SELAMAT DATANG DI WEBLOG NEGERI PERADABAN AGUS THOHIR

Senin, 21 April 2008

Reformasi menggendong kegagalan

Keadaan Indonesia terus bertambah buruk, harga bahan pokok, harga kedelai, harga minyak dan gas, berada di atas daya beli, selain itu ditambah dengan pengangguran yang terus meningkat. Sosiolog Musni Umar berpendapat bahwa ketidakberhasilan ini disebabkan pemerintah meneruskan sistem neoliberalisme dan neokapitalisme dengan mengadopsi kebijakan ekonomi berdasarkan konsensus Washington. Konsensus ini mengakibatkan kerugian bagi Rakyat Indonesia, karena ketidaksiapan Indonesia menghadapai kebebasan.

Dari segi politik, Indro Tjahjono mantan Ketua Nasional Gerakan Mahasiswa berpendapat, bahwa kesalahan pemerintah terletak pada belum berubahnya sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia, yang berlaku adalah demokrasi kapitalisme seperti yang berlaku pada rezim Orde Baru. Demokrasi kapital merupakan demokrasi yang tunduk kepada modal atau mereka yang memiliki uang. Selama keadaan ini terus berlangsung maka demokrasi nilai yang seharusnya bersuara dan bersumber pada rakyat tidak akan tercapai.

Dari ungkapan-ungkapan di atas apakah membuktikan bahwa Indonesia adalah bentuk contoh dari negara gagal?! Apakah ini contoh ”gagalnya negara”. Tak kurang dari dua pengamat globalisasi, Dr. B. Herry Prijono dan Dr. Dedy N. Hidayat yang dikutif Rahman, mengingatkan agar hati-hati mendiskusikan ihwal negara gagal atau gagal negara. Jangan-jangan Indonesia benar-benar jadi contoh negara yang gagal. Ramalan dan kekhawatiran jadi kenyataaan atau self fulfilling propechy.

Pertanyaan yang dilontarkan dari kekhawatiran ini adalah, apakah negara gagal itu? Apakah negara itu yang dimaksudnya adalah pemerintah?, atau juga institusi negara yang lain seperti lembaga perwakilan?. Dan apa yang dimaksud dengan ”gagal”, apakah negara ini penuh dengan kekacauan sipil? Pembakaran di mana-mana?, proses penegakkan hukum mandul, dan masyarakat tidak punya aturan lagi?

Opini Meuthia dalam opininya berjudul ”Negara Gagal” (Kompas, 3/4./2008) mengajak kita untuk melihat studi yang dilakukan World Economic Forum dari Universitas Harvard pada tahun 2002 yang merumuskan tentang negara gagal, ciri-cirinya dan apa akibatnya. Studi mereka meliputi 59 negara di mana Indonesia menjadi salahsatu sample mereka. Dan diharapkan studi ini menjadi cermin apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Menurut studi ini karakteristi negara gagal, antara lain adalah tingginya angka kriminalitas dan kekerasan, korupsi yang merajalela, miskinnya opini publik, serta suasana ketidakpastian yang tinggi. Negara gagal terbentuk pada awalnya karena kegagalan di bidang ekonomi, yaitu ketidakefeisienan yang parah dalam mengatur modal dan tenaga kerja dan ketidakmampuan melakukan distribusi/pengadaan pelayanan dan barang dasar bagi penduduk ekonomi lemah. Akibat selanjutnya adalah kemiskinan dan pengangguran yang berkepanjangan.

Kemunduran ekonomi biasanya sejalan dengan lemahnya institusi penegakkan hukum. Karena adanya kemunduran ekonomi, akan semakin sulit menegakkan institusi-institusi negara menjadi lebih bersih. Dan kendala penegakkan demokrasi juga menjadi hambatan kalau rakyat lebih suka memikirkan ”perut” daripada kehidupan bermasyarakat.

Dalam bukunya Jared Diamond yang berjudul Collapse (2005) dicantumkan peta Indonesia sebagai negara yang sekaligus berbeda dalam environmental trouble spots of the modern world atau political trouble spots of the modern world. Indonesia menurut Diamond adalah negara yang pernah dan sedang mengalami rentetan masalah politik yang memenuhi syarat sebagai pertanda yang baik bagi negara gagal (state failure). Selain itu tekanan penduduk yang mencapai 3 persen tiap tahun mempercepat laju deforistasi (penggundulan hutan), meningkatnya limbah kimia beracun (polusi, rumah kaca, dan pertambangan), krisis energi, kekeringan, kelaparan, dan berbagai masalah lingkungan dan sosial.

Mengutip buku Collapse ini bahwa betapa penebangan hutan ilegal dan ketidakmampuan menjaga lingkungan udara, laut, darat merupakan hal-hal serius yang harus diperhatikan Indonesia. Mental korupsi yang merajalela dan parah di semua tingkatan rakyat, besarnya beban hutang negara, dikuasainya aset-aset ekonomi oleh segelintir orang dan mantan kroni Orba, diabaikannya konflik kepentingan dalam lembaga-lembaga negara, dan rapuhnya perbankan Nasional, sebagaimana yang dimisalkan oleh Meuthia yaitu cara-cara premanisme yang bank-bank terkemuka dalam penagihan utang. Jika tidak diperbaiki, tidak mustahil kita akan menyusul Somalia, Sudan, Rwanda, atau Haiti yaitu menjadi Indonesia yang kolaps.

Pengamat Politik Ikrar Nusa Bhakti juga menyatakan keprihatinannya, pemerintahan yang sepertinya kuat ini, tidak terasa seolah-olah kita tidak memiliki pemerintahan, jika tidak cepat diatasi, bukan mustahil negeri ini akan menuju kepada failed state, atau negara yang bangkrut dan gagal. Apa jadinya….

Hasil akhir reformasi di usia yang kesepuluh ini memang mencemaskan. Transisi sejak tahun 1998 telah berjalan tanpa skenerio yang kuat dan tanpa arahan seorang sutradara yang jelas dan dihormati. Ibarat pentas, pemain hanya dibekali aturan main seadanya, dan itu pun aturan yang usang, tambal-sulam, tumpang tindih, dan pemain dibebaskan berimprovisasi. Terjadi benturan, bukan hanya di antara para pemain, penonton pun yang harusnya menikmati malah ikut.

Corak transisi di Indonesia sangat berbeda. Jatuhnya Soeharto tidak diduga dan tidak dipersiapkan sejak jauh hari. Bahkan para pengamat asing yang kompeten tidak menduga Soeharto dapat jatuh secepat itu. Penulis ketika masih berstatus mahasiswa dan ikut dalam demontrasi di Gedung DPR hampir tidak percaya, ketika melakukan sujud syukur, hati penulis pun masih mempertanyakan kebenarannya. Ketika kekuasaan berganti, semua menjadi terkesima. Sistem lama sudah hilang legitimasinya. Sementara skenerio baru untuk politik dan ekonomi tidak tersedia. Aneka improvisasi, uji coba dan trial and error dilakukan hingga kini.

Tidak adanya sutradara yang dihormati dan mau menjadi sutradara yang baik menjadi ”guru bangsa”. Sebaliknya presiden bahkan terlalu mudah dijatuhkan. Habibie naik lalu pertanggungjawabannya ditolak. Gus Dur naik lalu dijatuhkan, Megawati naik kemudian tidak lagi kembali terpilih. SBY naik, pemerintahannya tidak terlepas gonjang-ganjing tarikan partai politik. Tidak ada partai politik yang mendominasi parlemen atau Kongres, partai pemerintah (Partai Demokrat) malah mempunyai kedudukan yang lemah di parlemen.

Dalam catatan akhirnya, Meuthia menilai kegagalan negara bukanlah semata kegagalan pemerintah, melainkan semua aktor yang terlibat dalam distorsi kebijakan publik yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat. Merekalah yang memberikan kemiskinan kepada rakyat dan mengembangkan ketidakadaban.

menunggu bukti atau tergilas zaman..

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://www.infogue.com/masalah_politik/reformasi_menggendong_kegagalan/