia tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN WS. Lahir di Purwodadi_city, 20 Januari 1986. Sampai sekarang masih tercatat sebagai aktivis Pers Amanat, Surat Kabar Kampus, pernah menjabat sebagai Ketua HMI Komisariat Tarbiyah IAIN WS Periode 2005-2006 dan lagi merintis kelembagaan sekaligus komunitas lingkar studi alternatif semarang. Di HMI Cabang Semarang diamanahi sebagai Staff Bidang JKU (Jaringan Komunikasi Umat) tapi tetap aja banyak mikirnya untuk bidang yang lain....

  1. Ukht. Tri Yuliana (TIM Investigasi dokumen). Akhwat dengan hobby naik sepeda ini sering terlihat sibuk mondar-mandir dari satu komisariat ke komisariat yang lain. Maklum, di Cabang Semarang ia diamanahi sebagai Ketua Bidang PPO (Pembinaan dan Pengembangan Organisasi). Ia Lahir di Kota Brambang, Yaitu Brebes, 24 Juli 1985. masih tercacat sebagai mahasiswa Jurusan P. Fisika/FPMIPA IKIP PGRI Semarang dan pernah diamanahi sebagai kabid Perkaderan Komisariat FPMIPA periode 2005/2006.

  1. Muh. Zaed “Al Farisy” ( TIM Interview). Ikhwan lincah dalam bermanuver ini lahir di kota Sweeke, Purwodadi, 9 April 1985. karena bakat kelincahannya inilah HMI Cabang Semarang memberikan amanah kepadanya sebagai Staff JKU. Sebuah bidang yang mempunyai fungsi dan tugas untuk membangun jaringan dalam upaya mentransformasikan ide, gagasan HMI. Di organisasi intra ia menduduki jabatan legislatif mahasiswa. Sampai sekarang masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi/FPMIPA IKIP PGRI Semarang.

1 Di sampaikan dalam agenda SIMPOSIUM SEJARAH HMI oleh Badko INBAGTENG, Yogyakarta, 8 – 11 Februari 2007.

2 sebuah tim yang dibentuk untuk merumuskan sejarah HMI di Semarang